Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siapakah Salaf Sebenarnya

Siapakah Salaf Sebenarnya


Salaf adalah mereka yang hidup pada 300 tahun (3 abad) pertama tahun hijriyah, mereka adalah para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’i al Tabi’in. Secara umum, umat Islam yang hidup pada masa ini, kehidupan beragamanya lebih baik dibandingkan dengan mereka yang hidup setelahnya (yaitu setelah abad 3 Hijriyah).

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

خَيْرُ اْلقُرُوْنِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ اَّلذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian orang-orang yang mengiringinya kemudian orang-orang yang mengiringi mereka” (HR al Bukhari) Sedangkan umat Islam yang hidup setelah tiga abad pertama hijriyah disebut khalaf.

Secara umum kehidupan beragama umat Islam yang hidup pada masa ini lebih buruk dibandingkan dengan masa sebelumnya, semakin ke sini kondisinya semakin buruk. Namun tidak berarti bahwa setiap orang yang hidup pada masa sekarang kondisinya lebih buruk dari setiap orang yang hidup pada masa salaf.

Siapakah Salaf

Sebab secara individual ada beberapa orang yang hidup pada masa sekarang lebih baik dari sebagian orang yang hidup pada masa salaf.

Kenyataan di atas, menjadikan setiap kelompok dalam Islam mengklaim bahwa ajaran mereka adalah ajaran yang paling sesuai dengan ajaran salaf, termasuk kelompok Wahhabi; pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab an Najdi al Tamimi.

Secara terbuka, kelompok ini mengklaim bahwa mereka adalah salafi. Di Indonesia term salaf telah lama disematkan untuk kalangan umat Islam tradisionalis berbasis pondok pesantren yang mengajarkan kitab-kitab salaf yang lebih dikenal dengan kitab kuning.

Namun ketika term itu jarang disebut, tiba-tiba Wahhabi mencatut term tersebut untuk kelompok mereka. Bahkan ironisnya, tidak sedikit diantara kita yang ikut-ikutan menyebut Wahhabi dengan sebutan salafi, seakan-akan kita membenarkan klaim mereka.

Tulisan ini hadir untuk membuktikan kebohongan klaim ‘salafi’ kelompok Wahhabi. Tulisan ini dan berikutnya akan membuktikan bahwa manhaj Wahhabi serta akidahnya berbeda dengan manhaj para ulama salaf. Karena itu kehadiran kelompok ini di masyarakat patut untuk diwaspadai.

Aqidah Salaf Abad Pertama Hijriyah

Abu Bakar as-Shiddiq (w. 13 H) radliyallahu ‘anhu berkata:

الْعَجْزُ عَنْ دَرَكِ الإِدْرَاكِ إِدْرَاكٌ * وَالْبَحْثُ عَنْ ذَاتِهِ كُفْرٌ وَإِشْرَاكُ

“Merasa lemah dari mengetahui hakikat Allah adalah keimanan. Dan mencari-cari hakekat dzat Allah dengan cara membayangkan-Nya adalah kekufuran dan kesyirikan” (Diriwayatkan oleh al-Faqih al-Muhaddits Badruddin az-Zarkasyi)

Penjelasan; Sayyidina Abu Bakr al-Shiddiq –radliyallahu ‘anhu- adalah:

  1. Nama beliau adalah Abdullah bin Abi Quhafah, lahir pada 3 tahun setelah tahun gajah dan wafat pada tahun 13 H.
  2. Beliau adalah sahabat Rasulullah yang paling mulia, bahkan wali Allah yang paling mulia sejak zaman nabi Adam sampai kiamat.
  3. Beliau adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki dewasa
  4. Beliau adalah salah satu dari 10 orang yang dikabarkan oleh Rasulullah dalam satu majelis akan masuk surga.
  5. Beliau adalah sahabat Nabi yang seluruh harta bendanya diinfaqkan untuk dakwah Islam.
  6. Beliau adalah sahabat Nabi yang kesahabatannya ditetapkan dalam al-Qur’an
  7. Beliau adalah mertua Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, putri beliau yang bernama Aisyah menjadi istri Rasulullah.
  8. Beliau adalah khalifah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang pertama.

