NEWS

Jawaban Atas Kerancuan Faham Musyabbihah Dalam Pengingkaran Mereka Terhadap Tafsir Istawâ Dengan Istawlâ

Berikut adalah Jawaban Atas Kerancuan Faham Musyabbihah Dalam Pengingkaran Mereka Terhadap Tafsir Istawâ Dengan Istawlâ.


 Kerancuan Pertama:

Kaum Musyabbihah dari orang-orang Wahhabiyyah mengatakan bahwa tafsir Istawâ dengan Istawlâ sebagai sesuatu yang mashur adalah anggapan batil dan tidak memiliki dasar, karena tidak ada seorangpun dari para ahli bahasa dan ulama yang memaknai Istawâ dengan Istawlâ. Dengan demikian penafsiran ini, menurut mereka, adalah sesuatu yang diingkari oleh para ahli bahasa sendiri. Salah seorang pemuka Wahhabiyyah bernama Muhammad Utsaimin dalam salah satu bukunya menuliskan: “Dalam bahasa Arab sama sekali tidak ada kata Istawâ dalam makna Istawlâ”[1].

Selain Muhammad Utsaimin, pemuka kaum Wahhabiyyah lainnya bernama Abd al-Hadi Wahbi menuliskan: “Tidak ada seorangpun dari para ulama ahli bahasa yang menyatakan demikian (menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ) yang pendapatnya dapat dibenarkan”[2].

Jawab: 


Pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ biasa dipergunakan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli bahasa sendiri yang kepakaran dan keahlian mereka telah disepakati oleh para ulama. Simak salah seorang mereka; Imam al-Lughawiy Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad yang lebih dikenal dengan sebutan ar-Raghib al-Ashbahani (w 502 H), berkata: “Kata Istawâ, jika dijadikan Fi’il Muta’addî (kata kerja yang membutuhkan objek) dengan ditambahkan “’Alâ” maka maknanya tertentu hanya dalam pengertian manguasai, seperti dalam firman Allah: “ar-Rahmân ‘Alâ al-’Arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5)”[3].

Selain ar-Raghib al-Ashbahani masih panjang daftar nama pakar bahasa lainnya yang telah mengungkapkan pemknaan Istawâ dengan Istawlâ, di antaranya; al-Lughawiy Ahmad ibn Muhammad ibn Ali al-Fayyumi (w 770 H) dalam kitab kamus al-Mishbâh al-Munîr, al-Lughawiy Abu Ishaq az-Zajjaj (w 311 H) dalam Ma’ânî al-Qur’ân, al-Lughawiy Abu al-Qasim az-Zajjaji (w 340 H) dalam kitab Isytiqâq Asmâ’ Allâh, al-Lughawiy Ibn Manzhur (w 711 H) dalam Lisân al-‘Arab, Imam al-Lughawiy al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (1205 H) dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn dan lainnya.

Demikian pula penafsiran ini telah dikemukakan oleh para ulama terkemuka. Jumlah mereka sangat banyak, kita membutuhkan banyak lembaran kertas untuk menuliskan nama mereka semua. Cukup bagi kita bahwa di antara mereka adalah Imam al-Mujtahid Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) yang telah menyebutkan dalam kitab tafsirnya yang sangat mashur; Tafsîr ath-Thabari yang telah menuliskan bahwa penggunaan kata Istawâ dalam bahasa Arab memiliki banyak pengertian, lalu beliau mengatakan: “Di antara maknanya adalah menundukan dan menguasai, sebagaimana bila dikatakan dalam bahasa Arab “Istawâ Fulân ‘Alâ al-Mamlakah”, maka artinya bahwa si fulan telah menguasai dan menundukan kerajaan tersebut”[4].

Imam Ibn Jarir ath-Thabari adalah salah seorang ulama Salaf terkemuka yang telah mencapai derajat mujtahid mutlak dalam keilmuannya, dengan sangat jelas dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa di antara makna Istawâ adala Istawlâ. Demikian pula penafsiran ini dinyatakan oleh para pakar bahasa, di antaranya oleh Imam ar-Raghib al-Ashbahani, yang kepakarannya telah disepakati baik oleh kita sebagai kaum Ahlussunnah atau oleh orang-orang Wahhabi sendiri. Maka dengan dasar apakah -kalau bukan hanya karena hawa nafsu belaka-, kaum Wahhabiyyah mengklaim bahwa pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ sama sekali tidak dikenal penggunaannya dalam bahasa Arab?!

