Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gender dan Kesetaraan dalam Perspektif Islam

Gender dan Kesetaraan dalam Perspektif Islam


Hati mana yang tak akan terenyuh, mata mana yang tak akan meleleh luluh, telinga mana yang sanggup mendengar tangisan yang gaduh, akal mana yang mau menerima jika buah hati sendiri dikubur hidup-hidup? Sungguh adat yang tiada beradab, jika bayi perempuan yang lahir, maka cela dan aib yang deras mengalir. Namun, jika bayi laki-laki yang keluar, seakan kuncup mawar yang mekar nan segar. Masa itu adalah masa yang kelam lagi hitam. Masa yang suram dan masa peradaban yang amat terbenam. Itulah masa jahiliyah.

Hari demi hari berlalu, pekan demi pekan berubah, bulan dan tahun-pun berganti, muncul jua Nabi yang dinanti-nanti. Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Pembawa syariat dan penghapus adat yang bejat. Manusia era jahiliyah yang dulu menyembah berhala kini menyembah Allah ta’alaa. Kekayaan peradaban Islam sungguh nampak. Semua lapisan dan elemen tertata rapi dan begitu eloknya. Semua hukum perdata maupun pidana. Tak ada unsur yang tak tercakup oleh Islam sebagaimana firman Allah :

﴿اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا﴾ (النساء:3)

Maknanya: ‘‘ Hari ini kaidah-kaidah agama Islam telah Aku (Allah) sempurnakan, begitu juga nikmat yang Aku (Allah) anugerahkan kepada kamu sekalian, dan islam adalah agama satu-satunya yang Aku (Allah) ridlai ’’. (Q.S. An Nisa:3)

Muhammad, sang pembangun peradaban dunia. Pahlawan yang kisah keberaniannya telah disaksikan oleh tinta emas sejarah. Beliaulah yang mengajarkan kepada manusia bahwa yang mengangkat martabat manusia adalah iman dan taqwa, baik laki-laki maupun perempuan. Semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat predikat taqwa. Sesuai dengan firman Allah :

﴿وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالحِاَتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولئِكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَايُظْلَمُوْنَ نَقِيِرًا﴾ )النساء:124(

Maknanya: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka mereka akan memasuki surga dan takkan teraniaya sedikitpun”. (Q.S. An-Nisa:124)

Bahkan beliau pernah berwasiat untuk memuliakan perempuan. Dalam sebuah hadistnya beliau bersabda :

استوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلَع وإن أعوج ما في الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بانساء (متفق عليه).

Maknanya: “Terimalah nasehat dariku tentang perempuan, pengertianlah dengan mereka dan perbaikilah pergaulan dengan mereka” (H.R. Al Bukhari Muslim). 

Perempuan yang dulu dipandang sebelah mata, kini jauh lebih bernilai dari permata. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Abu Dawud dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah kepada siapa aku berbuat kebaikan?’ Beliau menjawab: ‘Ibumu’, aku bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab kedua kali: ‘Ibumu’, lalu aku bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab ketiga kali: ‘Ibumu’, aku bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Terakhir beliau menjawab: ‘Ayahmu, kemudian baru kerabat lainnya terdekat dan terdekat (sesuai urutan)”

Harkat dan martabat perempuan benar-benar dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Inilah salah satu nilai luhur yang ada dalam ajaran Islam. Jika melihat lebih teliti dan seksama, baik dalam aspek ubudiyah maupun mu’amalat akan kita temukan keadilan dan maslahah yang tak akan tersaingi oleh hukum manapun yang dibuat manusia. Karena jelas sekali bahwa itu semua adalah pengaturan dari Tuhan yang maha adil dan bijaksana yang diwahyukan melalui Nabi mulia. Hingga akhirnya dirumuskan oleh para ulama yang hatinya dipenuhi oleh cahaya ilmu dan iman. 

Contoh kecil dalam masalah pernikahan. Pihak laki-laki yang dikenai tuntutan mahar, tempat tinggal, nafkah, pakaian dalam satu musim, kebutuhan kebersihan dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, jika terjadi cerai atau pisah suami istri tanpa sebab dari pihak istri, maka iapun berhak menerima mut’ah (pesangon). Jika perceraian terjadi pada saat kehamilan, pihak laki-lakipun masih memiliki tanggungan atas janin yang dikandung.

Begitu pula dengan adanya perbedaan aurat antara laki-laki dan perempuan. Kewajiban menutup aurat; seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan, larangan melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi oleh mahram atau semisalnya, Imam perempuan hanya bagi perempuan saja, atau aturan-aturan syara’ lainnya yang berkaitan dengan perempuan, semua itu harus diyakini pasti ada hikmahnya. Hanya saja keterbatasan manusia tidak mampu menjangkau semua hikmah itu. Apalagi di akhir zaman seperti ini, di mana semangat beragama semakin kendor dan ilmu agama semakin punah dan langka sesuai dengan yang disabdakan oleh Rasulullah, yang menyebabkan kebanyakan hati terlalu hitam untuk mampu menerima terpaan cahaya hikmah itu. 

Tantangan umat Islampun semakin banyak. Bahkan dari golongan yang mengklaim Islam sendiri. Mereka inilah yang mencoba untuk mengotak-atik tatanan yang sudah sempurna dan baku. Mereka tidak “kerasan” dalam penafsiran Islam yang sudah “resmi” lalu mencari kemungkinan lain dalam mendefinisikan Islam. Bagi mereka Islam menekankan “kebebasan” pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas.