Makna perkataan sayyidina Abu Bakr al-Shiddiq Radliyallahu ‘anhu: Seseorang yang mengakui bahwa dirinya tidak bisa mengetahui hakekat Allah adalah orang yang beriman. Karena tidak ada yang mengetahui hakekat Allah kecuali hanya Allah. Sebab hakekat Allah bukan benda dan tidak disifati dengan sifat benda, ada tanpa tempat dan arah, sehingga Allah tidak bisa dibayangkan, digambarkan dan dikhayalkan.

Seseorang yang berusaha mengetahui hakekat Allah dengan cara membayangkan dan menggambarkan Allah, maka dia akan jatuh pada kekufuran dan kesyirikan. Karena semua yang ada dalam bayangan dan gambaran manusia adalah benda, dan orang yang meyakini bahwa Allah benda berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Aqidah Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib

Sayyidina Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) -radliyallahu ‘anhu- berkata:

كَانَ اللَّهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“(Pada azal) Allah ada dan tidak ada tempat dan Dia sekarang (setelah terciptanya tempat) tetap seperti semula (ada tanpa tempat)” (Diriwayatkan oleh imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al-Farqu Bain al-Firaq)

Penjelasan; Sayyidina Ali bin Abi Thalib –radliyallahu ‘anhu- adalah:

  1. Anak dari paman (sepupu) Rasulullah, lahir pada tahun 23 SH dan wafat pada tahun 40 H.
  2. Beliau adalah menantu Rasulullah, Suami dari Fathimah binti Rasulullah.
  3. Beliau adalah khalifah keempat, setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman.
  4. Beliau wali termulia setelah Sayyidina Abu Bakr, Umar dan Utsman.
  5. Beliau adalah sahabat Nabi yang paling luas ilmunya, Rasulullah bersabda: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya”.
  6. Beliau adalah salah satu dari 10 orang yang dikabarkan masuk surga (al ‘Asyarah al Mubasyasyarun bil Jannah).
  7. Dijuluki sebagai Mishbah at Tauhid (lampunya tauhid), sebab beliau banyak menjelaskan akidah Ahlussunnah wal jama’ah.

Makna perkataan Sayyidina Ali radliyallahu ‘anhu:

Sebelum Allah menciptakan langit, bumi, Arsy dan tempat-tempat lainnya, Allah ada tanpa tempat-tempat tersebut. Setelah langit, bumi, Arsy dan tempat-tempat lainnya diciptakan oleh Allah, Allah tidak berubah, Allah tetap ada tanpa tempat. Karena berubah adalah tanda terbesar makhluk. Setiap yang berubah membutuhkan pada yang merubahnya, dan setiap yang membutuhkan pada yang lainnya adalah lemah, dan sesuatu yang lemah bukanlah Tuhan. Sebab tidak mungkin alam semesta yang begitu luas dan menakjubkan diciptakan oleh dzat yang lemah, pastilah ia diciptakan oleh Dzat yang Maha Berkuasa.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) -radliyallahu ‘anhu- berkata:

إنَّ الله خَلَقَ العَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذهُ مَكَاناً لِذَاتِهِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya dan tidak untuk Ia jadikan sebagai tempat bagi Dzat Nya” (Diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al-Farq bain al-Firaq).

Penjelasan; Arsy adalah makhluk Allah yang paling besar bentuk dan ukurannya, letaknya di atas langit ke tujuh, bagian dari Arsy merupakan atap surga. Sayyidina Ali menjelaskan bahwa Arsy adalah makhluk, Allah yang menciptakannya. Sayyidina Ali menjelaskan bahwa tujuan penciptaan Arsy adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allah (tanda kebesaran kekuasaan Allah).

Para malaikat (penduduk langit) yang melihat keagungan Arsy akan bertambah kuat keimanannya kepada Allah, Penciptanya. Sayyidina Ali menegaskan bahwa tujuan penciptaan Arsy bukan untuk dijadikan tempat duduk atau tempat tinggal bagi Allah.

