Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Bait ke 6 Nadham Aqidatul Awam

 Ngaji Kitab Aqidatul Awam 06

قال المؤلف رحمه الله تعالى :

فالله موجود قديم باقي # مخالف للخلق بالاطلاق

"Allah itu ada, adanya tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, berbeda dengan makhluk secara mutlak"

As Syaikh Ahmad Marzuki menerangkan tentang sifat wajib bagi Allah, sebagai berikut:

1. Wujud, artinya Allah itu ada, tidak ada keraguan terhadap adanya Allah.


Dalil naqli tentang adanya Allah adalah firman Allah ta'ala:

أَفِی ٱللَّهِ شَكࣱّ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِۖ 

[Surat Ibrahim 10]

" Tidak ada keraguan tentang adanya Allah, Dzat yang menciptakan langit dan bumi".

Dalil aqli (bukti rasional) tentang adanya Allah adalah adanya alam semesta ini.

Akal mengatakan:

✓Ada bangunan pasti ada yang membangun

✓Ada tulisan pasti ada yang menulis

✓Ada pukulan pasti ada yang memukul

✓Ada perubahan pasti ada yang merubah

Ada langit dengan segala isinya, bumi dengan segala isinya pasti ada pencipta yang mengadakannya dari tidak ada menjadi ada. Dan pencipta Alam semesta ini adalah Allah ta'ala, berdasarkan berita dari para Nabi.

Adanya Allaah subhanahu wa Ta'ala BUKAN dengan diadakan oleh sesuatu yang mengadakan. Adanya Allah Tanpa permulaan.

Sebagian orang mengingkari perkataan:

 "الله موجود"

Dikarenakan kata tersebut mengikuti pola (wazan) مفعول. Jawabannya adalah bahwa pola مفعول itu kadang digunakan untuk yang tidak dikenai perbuatan orang lain, seperti ketika kita mengatakan: " ٌاللّٰهُ مَعْبُوْد." 

Mereka ini mengira diri mereka memiliki keahlian dalam ilmu bahasa Arab, padahal mereka ini tidaklah seperti yang mereka kira.

Seorang pakar bahasa arab terkemuka, penulis syarh al-Qamus, yaitu az-Zabidiyy dalam syarh al-Ihya mengatakan:

 "وَالبَارِئُ تَعَالَى مَوْجُوْدٌ فَصَحَّ أَنْ يُرَى".

"Karena Allaah yang maha suci itu ada (مَوْجُوْدٌ), maka sah untuk dilihat".

Al-Fayyumiyy; seorang pakar bahasa, pengarang kitab "al-Misbbah" berkata:

"اَلْوُجُوْدُ خِلاَفُ الْمَعْدُوْمِ"

"Kata al-Maujud (ada) adalah lawan kata al-Ma'dum (tiada)."

Jadi, muallif menulis:

فالله موجود

Maka Allaah Ada (yang adanya tidak diadakan)

Adalah menunjukkan keahlian bahasa arabnya dan juga mendukung para pakar bahasa arab.

قال شيخنا الشيخ عبدالله الهرري رحمه الله تعالى ونفعنا به : 

أمّا بَعدُ فإنّ أسَاسَ الدّين مَعرفَة الله،ِ الإيمان باللهِ أي مَعرفتُه وتَوحِيدُه بالعِبَادَة،ُ أي أنْ لا يكونَ غَايةُ الخُضُوع والخشُوع إلا لله، العِبَادَةُ مَعنَاهُ غَايَةُ الخُضُوع والخشُوع، كُلّ أمُور الدّين لا يَقبَلُها اللهُ إلا بَعدَ مَعرفَتِه. الحجُّ والطّلاقُ والصّيام وقراءةُ القُرءان كُلُّ ذلكَ لا يَنفَعُ إلا مَن عَرَف الله، اللهُ تَعالى مَوجُودٌ لا يُشبِهُ شَيئًا مِنَ الموجُودات. وجُودُه ليسَ لهُ تَاريخ، قَبلَ الزّمَان والمكان مَوجُود، ليسَ لِوُجُودِه ابتِدَاءٌ، وجُودُه ليسَ لهُ تَاريخ.