__________

[1] Syarh al-‘Aqîdah al-Wâsithiyyah, j. 1, h. 381, karya Muhammad Utsaimin

[2] Kitab berjudul al-Kalimât al-Hisân, h. 255

[3] al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur’ân, h. 251

[4] Jâmi’ al-Bayân, j. 1, h. 192

Kerancuan Ke Dua:

Terkadang seorang Mujassim atau seorang Wahhabi berkata: “Benar, kami mengakui bahwa di antara makna Istawâ adalah Istawlâ, yang berarti menundukan atau menguasai, hanya saja makna ini menuntut adanya penentang bagi Allah, yang kemudian Allah dapat mengalahkan dan menguasai penentang-Nya tersebut (Sabq al-Mughâlabah), padahal tidak ada siapapun yang dapat menentang Allah”.

Jawab:


Memaknai Istawâ dengan Istawlâ sama sekali tidak menuntut adanya penentang bagi Allah, karena makna Istawlâ di sini sama dengan makna Qahara, yang keduanya sama-sama bermakna menundukan atau menguasai. Pada makna kata Qahara, kita meyakini bahwa di dalamnya tidak ada inidikasi Sabq al-Mughâlabah, dan karenanya Allah menamakan diri-Nya dengan al-Qahhâr dan al-Qâhir; artinya Yang Maha menguasai, sebagaimana hal ini tertulis dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Wâhid al-Qahhâr” (QS. Ar-Ra’d: 16), dan dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), maka demikian pula makna dalam kata Istawlâ yang berarti menguasai, kita meyakini makna kekuasaan Allah ini bukan dalam pengertian adanya Sabq al-Mughâlabah bagi-Nya.

Karena itu Imam Abu Nashr Abd ar-Rahim al-Qusyairi (w 514 H), dalam bantahannya atas orang yang mengingkari makna Istawlâ hanya karena adanya indikasi Sabq al-Mughâlabah, menuliskan sebagai berikut:

“Jika ada yang mengatakan bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara atau Ghalaba memberikan indikasi seakan Allah terlebih dahulu dikalahkan (Sabq al-Mughâlabah), maka kita jawab: Jika demikian, lantas bagaimana dengan firman: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 129), apakah dengan dasar ayat ini kalian juga akan mengatakan bahwa Allah terlebih dahulu dikalahkan oleh hamba-hamba-Nya?! Pemahaman kalian benar-benar keliru. Bagaimana kalian akan berani mengatakan bahwa hamba-hamba Allah mengalahkan Allah, padahal mereka semua adalah makhluk-makhluk-Nya?! Justeru sebaliknya, jika makna Istawâ ini di artikan seperti yang dipahami oleh oleh kaum Musyabbihah yang bodoh bahwa Allah bersemayam atau bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy maka berarti hal tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah berubah, dari sebelumnya bukan di atas arsy, kemudian menjadi di atas arsy, karena sesungguhnya arsy itu adalah ciptaan Allah sendiri”[1].

[1] Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, h. 108

Kerancuan Ke Tiga:


Mereka yang menentang pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ seringkali mengatakan bahwa bait syair yang berbunyi: “Qad Istawâ Bisyr ‘Alâ al-Irâqi, Min Ghayr Syaif Wa Dam Muhrâqi” adalah bait syair yang secara etimologi tidak dapat dijadikan sandaran, dengan beberapa alasan berikut:

Bait syair tersebut tidak dikenal siapa yang membuatnya (Majhûl), maka bagaimana mungkin pernyataan seorang yang tidak dikenal dapat dijadikan sandaran?!

Bait syair itu adalah bait syair yang dibuat-buat yang sama sekali tidak dikenal dalam penggunaan bahasa.