Ini adalah bantahan terhadap kelompok mujassimah Wahhabi yang mengatakan bahwa Allah bertempat, duduk, bersemayam di atas Arsy.

Aqidah musyabbihah bertentangan dengan akidah Sayyidina Ali karramallahu wajhah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) -radliyallahu ‘anhu- berkata:

مَن زَعَمَ أن إلهنَا محدودٌ فقد جَهِلَ الخالقَ المعبودَ

“Barangsiapa yang menyangka bahwa tuhan kita (Allah) itu mahdud (memiliki bentuk dan ukuran) maka dia tidak mengenal Pencipta yang disembah”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Awliya’)

Penjelasan; Mahdud dalam istilah ulama tauhid artinya sesuatu yang memiliki bentuk atau ukuran, baik kecil maupun besar. Arsy (makhluk Allah yang paling besar ukurannya) itu mahdud, demikian juga adz Dzarrah (makhluk Allah yang paling kecil yang bisa dilihat dengan mata) itu juga mahdud, cahaya, kegelapan, angin itu juga mahdud.

Makna perkataan Sayyidina Ali; orang yang meyakini bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran maka dia tidak mengenal Allah (bukan seorang mukmin). Kelompok yang meyakini bahwa Allah bertempat di atas Arsy, di atas langit dan tempat lainnya berarti telah meyakini bahwa Allah memiliki ukuran. Karena setiap yang bertempat pasti punya ukuran.

  1. Adakalanya berukuran sama dengan tempatnya
  2. Adakalanya berukuran lebih kecil dari tempatnya
  3. Adakalanya berukuran lebih besar dari tempatnya. Berarti orang yang meyakini bahwa Allah bertempat tidak mengenal Allah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib (40 H) -radliyallahu ‘anhu- berkata:

سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عِنْدَ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ كُفَّارًا فَقَالَ رَجُلٌ: يَا أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ: كُفْرُهُمْ بِمَاذَا أَبِاْلإِحْدَاثِ أَمْ بِاْلإِنْكَارِ؟ فَقَالَ: بَلْ بِاْلإِنْكَارِ يُنْكِرُوْنَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِاْلجِسْمِ وَاْلأَعْضَاءِ

“Ketika mendekati hari kiamat, sekelompok orang dari umat ini akan kembali menjadi orang-orang kafir. Salah seorang bertanya: Wahai amirul mukminin, kekufuran mereka apakah karena membuat hal-hal baru atau karena pengingkaran?.

Beliau menjawab: “Kekufuran mereka karena pengingkaran. Mereka mengingkari sang Pencipta dan mensifati-Nya dengan benda dan memiliki anggota-anggota badan”. (Diriwayatkan oleh Ibn al-Mu’allim al Qurasyi dalam kitabnya “Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu’tadi”).

Penjelasan; Sayyidina Ali bin Abi Thalib -radliyallahu ‘anhu- menjelaskan penyebab kekufuran sekelompok orang di akhir zaman adalah dengan mengingkari sang Pencipta, yaitu dengan cara:

  1. Mensifati Allah Ta'ala dengan sifat jisim. Mereka mengatakan bahwa Allah Ta'ala itu memiliki bentuk, ukuran, berada pada tempat dan arah.
  2. Mensifati Allah Ta'ala dengan anggota badan. Mereka mengatakan bahwa Allah itu memiliki anggota badan seperti muka, mata, tangan dan seterusnya.

Pernyataan Sayyidina Ali sangat sesuai dengan sifat kelompok Wahhabi pada masa sekarang yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an Najdi al Tamimi.