كُلُّ مَا سِوَى اللهِ وجُودُه لهُ ابتِدَاءٌ، كُلُّ شَىءٍ يصِحُّ أن يُقَالَ مَتى وُجِدَ أمّا اللهُ لا يَصِحُّ أن يُقَالَ مَتى وُجِدَ لأنّهُ مَوجُودٌ لم يَسبِقْه عَدمٌ أمّا غَيرُ اللهِ وجُودُه سَبقَه عَدمٌ.

اللهُ تَبارك وتعالى هو الذي لا ابتداءَ لوجُودِه، قَبلَ أن يَخلُقَ المكانَ كانَ بلا مَكانٍ وبعدَ أن خَلَق المكانَ هوَ مَوجُودٌ بلا مَكانٍ لأنّه ليسَ جِسمًا. الجسمُ لا بُدَّ أن يَكُونَ لهُ مَكَانٌ، النّورُ لهُ مَكانٌ والظّلامُ لهُ مَكَانٌ. الرّيحُ يَحتَاجُ إلى مَكَانٍ والنُّورُ كذَلكَ أمّا اللهُ ليسَ جِسمًا فلا يكونُ في مَكَان.


2. Qidam, artinya Allah itu qodim (adanya tanpa permulaan).

الْقِدَمُ أَيِ الأَزَلِيَّةُ أَيْ أَنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُودِهِ، قال تعالى: (هو الأول)، وَالْبَقَاءُ أَيْ أَنَّهُ لا نِهَايَةَ لِوُجُودِهِ لا يَفنى وَلاَ يَتَغَيَّرُ، قال تعالى: (هو الأول والآخر).


Qidam artinya azali, bahwa Allah tidak diadakan. Allah ada tidak didahului ketiadaan. Ada abadi dan tidak berubah.

Dalil naqli tentang sifat qidamnya Allah adalah firman Allah ta'ala:

هُوَ ٱلۡأَوَّلُ 

[Surat Al-Hadid 3]

"Dia (Allah) Dzat yang tidak berpermulaan" 

Dalil aqli tentang sifat qidamnya Allah ta'ala adalah:

~Jika Allah tidak qodiim maka dia haadits (berpermulaan)

~Jika Allah adanya berpermulaan maka membutuhkan pada yang mengadakannya dari tidak ada menjadi ada.

✓Sesuatu yang diadakan dari tidak ada menjadi ada adalah makhluk (ciptaan), bukan Tuhan/al Khaaliq. 

✓Sesuatu yang membutuhkan pada yang lain adalah lemah, dan sesuatu yang lemah bukanlah Tuhan.

Sebagaimana telah disebutkan dalam bait ke 2, Al Qadim atau juga Al-Qidam wajib (pasti) bagi Allah dengan makna al-Azaliyyah (keberadaan tanpa permulaan), bukan dengan makna lama atau terdahulu dari segi masa dan waktu. Karena kata al-Qadim dan al-Azaliyyah apabila digunakan untuk Allah maka maknanya adalah tidak ada permulaan bagi ada-Nya, sehingga dikatakan Allaah Azaliyy dan Allaah Qadim. 

Sedangkan apabila digunakan untuk mahluk, maka keduanya bermakna terdahulu dari segi masa dan waktu, Allah Subhanallah wa Ta'ala berfirman tentang bulan :

(حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِیمِ)

[Surat Ya-Sin 39]

Maknanya: "Sehingga (setelah dia sampai ketempat peredaran yang terakhir) kembalilah dia seperti bentuk tandan yang tua (yang telah dilalui oleh masa yang lama) "(Q.S. Yasin:39).

Pengarang kitab "al-Qamus al-Muhith", hal.1509. al-Fayruzabadi mengatakan:

"الْهَرَ مَانِ بِنَا ءَانِ أَزَلِيَانِ بِمِصْرَ"

"Dua piramida adalah bangunan yang kuno (telah dilalui oleh masa yang lama) di Mesir".