Ada sebagian yang menyebutkan bahwa bait syair itu berasal dari perkataan seorang Nashrani. Jika benar demikian, maka bagaimana mungkin pernyataan seorang Nashrani dapat dijadikan sandaran?!

Bait syair tersebut telah diingkari juga oleh para ahli bahasa.

Jawab:


Jawaban pertama; “Sesungguhnya para pakar bahasa telah mengutip bait syair tersebut di dalam karya-karya mereka. Dengan demikian mereka berarti menyetujui pemaknaan tersebut. Dan kutipan mereka ini sudah lebih dari cukup untuk menetapkan pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ. Sama sekali bukan masalah jika sebuah bait syair tidak dikenal siapa pembuatnya, karena sesungguhnya dari para penduduk Mekah itu tidak sedikit yang ahli dalam membuat bait-bait sya’ir, dan bait-bait syair tersebut kemudian dijadikan rujukan oleh para pakar bahasa walaupun bait-bait tersebut tidak dikenal persis siapa yang telah membuatnya.

Namun demikian, pakar bahasa yang sangat terkenal; Imam al-Hâfizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Tâj al-‘Arûs menyebutkan bahwa bait tersebut berasal dari al-Akhthal (w 90 H)[1]. Demikian pula Ibn Katsir dalam kitab al-Bidâyah Wa an-Nihâyah menyebutkan bahwa bait sya’ir tersebut berasal dari al-Akhthal[2]. Dan al-Akhthal ini adalah seorang penyair Nashrani yang sangat terkenal. Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ’ menuliskan bahwa al-Akhthal adalah penyair terkemuka pada masanya[3]. Dengan demikian ungkapan-ungkapan bahasa dari para penyair terdahulu, bahkan yang berasal dari orang-orang jahiliyyah para penyembah berhala sekalipun, dapat dijadikan bukti dalam menetapkan makna-makna bahasa secara terminologis.

Sementara untuk masalah nomor dua dan nomor empat kita jawab seperti yang telah kita ungkapkan dalam jawaban kerancuan mereka pada kerancuan mereka nomor satu. Lebih dari pada itu, pernyataan mereka bahwa bait syair ini hanya dibuat-buat belaka atau bahwa bait syair ini diingkari oleh para ahli bahasa adalah pernyataan yang sama sekali tidak memiliki dasar. Kita katakan kepada mereka; Siapakah dari para ahli bahasa yang mengingkari hal tersebut? Siapakah yang mengatakan bahwa bait syair ini hanya dibuat-buat belaka? Sebutkan salah satu nama saja dari mereka?! Orang-orang Wahhabiyyah tidak akan dapat  menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kemungkinan puncak jawaban mereka adalah bahwa pengingkaran tersebut sebagaimana telah diungkapkan oleh Ibn al-A’rabi. Kita katakan kepada mereka: Pemahaman Ibn al-A’rabi terhadap ayat-ayat Istawâ tidak seperti yang kalian pahami, dan Ibn al-A’rabi sendiri tidak anti terhadap takwil seperti pemahaman kalian, beliau tidak pernah mengartikan Istawâ pada hak Allah dengan makna Istaqarra, atau bersemayam seperti pemahaman sesat kalian.

Untuk masalah nomor tiga kita katakan kepada mereka bahwa karya-karya para ahli bahasa banyak berisi pengambilan bukti-bukti dalam menetapkan pemaknaan bahasa dengan bersandarkan kepada para penya’ir jahiliyah yang notabene mereka adalah orang-orang kafir, para penyembah berhala dan orang-orang yang menyekutukan Allah. Oleh karena untuk menetapkan mana-makna kosa kata secara etomologis dapat disandarkan kepada bukti dari syair-syair yang telah mereka buat, termasuk dalam hal ini kepada bait syair yang telah dibuat olah al-Akhthal yang notabene seorang Nashrani.