Sayyidina Zainal An as Sajjad Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (w. 95 H) -radliyallahu’ anhuma- berkata:

أَنْتَ اللهُ اَّلذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ

“Engkau Allah, Dzat yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al Hafidz Muhammad Murtadla az Zabidi dalam kitab Ithaf as Sadah al Muttaqin fi Syarh Ihya’ Ulumiddin, juz 4)

Penjelasan; Sayyidina Ali bin al-Husain -radliyallahu ‘anhu- adalah:

  1. Beliau bernama Ali bin al-Husain, lahir pada tahun 38 H dan wafat pada tahun 95 H.
  2. Putra dari cucu tercinta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sayyidina al-Husain yang disebut Nabi sebagai pemimpin para pemuda Surga bersama saudaranya Sayyidina al-Hasan -radliyallahu ‘anhuma-.
  3. Laqob/julukan Sayyidina Ali bin al-Husain adalah Zainal Abidin dan as-Sajjad, karena beliau dalam sehari semalam tidak kurang dari seribu rekaat melakukan sholat sunnah, dan beliau dikenal sebagai orang yang sangat khusyu’ di dalam sholatnya.

Dalam perkataan di atas, beliau menegaskan bahwa “Allah ada tanpa tempat". Tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda/jisim. Allah bukan benda/jisim, karenanya tidak boleh dikatakan Allah bertempat pada suatu tempat.

Beliau juga mengatakan:

أَنْتَ اللهُ الَّذِيْ لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا

“Engkau Allah, Dzat yang tidak dibatasi sehingga Engkau mahdud (sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran)”.

Aqidah Salaf Abad Kedua Hijriyyah

Sayyidina Jakfar as Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib -radliyallahu ‘anhum- (w. 148 H) berkata:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللهَ فِي شَيْءٍ، أَوْ مِنْ شَيْءٍ، أَوْ عَلَى شَيْءٍ فَقَدْ أَشْرَكَ. إِذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَيْءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً، وَلَوْ كَانَ فِي شَيْءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا، وَلَوْ كَانَ مِنْ شَيْءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا- أَيْ مَخْلُوْقًا

“Barangsiapa beranggapan bahwa Allah ada dalam sesuatu atau berasal dari sesuatu atau berada di atas sesuatu maka dia telah syirik. Karena apabila Allah ada di atas sesuatu maka Dia mahmul, Apabila Allah berada dalam sesuatu maka Dia mahshur dan apabila Allah berasal dari sesuatu maka Dia makhluk” (Diriwayatkan oleh al Qusyairi dalam kitab ar Risalah al Qusyairiyah, h. 6)

Sayyidina al-Imam Jakfar as-Shadiq –radliyallahu ‘anhu- adalah:

Nama beliau adalah Ja’faf bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, lahir pada tahun 83 H dan wafat pada tahun 148 H. Beliau adalah cucu Rasulullah yang diklaim kelompok Syiah sebagai imam mereka, padahal beliau adalah imam Ahlussunnah wal Jama’ah yang mencapai derajat ijtihad muthlaq. Beliau adalah salah satu guru dari al Imam Abu Hanifah radliyallahu ‘anhu.

Makna perkataan Sayyidina Jakfar as-Shadiq –radliyallahu ‘anhu-: Allah tidak berada di atas sesuatu, sebab jika dikatakan Dia berada di atas sesuatu maka artinya Allah itu mahmul. Mahmul artinya dibawa oleh sesuatu. 

Allah tidak berada di dalam sesuatu, karena jika dikatakan bahwa Dia berada di dalam sesuatu maka artinya Allah mahshur. Mahshur artinya terbatas pada sesuatu.

Allah itu tidak berasal dari sesuatu (azali), sebab jika dikatakan Dia berasal dari sesuatu maka artinya dia muhdats/makhluk. Muhdats artinya diadakan dari tidak ada menjadi ada.

Orang yang meyakini bahwa Allah di atas, di dalam dan dari sesuatu menjadi musyrik. Karena dia telah menyembah makhluk yang dia khayalkan sebagai Allah.

Al-Imam Al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit -radliyallahu ‘anhu- (w.150 H) berkata:

وَاللهُ تَعَالَى يُرَى فِي اْلآخِرَةِ، وَيَرَاهُ اْلمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي اْلجَنَّةِ بِأَعْيُنِ رُؤُوْسِهِمْ بِلَا تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِيَّةٍ، وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَةٌ

“Allah ta’ala itu bisa dilihat di akhirat, orang-orang mukmin melihat-Nya ketika mereka berada di dalam Surga dengan mata kepala mereka, tanpa tasybih (penyerupaan), tanpa kammiyyah (ukuran), tidak ada jarak di antara Dia dan makhluk-Nya” (Disebutkan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar).