Di antara ‘yel-yel’ yang mereka gemborkan adalah kesetaraan gender, advokasi wanita, dan sebagainya. Tidak tanggung-tanggung, banyak lembaga didirikan khusus untuk menangani permasalahan kaum hawa ini, seperti Fahmina Institute (Pluralisme Gender Equality) dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) (Gender equality) . Dampaknya, munculnya aksi sebagian perempuan ‘liar’ yang keluar dari jalur dan batasan yang telah digariskan oleh syara’. Mulai dari gugatan mutlak terhadap pemberlakuan poligami, upaya legalisasi poliandri, pemberlakuan iddah bagi laki-laki, bahkan sudah dibuat rancangan undang-undang khusus yang sudah siap untuk merealisasikan tujuan-tujuan mereka tersebut.  

Secara natural, manusia lahir akan berkembang dan tumbuh sesuai dengan lingkungan tinggalnya. Di seluruh belahan dunia, masing-masing menyesuaikan dengan kondisi dan alam. Tentunya antara kedua jenis laki-laki dan perempuan terjadi perubahan yang tak bisa terelakkan mulai dari ukuran tubuh, naluri, perasaan dan pola pikir. Tidak hanya itu, beberapa organ-organ pentingpun mulai berkembang sesuai dengan kodrat yang telah dikehendaki oleh Yang Maha Bijak. 

Jika dilihat lagi secara fisik, pada umumnya laki-laki lebih kuat dari pada perempuan. Laki-laki lebih kebal terhadap pergantian suhu dan cuaca.  Sebaliknya perempuan lebih rentan terserang penyakit dan tidak memiliki daya tahan yang kuat. Begitu pula secara mental, perempuan sama sekali tidak memiliki naluri kekerasan bahkan lebih cenderung dengan sikap kelembutan dan membutuhkan pada pengayom. Firman Allah :

﴿الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم﴾ (النساء:34)

Maknanya: “Laki-laki mempunyai kuasa terhadap wanita disebabkan hal-hal yang Allah anugerahkan kepada mereka (seperti kenabian dll), dan nafkah mereka (wanita) atas laki-laki” (Q.S An Nisa’ :34) 

Manusia baik laki-laki maupun perempuan, diciptakan dengan perbedaan tanpa sia-sia. Perbedaan itu memang benar-benar ada, sesuai dengan realita yang disaksikan. Pengelompokan ini adalah bukti nyata adanya perbedaan. Yang dituntut kemudian adalah sikap yang bijak mengenai perbedaan itu sendiri. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa masing-masing diciptakan untuk saling melengkapi dan berjalan seiring selaras sesuai yang seharusnya dijalankan seorang hamba. Masing-masing memiliki hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai perannya. Karena tak bisa dipungkiri bahwa masing-masing memiliki keunggulan yang dianugerahkan Sang Pencipta. 

Dari sini urgensi penguasaan terhadap ilmu agama harus digencarkan. Karena ilmu agama telah terbukti mampu menjadi solusi atas segala ketidakstabilan yang ada pada generasi terdahulu. Karena Allah telah menjadikan ilmu agama sebagai pembuka gerbang kebahagiaan dunia akhirat. Penguasaan ilmu agama dengan baik dan benar tentunya akan mengantarkan kepada hikmah sejati yang tersimpan pada penerapan hukum Islam. Seperti pada salah satu pilar alkulliyyaat al khamsah yaitu hifdzh an nasab (menjaga garis keturunan) agar tidak terputus dan lenyap dari tatanan bahkan tetap lestari. Tentunya hal ini tak bisa direalisasikan dalam praktek poliandri atau jika tidak diberlakukan iddah (masa penantian) bagi perempuan pasca cerai.

Pembelajaran terhadap ilmu agamapun tidak bisa diberlakukan separuh jalan. Agar terhindar dari pemahaman yang keliru yang mengakibatkan persangkaan bahwa perempuan adalah pihak yang paling dipojokkan dalam Islam. Paling tidak seorang muslimah harus menguasai dengan baik ilmu agama yang pokok.

Secara garis besar ilmu agama terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu agama yang pokok (adl-Dlaruri). Hukum mempelajarinya adalah fardlu ‘ain seperti pokok-pokok ilmu aqidah dan pokok-pokok ilmu ibadah. Kedua, ilmu agama yang apabila sudah dipelajari oleh sebagian mukallaf maka sebagian yang lain gugur kewajibannya, hukum mempelajarinya adalah fardlu kifayah seperti ilmu faraidl (waris), ilmu qira’at, menghafal al-Qur’an (kecuali surat al Fatihah). 

Kemudian bagian ilmu agama yang pokok (‘ilmu ad-din al-dlaruri) terbagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf siapapun dia tanpa kecuali, misalnya pokok-pokok ilmu aqidah, pokok-pokok ilmu ibadah (seperti bersuci, shalat dan puasa), mengetahui hal-hal yang wajib dan yang dilarang bagi lidah, telinga, hati dan anggota badan lainnya serta cara bertaubat dari dosa. Kedua, ilmu agama yang wajib diketahui ketika ada sebabnya, contohnya mengetahui tata cara zakat bagi yang sudah berkewajiban untuk mengeluarkannya, tata cara haji bagi yang mampu melaksanakannya, tata cara jual beli bagi yang akan melakukannya, tata cara nikah bagi yang akan melaksanakannya dan lain-lain.

Setelah substansi dan nilai agama ini dipahami sebagaimana mestinya, maka akan mudah dimengerti nilai hukum yang diterapkan kepada kaum hawa yang berbeda dengan hukum yang diterapkan kepada kaum laki-laki. Pada akhirnya akan diketahui kapan keduanya disetarakan dan duduk sejajar serta kapan perbedaan diberlakukan dan mengapa harus diterapkan. Semoga bermanfaat. (Muhammad Ainur)

Posting Komentar untuk "Gender dan Kesetaraan dalam Perspektif Islam"