________________________________________________

[1] Tâj al-‘Arûs, j. 38, h. 331

[2] al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 9, h. 220

[3] Siyar A’lâm an-Nubalâ, j. 4, h. 589

Kerancuan Ke Empat:

Terkadang kaum Mujassimah dari kaum Wahabbiyyah mengatakan bahwa kata Istawâ telah disebutkan dalam tujuh tempat dari ayat-ayat al-Qur’an, yaitu pada QS. Al-A’raf: 54, QS. Yunus: 3, QS. Ar-Ra’d: 2, QS. Thaha: 5, QS. Al-Furqan: 59, QS. As-Sajdah: 4,  dan QS. al-Hadid: 4, dari keseluruhan ayat ini tidak ada satupun yang menyebutkan kata-kata Istwlâ. Artinya jika benar takwil Istawâ dengan Istawlâ, maka kata Istawlâ tersebut akan disebutkan di dalam al-Qur’an sendiri.

Jawab:

Kita katakan kepada mereka seperti yang telah dinyatakan oleh Imam al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki dalam bantahannya atas karancuan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, berkata: “Apa yang dikatakan oleh Ibn al-Qayyim, (bahwa seharusnya kata Istawlâ disebutkan dalam al-Qur’an), adalah pendapat yang tidak benar, karena sesungguhnya dalam al-Qur’an terdapat penggunaan kata-kata majaz (metafor)”[1].

Kemudian kita katakan kepada mereka: “Jika kalian mengingkari takwil Istawâ dengan Istawlâ hanya karena alasan bahwa kata Istawlâ tidak ada penyebutannya dalam al-Qur’an maka demikian pula penyebutan kata Jalasa atau Istaqarra; yang berarti bertempat atau bersemayam seperti keyakinan kalian pada hak Allah sama sekali tidak ada penyebutannya dalam satu ayatpun dari al-Qur’an. Lantas mengapa kalian mengangkari kami terhadap sesuatu yang kalian sendiri telah melakukannya?!”

Kemudian kita katakan pula kepada mereka: “Apa pendapat kalian tentang firman: “Fastawâ ‘Alâ Sûqih” (QS. Al-Fath: 29)?! Apakah kalian akan mengatakan bahwa Istawâ dalam ayat ini juga dalam pengertian bertempat atau bersemayam?! Jika kalian bersikukuh hanya mengartikan Istawâ dengan makna Istaqarra saja maka kalian benar-benar bodoh tidak mengetahui bahasa”.

[1] as-Sayf ash-Shaqîl, h. 86

Kerancuan Ke Lima:

Seringkali kaum Mujassimah Musyabbihah mengatakan bahwa jika Istawâ dimaknai dengan Istawlâ yang berarti bahwa Allah menguasai arsy maka berarti penyebutan arsy secara khusus dalam ayat-ayat tentang Istawâ ini tidak memiliki faedah, karena sesungguhnya Allah menguasai seluruh makhluk-Nya, tidak hanya menguasai arsy saja.

Jawab: 

Penyebutan arsy secara khusus adalah sebagai pemuliaan terhadap arsy itu sendiri. Karena sesuatu yang disebut secara khusus dengan disandarkan kepada nama Allah adalah menunjukan bahwa sesuatu tersebut memiliki kedudukan yang agung, contohnya seperti firman Allah tentang unta betina milik Nabi Shaleh: “Nâqatallâh...” (QS. Asy-Syams: 13). Dalam ayat ini disebutkan unta betina secara khusus dengan disandarkan kepada nama Allah, padahal Allah adalah pemilik dari segala unta bentuk apapun; hal ini untuk menunjukan bahwa unta betina milik Nabi Shaleh tersebut memiliki keistimewaan dibanding unta-unta betina lainya.

Kemudian dari pada itu kita katakan pula kepada mereka bahwa arsy secara khusus disebutkan dalam ayat-ayat tentang Istawâ ini adalah karena arsy makhluk Allah yang paling besar bentuk dan ukurannya. Dengan demikian, jika makhluk yang paling besar bentuknya dikuasai oleh Allah maka secara otomatis segala makhluk yang bentuknya di bawah arsy sudah pasti juga dikuasai oleh Allah. Artinya, jika kita katakan bahwa Allah menguasai arsy, maka itu artinya bahwa Allah juga menguasai segala sesuatu yang bentuknya di bawah arsy.