Imam Abu Hanifah –radliyallahu ‘anhu- adalah: Namanya Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Beliau adalah seorang mujtahid muthlaq pendiri madzhab Hanafi. 

Meskipun dikenal sebagai ahli fiqih, tetapi beliau telah menulis 5 kitab yang secara khusus menjelaskan tentang ilmu tauhid/ilmu kalam, di antaranya adalah al Fiqh al-Akbar, al-Fiqh al-Absath dan al-Washiyyah. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama Salaf memiliki perhatian besar terhadap ilmu tauhid yang disebut juga ilmu kalam, membantah kelompok yang mencela ilmu kalam secara muthlaq.

Makna perkataan imam Abu Hanifah –radliyallahu ‘anhu-:

Penduduk surga (orang mukmin) akan melihat Allah dengan mata kepala mereka. Mereka di dalam surga sedangkan Allah ada tanpa tempat dan arah (tidak di dalam surga juga tidak di luar surga, tidak di depan, di belakang, di atas, di bawah, di kanan dan di kiri mereka).

Hal ini dapat dipahami dari lanjutan perkataan beliau bahwa Dengan tanpa tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk), karena jika dikatakan bahwa Allah bertempat di dalam atau di luar surga maka akan serupa dengan makhluk. Dengan tanpa kammiyyah (ukuran), karena jika dikatakan Allah bertempat pasti berukuran lebih besar, sama besarnya atau lebih kecil dari surga.

Tidak ada jarak antara Allah dan makhluk Nya, karena jika dikatakan Allah bertempat pasti ada jarak antara Dia dan makhluk, baik jauh atau dekat dan berada pada arah tertentu.

Al Imam Al Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit -radliyallahu ‘anhu- (w. 150 H) berkata:

وَنُقِرُّ بِأَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إِلَيْهِ وَاسْتِقْرَارٍ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ اْلعَرْشِ وَغَيْرِ اْلعَرْشِ مِنْ غَيْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَّا قَدَرَ عَلَى إِيْجَادِ اْلعَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَاْلمَخْلُوْقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى اْلجُلُوْسِ وَاْلقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ اْلعَرْشِ أَيْنَ كَانَ اللهُ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا

“Kita menetapkan bahwa Allah subhanahu wata’ala ‘ala al-Arsy istawa tanpa membutuhkan kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya. Allah adalah Dzat yang menjaga Arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepadanya, apabila Allah butuh pada lainnya maka Dia tidak akan kuasa untuk mengadakan alam dan mengaturnya seperti halnya makhluk, apabila Allah butuh pada duduk dan menetap maka sebelum terciptanya Arsy, di mana Allah?! Allah benar-benar maha suci dari semua itu.”(Disebutkan oleh Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Washiyyah).

Imam Abu Hanifah –radliyallahu ‘anhu- menegaskan bahwa Allah ‘ala al-Arsy istawa tidak dengan makna duduk dan bersemayam di atas Arsy, tetapi dengan makna Allah adalah Dzat yang menjaga dan memelihara Arsy.

Argumentasi imam Abu Hanifah –radliyallahu ‘anhu- atas hal itu sebagai berikut:

Apabila Allah ‘ala al-Arsy istawa diartikan Allah duduk atau bersemayam di atas Arsy maka berarti Dia butuh kepada Arsy, padahal sesuatu yang membutuhkan pada yang lain berarti lemah, dan sesuatu yang lemah tidak mungkin berkuasa untuk menciptakan alam semesta.

Apabila Allah butuh pada duduk dan menetap, pertanyaannya, sebelum Arsy diciptakan di mana Allah?!

Jika dikatakan, sebelum tercipta Arsy Allah ada tanpa Arsy, kemudian setelah tercipta Arsy berubah menjadi butuh pada Arsy untuk duduk dan menetap maka berarti Dia makhluk, karena berubah adalah tanda terbesar dari makhluk.

