Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dalil Kebolehan Tabarruk yang Shahih dan Kuat

Sampai hari ini, banyak orang yang terkena hasutan wahhabi yang di motori oleh mereka yang menganut Al-Albani. Padahal Al-Albani ini membuat fatwa yang selalu tidak konsisten, bahkan ngawur. 


Sebagaimana dalam perkataan Al-Albani dalam karyanya berjudul at-Tawassul [1]:

ولكن ثمة أمر يجب تبيانه، وهو أن النبي صلى الله عليه وسلم وإن أقر الصحابة في غزوة الحديبية وغيرها على التبرك بآثاره والتمسح بها، وذلك لغرض مهم …، إلا أن الذي لا يجوز التغافل عنه ولا كتمانه أن النبي صلى الله عليه وسلم بعد تلك الغزوة رغّب المسلمين بأسلوب حكيم وطريقة لطيفة عن هذا التبرك، وصرفهم عنه، وأرشدهم إلى أعمال صالحة خير لهم عند الله عز وجل، وهذا ما يدل عليه الحديث الآتي:عن عبد الرحمن بن أبي قراد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ يوماً، فجعل أصحابه يتمسحون بوضوئه، فقال لهم النبي صلى الله عليه وسلم ما يحملكم على هذا؟ قالوا: حب الله ورسوله. فقال النبي صلى الله عليه وسلم من سره أن يحب الله ورسوله، أو يحبه الله ورسوله فليصدق حديثه إذا حدث، وليؤد أمانته إذا اؤتمن، وليحسن جوار من جاوره. اهـ

artinya; “Di sana ada perkara yang wajib dijelaskan, yaitu bahwa Rasulullah sekalipun beliau menyetujui para Sahabat dalam peristiwa perang al-Hudaibiyah dan lainnya dalam praktek tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan - peninggalannya, mengusapnya, bahwa demikian itu adalah untuk tujuan penting,… hanya saja yang tidak boleh dilupakan dan tidak boleh disembunyikan bahwa setelah kejadian itu Rasulullah mengingatkan orang-orang Islam dengan bahasa yang lembut untuk meninggalkan praktek tabarruk ini, beliau memalingkan mereka dari praktek tabarruk dengan mengarahkan mereka kepada amal-amal saleh yang lebih baik daripada tabarruk bagi mereka dan lebih lurus. Inilah apa yang ditunjukan oleh Hadits berikut ini; dari Abdur-Rahman ibn Abi Qirad, bahwa Rasulullah suatu hari berwudlu maka para Sahabatnya mengusap dengan bekas air wudlu Rasulullah tersebut [pada wajah dan tubuh mereka], maka Rasulullah bersabda: Apa yang membuat kalian melakukan perbuatan ini? Mereka menjawab: Cinta Allah dan Rasul-Nya. Maka Rasulullah bersabda: Siapa yang senang untuk meraih cinta kepada Allah dan Rasul-Nya atau meraih cinta Allah dan Rasul-Nya bagi dirinya maka hendaklah ia jujur dalam berkata-kata, hendaklah ia menunaikan amanat kepada pemiliknya, dan hendaklah berbuat baik kepada tetangganya”. [Demikian tulisan yang ngawur dari al-Albani].

Dari tulisan yang ngawur tersebut, perlu di kasih hujah untuk membantah bahwa perkataannya adalah dusta belaka. Jadi berikut adalah bantahannya:

Orang ini (Al-Albani) menyandarkan kebohongan terhadap Rasulullaah dengan suatu perkara yang Rasulullaah terbebas dari perkara tersebut. Sungguh, itu adalah tuduhan palsu [dan juga sangat menyesatkan]. Karena sebenarnya Rasulullaah mengajarkan kepada para sahabatnya, dan memberi petunjuk dan motivasi kepada mereka untuk mempraktekan tabarruk dengan peninggalan-peninggalannya di dalam peristiwa haji Wada’, yang di mana Rasulullaah setelah peristiwa itu hidup hanya sekitar 80 hari saja. Hal ini Artinya bahwa, Rasulullaah mengajarkan kepada para sahabatnya untuk mempraktekan tabarruk di akhir hidupnya. Dalam haji Wada’ tersebut Rasulullaah bercukur rambut, lalu oleh beliau sendiri potongan rambut Nabi mulia itu dibagikan di antara para sahabat, sebagiannya beliau berikan kepada Abu Thalhah supaya ia membagi-bagikannya di antara orang banyak. Penjelasan lebih luas tentang Hadits ini akan datang insya-Allaah.

Pemahaman al-Albani terhadap Hadits-Hadits tentang tabarruk sangat aneh dan mengherankan [sekaligus menyesatkan]. Pemahaman yang tidak pernah diungkapkan oleh siapapun sebelumnya dari para ulama ahli Hadits dan ulama lainnya yang memiliki pemahaman yang benar dan lurus. Pemahaman al-Albani tersebut tidak memiliki landasan dalil akal yang sehat, juga tidak memiliki landasan dalil naqli yang shahih. 

Sungguh, Hadits-Hadits tentang tabarruk tidak seperti apa yang dipahami oleh al-Albani. Pemahamannya justru didasarkan kepada prasangka yang sangat rusak [dan bathil]. Dan sesuatu yang dibangun di atas pondasi yang rusak maka ia itu adalah rusak pula.

Adapun dalil-dalil [shahih dan kuat] yang dapat membantah paham [sesat al-Albani, dan mengungkap dusta besarnya terhadap Rasulullaah; di mana Rasulullaah membolehkan tabarruk dengan peninggalan-peninggalannya baik di masa hidupnya atau setelah wafatnya maka ia itu sangat banyak. Beberapa di antaranya kita sebutkan, yaitu beberapa peristiwa praktek tabarruk setelah perang al-Hudaibiyyah dan juga setelah wafatnya Rasulullah.

Imam Al-Bukhari [2] dan Imam Muslim [3] meriwayatkan dari Hadits sahabat Anas ibn Malik, dalam lafazh riwayat Imam Muslim, Anas berkata:

لمَاّ رَمَى صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ الجمرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ وَحَلَقَ نَاوَلَ الحَالِقَ شِقَّهُ الأيْمَنَ فَحَلَقَ، ثمَّ دعَا أبَا طَلْحَةَ الأنْصَارِيَّ فأعْطاهُ ثمّ نَاوَلَهُ الشِّقَ الأيْسَرَ فقَال “احْلِق”، فحَلَق، فأعْطَاهُ أبَا طَلحَةَ فقَال: اقْسِمْهُ بَيْنَ النّاس. وَفِي روَاية: فَبَدَأ بالشِّق الأيْمَنِ فَوَزَّعهُ الشّعْرَةَ وَالشّعْرَتَين بَيْنَ النّاس ثمّ قاَل: بالأيْسَر، فَصَنَعَ مثلَ ذَلكَ ثمّ قَال: ههُنَا أبُو طَلحَة، فَدَفَعهُ إلَى أبيْ طَلحَة. وَفي روَاية أنّه عَليهِ الصّلاَةُ وَالسّلامُ قَالَ للحَلاّق: هَا، وأشَارَ بيَدهِ إلَى الجَانِب الأيْمَن فَقَسَمَ شَعْرَهُ بَيْنَ مَنْ يَليْهِ، ثمّ أشَارَ إلَى الحَلاّق إلَى الجَانِبِ الأيْسَر فَحَلقَهُ فَأعْطَاهُ أمَّ سُلَيم (رَواهُ مُسْلم)

Artinya: “Setelah selesai melempar Jumroh dan memotong kurbannya, Rasulullaah kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu Tholhah al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Lalu Rasulullaah mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur tersebut, sambil berkata: “Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut diberikan kembali kepada Abu Tholhah, seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”. Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong rambut- dari bagian kanan kepala Rasulullaah dan beliau membagikan sehelai, dua helai rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga dibagi-bagikan. Rasulullaah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah…!”, kemudian Rasulullaah memberikan Potongan rambutnya kepadanya. Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullaah berkata kepada tukang cukur: “(Cukurlah) Bagian sini…!”, sambil beliau memberi isyarat ke bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang cukur ke bagian kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan kepada Ummu Sulaim”. (HR. Muslim).

