Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penjelasan Tuntas Tentang Hadits an-Nuzul

Pada abad ke 6 H, ada seorang ahli hadits, ahli tafsir, orang yang mulia dan paling alim allaamah pada zamannya, yaitu al-Imam Ahmad ar-Rifa’i menyatakan di dalam kitabnya yang bernama al-Burhan al-Muayyad:

صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذٰلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ

“Jagalah aqidah kalian dari berpegangan kepada zhahir ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran.”


Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa yang mengambil dzhahir sebagian ayat al-Qur’an dan hadits yang disangka bahwa Allah mempunyai jisim (bentuk) yang menetap di atas arsy atau di arah bumi, atau Dia mempunyai anggota tubuh, atau Dia bergerak dan semua sifat-sifat makhluk, maka dia telah keluar dari agama Islam.

Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)
“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)

Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna dzhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. 

HADITS INI TIDAK BOLEH DIYAKINI bahwa Allah bergerak, turun dari atas ke langit dunia dan menetap di sana sehingga waktu fajar datang, kemudian naik ke arsy.

Anehnya dari mereka (seperti kelompok wahhabi yang meyakini bahwa Allah sebesar arsy) mengatakan bahwa Allah memang turun secara fisik ke langit dunia. Padahal mereka mengetahui bahwa langit dibanding arsy seperti satu tetesan air di lautan yang luas (artinya arsy adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya). Rasulullah bersabda:

مَا السَّمَوَاتُ السَّبْعُ فِى جَنْبِ الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ فِى أَرْضٍ فَلَاةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلَاةِ عَلَى الْحَلْقَةِ

“Tujuh langit (dan tujuh bumi) dibandingkan dengan kursi bagaikan cincin di padang pasir yang luas, dan bandingan arsy atas kursi seperti bandingan padang pasir tersebut dengan cincin.” (HR. Ibnu Hibban).

Artinya menurut mereka (wahhabi) yang meyakini Allah berada di atas arsy, bahwa setiap sepertiga malam terakhir Allah mengecil sehingga muat di langit dunia. Karena bentuk arsy sangat besar, sedangkan langit sangat kecil dibanding arsy. Inilah kesesatan mereka (wahhabi) yang mencaci dan menghina Allah, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluq. Naudzu billah min dzalik.

Maka inilah yang menjadi bukti kebodohan akal mereka (wahabi).

Atas dasar perkataan mereka juga menyebabkan bahwa Allah senantiasa turun dan naik hingga menyesuaikan malam di belahan bumi dan bahwasanya suatu malam berbeda dengan berbedanya negara. Jadi menurut keyakinan wahabi ini, bahwa Allah setiap hari turun dan naik, karena setiap daerah malamnya berbeda. Inilah bukti lain kebodohan akal mereka (wahabi). 

Makna yang Benar tentang Hadits Nuzul


Yang benar makna hadits ini adalah bahwa malaikat yang turun dengan perintah Allah ke langit dunia dan tinggal di dunia sepertiga malam terakhir. Malaikat ini menyampaikan kabar dari Allah dan mengulanginya sehingga waktu fajar datang: “Sesungguhnya Tuhan kalian berfirman, barangsiapa yang meminta  kepada-Ku, niscaya Aku beri, barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” Kemudian malaikat ini naik ke tempat mereka sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits riwayat an-Nasa-i:

إِنَّ اللّٰهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ فَيَأْمُرُ مُنَادِيًا فَيُنَادِى ...

Bahkan sebagian perawi al-Bukhari memberi harakat pada hadits dengan lafazh:

إِنَّ الله يُنْزِلُ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا

Yaitu pada lafazh (يُنْزِلُ) dengan didhammah huruf ya’nya, maka artinya Allah menyuruh malaikat untuk turun.

Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:

“Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;

Pertama: Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.

Kedua: Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.

Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.

Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).

Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas bathil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka.

Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:

“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى

”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.

Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:

“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:

“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه

”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.

Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:

يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ

”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.

Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut:

“Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut;

Pertama: Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah.

Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat.

Ke Tiga: Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan; Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari Allah.

Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).

KESIMPULAN: Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.

Inilah penjelasan hadits yang terkenal dengan hadits an-Nuzul, yaitu yang TURUN MALAIKAT, BUKAN ALLAH.

Jadi ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH

ALLAH TIDAK DI BUMI

ALLAH TIDAK DI LANGIT

ALLAH TIDAK DI SURGA

ALLAH TIDAK DI ATAS ARSY

ALLAH TIDAK DI MANA-MANA

ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH

Karena Tempat dan Arah adalah ciptaan Allah

Allah tidak butuh kepada ciptaan-Nya dan tidak disifati dengan salah satu sifat-sifat ciptaan-Nya.

Sehingga tepat sekali bahwa, Al Imam Ahmad ar Rifa'i memberikan peringatan dan juga rambu-rambu kepada kita semua. Begitu juga Al Hafidz Ibnul Jawzi yang berkata:

"..... Maka jauhi dan hindarilah olehmu menganalogikan perbuatan ALlöh dengan perbuatan makhluk Nya dan jauhilah pula olehmu menganalogikan sifat sifat ALlöh dengan sifat sifat makhluk Nya. Apabila kalian menjaga prinsip ini, maka sungguh kalian akan selamat dari akidah kufur tasybih [menyerupakan Allah dengan makhluk Nya], yang menjadikan orang yang memaknai ayat istiwä secara lahiriah sebagai bersandar/menempat nya Alloh pada ^arasy dan mereka yang memaknai hadits nuzül secara lahiriah sebagai berpindah nya Dzat ALlöh dari satu tempat ke tempat lain, terjerumus ke dalam akidah tasybïh itu. Dan dengan prinsip ini pula, kalian akan selamat dari pertentangan --ayat al Quran dan Al Hadits jika dipahami secara lahiriyah [padahal tidak terjadi pertentangan jika dipahami dengan pemahaman ulama Ahlussunnah wal Jamaah!!]-- yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam --tanpa terasa--. Sehingga pada akhirnya mereka mencederai agama.* 

--Al Häfidh Al Wä^idh Ibnul Jawzi rodliyaLlöhu ^anhu--

" Jagalah akidah kalian dari berpegang teguh makna lahiriyah ayat-ayat Al Quran dan Hadits Nabi yang mutasyabih. Karena hal itu menjerumuskan banyak orang ke dalam kekufuran."** 

As Sayyid Abul ^Alamayn Sayyidul Aqthöb Ahmad Ar Rifä^i rodliyaLlöhu ^anhu. 

*) فإياك أن تقيس شيئا من أفعاله على أفعال الخلق أوشيئا من صفاته سبحانه وتعالى فإنك إن حفظت هذا سلمت من التشبيه الذي وقع فيه من رأى الاستواء اعتمادا والنزول نقلة ونجوت من الاعتراض الذي أخرج قوما إلى الكفر حتى طعنوا في الحكمة(١) -- صيد الخاطر للحافظ الواعظ ابن الجوزي ( ت ٥٩٧ ھ )

(١) اي الدين 

** ) صونوا عقائدكم من التمسك بظاهر ما تشابه من الكتاب والسنة فإن ذلك من أصول الكفر(٢) -- السيد أبو العالمين سيد الأقطاب احمد الرفاعي رضي الله عنه 

(٢) اي أوقع كثيرا في الكفر

Semoga hidayah, taufiq dan inayah Allah senantiasa diberikan kepada kita sehingga kita dimudahkan untuk mengerjakan perbuatan baik yang didasari ilmu dan keikhlasan, aamiin.

Posting Komentar untuk "Penjelasan Tuntas Tentang Hadits an-Nuzul"