Jika dikatakan, Arsy tidak diciptakan (azali, tidak berpermulaan adanya) maka ini berarti menyamakan Allah dengan Arsy, sama-sama ada tanpa permulaan.

Aqidah Salaf Abad Ketiga Hijriyah

Al-Imam Al-Mujtahid Ahmad bin Hanbal (241H) –radliyallahu ‘anhu– berkata:

مَنْ قَالَ أَنَّ اللهَ جِسْمٌ لاَ كَالْأَجْسَامِ كَفَرَ

“Barangsiapa yang berkata bahwa Allah itu jisim tidak seperti jisim maka dia kufur”. (Diriwayatkan oleh al Imam Badruddin az Zarkasyi dalam kitab Tasynif al Masami’ Syarh Jam’i al Jawami’)

Al Imam Ahmad –radliyallahu ‘anhu– adalah Namanya Ahmad bin Hanbal, lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H. Seorang mujtahid muthlaq pendiri madzhab Hambali. 

Beliau diklaim sebagai imam kelompok Wahhabi, padahal Aqidah mereka berbeda dengan Aqidah Imam Ahmad. Beliau diberi gelar Syaikh al–Huffadz, beliau hafal satu juta hadits, baik matan maupun sanadnya.

Al Imam Ahmad bin Hanbal mengkafirkan orang yang meyakini bahwa Allah itu berupa jisim (al Mujassim). Termasuk al mujassim adalah orang yang meyakini Allah bertempat di suatu tempat. Al Imam Ahmad juga mengkafirkan orang yang meyakini bahwa Allah itu jisim yang tidak seperti jisim. Karena dalam perkataan ini ada kontradiksi (tanaqudl). Tidak ada faidah perkataan “tidak seperti jisim” setelah menetapkan bahwa “Allah itu jisim”.

Perkataan seperti ini seperti perkataan seseorang: Allah itu bodoh tidak seperti orang-orang bodoh, Allah itu dzalim tidak seperti orang-orang dzalim. Perkataan tersebut berbeda dengan perkataan: lillahi yadun laa kaaidina, lillahi wajhun lakawajhina.

Karena jisim hanya memiliki satu makna yang tidak layak bagi Allah, sebagaimana bodoh dan dzalim. Sementara yad dan wajh memiliki banyak makna, yang sebagian layak bagi Allah dan sebagian tidak layak bagi-Nya.

Al Imam Ahmad bin Hanbal (241H) –radliyallahu ‘anhu– berkata:

إِنَّ اْلأَسْمَاءَ مَأْخُوْذَةٌ بِالشَّرِيْعَةِ وَالُّلغَةِ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوْا هَذَا اْلاِسْمَ عَلَى كُلِّ ذِيْ طُوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ وَصُوْرَةٍ وَتَأْلِيْفٍ، وَاللهُ تَعَالَى خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَمَّى جِسْمًا لِخُرُوْجِهِ عَنْ مَعْنَى اْلجِسْمِيَّةِ، وَلَمْ يَجِئْ فِي الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ، فَبَطَلَ

“Sesungguhnya nama itu diambil dari syariat dan bahasa. Dan ahli bahasa menggunakan nama ini (jisim) untuk sesuatu yang memiliki panjang, lebar, ketebalan, rangkaian, bentuk dan susunan, sedangkan Allah keluar dari semua itu, sehingga tidak boleh Allah dinamakan dengan jisim karena keluarnya Allah dari makna jisim. Dalam syariat juga tidak ada nama itu untuk Allah, maka batal-lah (penamaan Allah dengan jisim)”. (Diriwayatkan oleh Abu al Fadl at Tamimiy, pemimpin ulama madzhab Hanbali dalam kitab I’tiqod al Imam Al Mubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal)

Dasar penamaan sesuatu ada dua, yaitu bahasa dan syariat. Tidak boleh menamakan Allah dengan jisim, karena dua hal: Dalam syariat (al Qur’an dan hadits), tidak ada penamaan Allah dengan jisim. Dalam bahasa, penamaan Allah dengan jisim tidak sesuai dengan kesucian Allah dari menyerupai makhluk.