Sedangkan dalil Qidam-nya Allaah subhanahu wa Ta'ala adalah seandainya Allaah subhanahu wa Ta'ala tidak Qadim maka mestilah Allaah baharu (hadits), sehingga membutuhkan kepada sesuatu yang mengadakannya (muhdits) dan berlakulah al-Daur¹ atau at-Tasalsul². Dan jelas masing-masing dari keduanya adalah mustahil. Dengan demikian terbuktilah bahwa kebaharuan Allaah itu mustahil dan Qidam-Nya Allaah itu Tsabit (pasti adanya).

Makna:

1. Ad-Daur; Bergantungnya keberadaan sesuatu kepada sesuatu yang lain sebelumnya yang keberadaannya juga bergantung kepada sesuatu yang pertama tadi.

2. At-Tasalsul; Bergantungnya keberadaan sesuatu kepada sesuatu yang lain sebelumnya yang keberadaannya juga bergantung kepada sesuatu sebelumnya dan begitu seterusnya tanpa ada pangkalnya (awal permulaannya)

Waspadalah terhadap kaum filosuf (kaum sesat) yang meyakini bahwa alam semesta ini qodim (adanya tidak berpermulaan)

1. Filosof klasik seperti Aristoteles mengatakan bahwa alam semesta ini baik jenis maupun individunya itu qodim

2. Filosuf muhdatsin (kontemporer) mengatakan bahwa jenis alam itu qodim sedangkan individunya itu hadits. Mereka Seperti Ibnu Sina, Al Farabi dan diikuti oleh Ibnu Taimiyah.

Aqidah semacam ini adalah akidah kufur. Al Imam Badruddin az Zarkasyi rahimahullah berkata dalam kitab Tasynif al Masami' Syarah Jam'il Jawami' berkata:

وضللهم المسلمون وكفروهم

"Umat Islam telah menyesatkan mereka (kaum filosuf) dan mengkafirkannya".

3. Baqo', artinya Allah itu baaqin, kekal (adanya tanpa berpenghabisan).

وَالْبَقَاءُ أَيْ أَنَّهُ لا نِهَايَةَ لِوُجُودِهِ لا يَفنى ولا يموت ولا يهلك وَلاَ يَتَغَيَّرُ، قال تعالى: (هو الأول والآخر).

Artinya sesungguhnya wujud Allah Tidak Berakhir, tidak mati, tidak rusak/punah dan Allah tidak berubah. 


Dalil naqli tentang baqo'nya Allah adalah firman Allah ta'ala:

وَیَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَـٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ

[Surat Ar-Rahman 27]

"Dan abadi Dzat Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan".

هُوَ ٱلۡأَوَّلُ وَٱلۡـَٔاخِرُ 

[Surat Al-Hadid 3]

"Dia Allah adalah Dzat yang adanya tanpa permulaan dan tanpa penghabisan".

Dalil aqli tentang baqo'nya Allah adalah:

Telah terbukti baik secara naqli maupun aqli bahwa Allah adanya tanpa permulaan. Sesuatu yang adanya tanpa permulaan, secara akal pasti adanya tanpa berpenghabisan. Maka Allah yang tidak berpermulaan pasti juga tidak berpenghabisan. 

Jadi, ketika telah tetap bagi-Nya sifat qidam (ada tanpa permulaan) secara akal, maka wajib (pasti) bagi-Nya sifat baqa’ (kekal). Seandainya mungkin bagi-Nya ketiadaan (tidak kekal), niscaya akan gugur dari-Nya sifat qidam (tiada bermula). Dan ketiadaan sifat qidam dari-Nya adalah mustahil.

Karenanya, menjadi gugurlah kemungkinan fana’ (punah, tidak kekal) dari-Nya. 

Juga, seandainya mungkin berlaku bagi-Nya ketiadaan (tidak kekal) sebagaimana hal itu mungkin berlaku pada para makhluk, niscaya akan berlaku pula bagi-Nya sifat-sifat yang berlaku pada makhluk. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia hâdits (ada setelah tiada). 

Allah Ta'ala adalah satu-satunya al-Bâqî (Maha Kekal) yang mustahil bagi-Nya kepunahan. Tidak ada yang kekal dengan tanpa dikekalkan oleh yang lain, kecuali Allah. Sebagaimana tidak ada yang ada, dengan tanpa diwujudkan oleh yang lain, kecuali Allah. 