Dalam Hadits ini dengan tegas disebutkan bahwa Rasulullaah sendiri yang membagi-bagikan pontongan rambutnya di antara orang banyak, agar mereka mencari berkah (tabarruk) dengannya, baik di masa hidup Rasulullaah atau setelah wafatnya. Peristiwa ini terjadi dalam haji Wada’, sekitar 80 hari sebelum wafatnya Rasulullaah.

Dengan demikian jelas apa yang dituduhkan al-Albani adalah pemahaman bathil dan rusak. [Itu menjadi salah satu] bukti bahwa al-Albani tidak memiliki pemahaman yang baik dan lurus terhadap Hadits-Hadits Rasulullaah (dikarenakan Al-Albani hanya membaca otodidak saja), walaupun ia mengaku dirinya sebagai muhaddits.

Di antara dalil lainnya menunjukan kebolehan tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah setelah wafatnya adalah Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shahih dari Abdullah ibn Abi Kaisan [4], hamba sahaya yang telah dimerdekakan oleh Asma’ binti Abi Bakr, bahwa ia berkata:

أخْرَجَتْ إليْنَا جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا (رَواه مُسْلم)

Artinya: “Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lubangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.

Seandainya pemahaman para Shahabat bahwa tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullaah sebagai perbuatan terlarang [seperti pemahaman batil al-Albani] maka mereka tidak akan berlomba-lomba dalam mempraktekannya. Kita memiliki banyak dalil [yang shohih dan kuat] dalam kebolehan dan anjuran tabarruk. Silahkan anda baca kitab berjudul Sharih al-Bayan karya guru kami, al-‘Allamah al-Muhaddits syekh ‘Abdullah al-Harari [5].

Dari sini jelas bagi kita bahwa, al-Albani tidak memiliki ilmu [dan tidak memiliki pemahaman yang benar] terhadap Hadits-Hadits Rasulullah walaupun ia mengaku telah bergelut puluhan tahun dalam menelaah Hadits-Hadits tersebut. Apa yang ia sandarkan [dari pemahaman rusak] kepada Rasulullaah seperti yang ia tuliskan dalam karyanya di atas adalah pemahaman batil yang tidak memiliki dasar. Sungguh, pemahamannya itu adalah pemahaman distorsif, pemalsuan fakta, penipuan, muslihat dan faham yang sangat menyesatkan. Waspadalah!

Ref:

  • [1] Al-Albani, at-Tawassul (h. 162)
  • [2] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Wudlu’, Bab tentang air yang dipakai untuk membasuh rambut
  • [3] Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Hajj, Bab penjelasan tentang kesunnahan di hari nahr(raya Qurban) untuk melontar [jumrah] terlebih dahulu, kemudian memotong qurban, dan kemudian menggunduli rambut kepala.
  • [4] Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Libas Waa z-Zinah (Kitab tentang pakian dan perhiasan), Bab tentang keharaman mempergunakan perlatan dari emas dan perak bagi kaum laki-laki dan perempuan, keharaman cincin emas dan kain sutra bagi kaum laki-laki, dan kebolehannya bagi kaum laki-laki.
  • [5] ‘Abdullah al-Harari, Sharih al-Bayan Fi ar-Radd ‘Ala Man Khalaf al-Qur’an, h. 296

Posting Komentar untuk "Dalil Kebolehan Tabarruk yang Shahih dan Kuat"