Karena menurut bahasa, jisim artinya sesuatu yang memiliki panjang, lebar, kedalaman, bentuk dan susunan. Sedangkan sesuatu yang memiliki panjang, lebar, ketebalan, bentuk dan susunan adalah makhluk. Karena membutuhkan kepada yang menjadikannya pada panjang, lebar dan kedalaman tersebut. Allah maha suci dari menyerupai makhluk.

Ketika ditanya tentang al-Istiwa’, al Imam Ahmad bin Hanbal (241H) -­radliyallahu anhu – menjawab:

اسْتَوَى كَمَا أَخْبَرَ لَا كَمَا يَخْطُرُ لِلْبَشَرِ

“Allah istawa sebagaimana Dia kabarkan (dalam Al Qur’an), tidak seperti yang terlintas pada (hati) manusia”. (Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam kitab al Burhan al Muayyad dan al Imam Taqiy ad-Din al Hushni dalam kitab Daf’u Syubah man Syabbaha Watamarrod)

Makna perkataan al Imam Ahmad bin Hanbal -­radliyallahu anhu -adalah: Istiwa’ Allah tidak sama dengan istiwa’ yang terlintas dalam hati manusia. Istiwa’ yang terlintas dalam hati manusia adalah duduk dan bersemayam. Dengan demikian “Istiwa’ Allah bukan duduk dan juga bukan bersemayam”.

Al Imam Ahmad bin Hanbal tidak menentukan makna dari Istawa, tetapi beliau tidak memaknainya dengan makna dzahirnya. Dengan demikian, beliau melakukan takwil meski secara ijmali (global), tidak secara tafshili (terperinci). Pernyataan al Imam Ahmad bin Hanbal ini adalah bantahan telak terhadap Wahhabi yang mengaku-ngaku sebagai pengikut al Imam Ahmad tetapi meyakini Allah duduk di atas Arsy.

Ibnu Taimiyah (panutan Wahhabi) mengatakan: “Allah duduk di atas Arsy dan mendudukan nabi Muhammad bersama-Nya”. (Lihat kitab Majmu’ al Fatawa jilid 4)

Al Imam Al Mujtahid Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dan al Imam Tsauban bin Ibrahim Dzun Nun al Mishriy (w. 179 H) –rahimahumallah- berkata:

مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ

“Apapun yang tergambar dalam benakmu (tentang Allah) maka Allah berbeda dengan itu”. Diriwatkan dari al Imam Ahmad oleh Abu al Hasan at-Tamimi al Hanbali dalam kitab I’tiqod al Imam Al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal. Diriwayatkan dari Dzun Nun al Mishriy oleh al Hafidz Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasqa.

Makna perkataan di atas adalah:

Allah berbeda dengan apa yang tergambar, terfikirkan dan terbayang dalam benak kita. Karena setiap yang tergambar dalam benak manusia adalah benda yang disifati dengan sifat benda (bertempat, berarah, memiliki bentuk dan ukuran, memiliki warna dan seterusnya). Akal manusia tidak bisa menjangkau dan mengetahui hakekat Allah. Karena hakekat Allah bukan benda, sementara yang tergambar dan terpikir dalam benak adalah benda.

Karena itu, umat Islam dilarang untuk berfikir, membayangkan dan menggambarkan Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ فِكْرَةَ فِي الرَّبِّ

“Tidak boleh berfikir tentang Tuhan”. (Diriwayatkan oleh al Hafidz as Suyuthi dalam kitab Tafsirnya)

Sahabat Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu berkata:

تَفَكَّرُوْا فِي كُلِّ شَيْءٍ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِي ذَاتِ اللهِ

“Berfikirlah tentang tentang segala sesuatu dan jangan berfikir tentang dzat Allah (Hakikat Allah)”. (Diriwayatkan oleh Al Hafidz al Bayhaqi dalam kitab al Asma wa as Shifat)

Posting Komentar untuk "Siapakah Salaf Sebenarnya"