Adapun kekekalan surga dan neraka, keduanya tidak kekal dengan sendirinya. Kekekalan keduanya adalah karena dikekalkan oleh Allah. 

Karena Allah telah menghendaki keduanya kekal, maka keduanya kekal dan tidak akan mengalami kepunahan. 

Dilihat pada dzat (kemakhlukan)nya, surga dan neraka secara akal mungkin saja punah, karena keduanya hâdits (ada setelah tiada). Dan sesuatu yang hâdits tidak mungkin kekal dengan sendirinya. 

Maka telah menjadi jelas bahwa seluruh makhluk (yang ada setelah tiada) sama dari segi bahwa semuanya didahului oleh ketiadaan, berdasarkan dalil naqli dan aqli. Juga seluruhnya sama dari segi bahwa semuanya pasti tidak kekal secara akal.

Waspadalah terhadap keyakinan bahwa Neraka dan Surga akan punah. Hukum orang yang meyakini surga atau neraka akan punah maka orang tersebut telah keluar dari Islam. Keyakinan ini seperti keyakinan Ibnu Taimiyah yang meyakini neraka akan punah, dia telah menyalahi al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama. (ar-Radd ‘ala Man Qala bi Fana’ al Jannah Wa an-Naar  hal. 52, 67, 71-72, Hadi al Arwah hal. 579, 582)

Keyakinan Ibn Taimiyah ini diikuti oleh murid terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (Lihat Ibn al-Qayyim dalam Hadi al-Arwah Ila Bilad al-Afrah, h. 579 dan h. 582). Apa yang telah ditetapkan oleh Ibn Taimiyah dikuatkan oleh muridnya ini sekarang telah menjadi dasar keyakinan kaum Wahhabiyyah. Bahkan salah seorang pemuka mereka bernama Abd al-Karim al-Humaid, dengan bangga menulis satu buku yang ia beri judul ”al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar”. Di dalamnya, dengan sangat tegas dan gamblang sebagaimana judul buku tersebut, ia mengatakan bahwa neraka akan punah, serta seluruh siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis. (Lihat al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar, h. 8, Riyadl, Saudi).

Pengikut Ibn Taimiyah abad ini adalah Yusuf al Qardlawi, yang juga mengatakan; Neraka akan Punah. Perkataan ini seringkali dilontarkan dalam ceramahnya dan juga banyak video wawancara TV Dunia.

Mereka jelas menyalahi Al Qur'an. Allah ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا * خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا*

[Surat Al-Ahzab 64 - 65]

“Sesungguhnya Allah telah melaknat orang-orang kafir dan telah menyiapkan neraka untuk mereka, mereka abadi di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak akan menemukan seornag penolong”

يُرِيدُونَ أَنْ يَخْرُجُوا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنْهَا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ

[Surat Al-Ma'idah 37]

“Orang-orang kafir ingin keluar dari neraka dan tidaklah mereka tidak keluar darinya, dan bagi mereka adzab yang terus menerus”

Di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟِﺄﻫْﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨّﺔِ : ﻳَﺎ ﺃﻫْﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨّﺔِ ﺧُﻠُﻮْﺩٌ ﻻَ ﻣَﻮْﺕ، ﻭَﻷﻫْﻞِ ﺍﻟﻨّﺎﺭ : ﺧُﻠُﻮْﺩٌ ﻻَ ﻣَﻮْﺕ ‏( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ )

”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari).

4. Mukhalafatul lil hawaditsi, artinya Allah berbeda dengan makhluk, Dia bukan benda dan tidak disifati dengan sifat benda.

 الْمُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ: أَيْ أَنَّهُ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالى لا يُشْبِهُ شَيْئًا مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ


Allah ada tanpa tempat dan arah

Allah tidak berlaku bagi-Nya zaman

Allah tidak memiliki bentuk dan ukuran

Allah tidak beranggotakan tangan

Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk lainnya.

Dalil naqli tentang sifat Mukhalafatul lil hawaditsi adalah firman Allah ta'ala:

لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ

[Surat Asy-Syura 11]

"Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah, baik dari satu segi maupun semua segi, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat". 

