Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mencium Tangan Bid'ah, Benarkah

Masih ada aja yang mempermasalahkan soal mencium tangan. Anda harus tahu bahwa mencium tangan orang yang shaleh, bahkan terhadap penguasa yang bertakwa dan juga orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allooh Ta'ala. 

Hukum Mencium Tangan Orang Sholeh


Hal ini berdasarkan dalil hadits-hadits Rasulullaah shollallaahu Alaihi Wasallam dan atsar para shahabat berikut ini. Yaitu diantaranya; Hadits riwayat al-Imam at-Turmudzi dan lainnya, bahwa ada dua orang Yah*udi sepakat menghadap Rasulullaah. Salah satu orang dari mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap --orang yang mengaku-- Nabiy ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allaah turunkan kepada Nabiy Musa”. Tujuan dari kedua orang Yahudi ini tidak lain adalah hendak mencari kelemahan dari Rasulullaah, karena beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullaah tidak-lah mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullaah dan menanyakan akan perihal dari sembilan ayat yang diturunkan kepada Nabiy Musa tersebut, maka Rasulullaah menjelaskan kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullaah. Keduanya orang Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullaah dan juga kakinya Rasulullah. Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih (Lihat Jami’ at-Tirmidzi, Kitab al-Isti’dzan, Bab Ma Ja’a Fi Qublah al-Yad Wa ar-Rijl). Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari shahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: 

“Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan ke-dua lututnya” ( Lihat ad-Durr al-Mantsur, j. 4, h. 314). 

Al-Imam al-Bukhoriy meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrod bahwa shahabat ‘Ali ibn Abi Tholib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththolib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang sholeh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut (Lihat al-Adab al-Mufrod, h. 328). 

Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari kalangan shahabat yang masih muda ketika Rasulullaah meninggal. ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian shahabat Rasulullaah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullaah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullaah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullaah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami (para shahabat) memperlakukan keluarga Rasulullaah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih sepuh atau tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thobaqot dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya” (Lihat Thabaqat Ibn Sa’d, j. 4, h. 229). Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhoriy. Al-Imam Muslim berkata kepadanya:

وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.

“Seandainya Anda mengizinkan pasti aku cium kaki Anda” (Lihat at-Taqyid Li Ma’rifah as-Sunan Wa al-Masanid, h. 33). Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:

“Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullaah, beliau berkata:

فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)

“Maka kami mendekat kepada Rasulullaah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)

Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabiy ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:

فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.

“Maka keduanya mencium tangan Nabiy dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat. Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:

فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullooh Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud) Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (Hoax, tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari 'Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:

قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.

“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullaah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, j. 23, h. 108-114). Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.

“Aku tidak pernah melihat seorang-pun lebih mirip dengan Rasulullaah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullaah, maka Rasulullaah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullaah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullaah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullaah, kemudian mencium Rasulullaah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”. Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.

Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.

Membongkar Ke-Salah Paham-an Kaum Wah*abi

Hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para shahabat jika mereka melihat Rasulullaah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullaah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullaah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullaah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)

berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.

Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits (Ibn Hibban meriwayatkannya dalam Kitab adl-Dlu’afa’, j. 2, h. 51, al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir menganggapnya dla’if. Demikian pula dinyatakan dla’if oleh al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh Ibn Hajar, dan lainnya. Bahkan al-Hafizh Ibn al-Jauzi mengklaimnya sebagai hadits Maudlu’. Lihat al-Maudlu’at, j. 3, h. 46-47).


Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!? Hasbunallah.

Posting Komentar untuk "Mencium Tangan Bid'ah, Benarkah"