Dalil aqli tentang sifat Mukhalafatul lil hawaditsi adalah:

Al Imam Abu Hanifah Radliyallahu anhu berkata:

انى يشبه الخالق مخلوقه

"Tidak mungkin sang Pencipta menyerupai ciptaannya"

Yang membuat kursi tidak serupa dengan kursi

Yang membuat meja tidak serupa dengan meja

Yang membuat mobil tidak serupa dengan mobil

Allah yang menciptakan manusia, malaikat, jin dan semua makhluk pasti tidak serupa dengan semua makhluk-Nya.

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly dalam kitabnya:

 إحياء علوم الدين:(١٢٧ - ١٢٨/1)

إنه (أي الله) أزلي ليس لوجوده أول وليس لوجوده ءاخر وإنه ليس بجوهر يتحيز ،بل يتعالى ويتقدس عن مناسبة الحوادث وإنه ليس بجسم مؤلف من جواهر ،ولو جاز أن يعتقد أن صانع العالم جسم لجاز أن تعتقد الألوهية للشمس والقمر أو لشيء آخر من أقسام الأجسام فإذا لا يشبه شيئا ولا يشبهه شيء 

بل هو الحي القيوم الذي ليس كمثله شيء ،وأنى يشبه المخلوق خالقه والمقدر مقدره والمصور مصوره, إه‍

"Dia Allah Azaly yaitu tidak ada permulaan bagi wujud-Nya dan tidak ada penghabisan bagi ada-Nya. Dan ia (Allah) bukan lah benda (benda adalah yang memiliki panjang, lebar, kedalaman dan ia (benda) terbagi menjadi dua: Benda yang bisa dipegang oleh tangan seperti; Pohon, batu, manusia dan lainnya.

dan benda yang tidak bisa dipegang oleh tangan seperti; Cahaya, api, angin, ruh dan lainnya. 

Allah bukanlah benda, bukan benda yang bisa di pegang oleh tangan atau yang tidak bisa di pegang oleh tangan. Akan tetapi Allah Maha Suci tidak menyerupai makhluk. Dan Allah bukan lah benda yang tersusun dari pada 

materi-materi. Jikalau seandainya sah-sah saja untuk di yakini bahwa pencipta Alam semesta ini adalah benda yang jelas² memiliki susunan, maka sah sah saja ketuhanan bagi Matahari, bulan atau yang lainnya daripada macam² benda (karena tidak mungkin sesuatu yang memiliki ukuran, susunan menjadi tuhan, dikarenakan ia sendiri membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran atau susunan tersebut dan yang butuh itu lemah dan yang lemah bukanlah tuhan).

Maka kesimpulannya, Allah tiada menyerupai segala sesuatu dari pada makhluq-Nya dan tiada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya.

Allah Maha hidup tiada membutuhkan sesuatu apapun tiada serupa dengan sesuatu apa pun. Maka mustahil pencipta serupa dengan ciptaannya  dan mustahil yang menjadikan sesuatu berukuran sama dengan hal tersebut dan yang mustahil menjadikan sesuatu dalam bentuk sama dengan hal tersebut.

Waspadalah, banyak orang tertipu, mereka mengaku makrifat kepada tuhannya, namun ia terjatuh dalam tasybih, hulul dan juga wahdatul wujud. 

Firman Allah Ta'ala:

  هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا (سورة مريم : 65)

“Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah)”. (QS. Maryam: 65)

Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluq Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;

1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.

2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.

Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Surat Asy-Syuro ayat 11 menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Allah Ta'ala tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda.

Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.

Apapun yang terlintas di dalam benak dan fikiran seseorang, maka Allah Taala tidak seperti yang difikirkan itu. Imam Ahmad mengatakan:

مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ. (الفرق بين الفرق، 20).

"Apapun yang terlintas di benakmu (tentang Allah Taala) maka Allah Taala tidak seperti yang dibayangkan itu." (Al-Farqu Baina al-Firoq, 20).

Bersambung

الله موجود بلا مكان

Allaah Ada Tanpa Tempat

Posting Komentar untuk "Makna Bait ke 6 Nadham Aqidatul Awam"