Di antara dalil yang menunjukan bahwa arsy adalah makhluk Allah yang paling besar adalah sebuah hadits riwayat Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahî-nya, juga diriwayatkan oleh para ahli hadits lainnya bahwa Rasulullah bersabda:

مَا السَّموَاتُ السّبْعُ مَعَ الْكُرْسِيّ إلاّ كَحَلقَةٍ مُلْقَاةٍ بأرْضِ فَلاَة، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيّ كَفَضْلِ الْفَلاَةِ عَلَى حَلقَة (رَواهُ ابنُ حبّان)

“Tidaklah tujuh lapis langit dibanding besarnya kursi kecuali seperti kerikil bulat kecil yang yang dilemparkan di tanah yang lapang, sementara besarnya arsy dibanding kursi seperti besarnya tanah yang lapang dibanding kerikil kecil”. (HR. Ibn Hibban dan lainnya).

Kerancuan Ke Enam:

Seringkali kaum Musyabbihah dari kaum Wahhabiyyah berkata: “Tidak ada seorangpun dari para ulama Salaf yang telah mentakwil Istawâ dengan Istawlâ, maka dari manakah kalian mengatakan bahwa makna Istawâ artinya Istawlâ?!

Jawab: 

Kita katakan kepadanya; “Demikian pula tidak ada seorangpun dari para ulama Salaf yang mentakwil Istawâ dengan Istaqarra seperti yang kalian yakini, dengan demikian kalian telah menyalahi para ulama Salaf. Justru yang ada dari para ulama Salaf adalah pengingkaran terhadap makna Istaqarra, seperti dalam pernyataan Imam Abu Hanifah karena Allah maha suci dari sifat bertempat dan bersemayam. Kemudian makna Istaqarra ini juga diingkari oleh adz-Dzahabi, dan bahkan salah seorang pemimpin terkemuka kalian yang bernama Nashiruddin al-Albani juga mengingkari tafsir Istawâ dengan Istaqarra.

Kita katakan kepada mereka: “Suatu yang telah tetap kebenarannya dengan dalil syara’, maka tidak boleh dikatakan bahwa sesuatu tersebut menyalahi para ulama Salaf, sekalipun mereka tidak pernah membicarakannya. Lebih dari pada itu semua sesungguhnya tidak sedikit dari para ulama Salaf yang telah memaknai Istawâ dengan Istaqarra”.

Kerancuan Ke Tujuh:

Salah seorang pemuka Wahhabiyyah dalam salah satu tulisannya mengatakan sebagai berikut: “Tidak ada aqidah yang lebih buruk dan tidak masuk akal dari keyakinan orang yang mengatakan bahwa Allah menguasai arsy-Nya sebagaimana Bisyr ibn Marwan mengusai negara Irak”[1].

Jawab:

Justru kalian yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Kalian berkeyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Keyakinan kalian ini jelas merupakan aqidah tasybîh dan tajsîm. Bahkan di antara kalian ada yang secara jelas mengatakan bahwa Allah duduk di atas arsy. Keyakinan demikin itu persis seperti keyakinan kaum Yahudi.

Pengutipan bait syair ”Qad Istawâ Bisyr…” sama sekali bukan untuk menyerupakan kekuasaan Allah dengan kekuasaan Bisyr ibn Marwan seperti yang dipahami oleh pemuka Wahhabi tersebut. Pengutipan bait syair di sini hanya untuk membuktikan bahwa penggunaan kata Istawâ dalam bahasa Arab biasa dipakai dalam pengertian Istawlâ, Qahara, dan Ghalaba. Tujuan kita sangat jelas, yaitu untuk membuktikan penggunaan kata Istawâ dalam bahasa Arab, sementara tuduhan yang dilemparkan pemuka Wahhabi tersebut sangat dibuat-buat, benar-benar keluar dari akar permasalahan. Itulah kebiasaan orang yang dibutakan mata hatinya oleh Allah, selalu membuat-buat pernyataan di mana Ahl al-Haq terbebas dari pernyataan tersebut.

Pendekatan dalam apa yang kita maksudkan dalam pengutipan bait sya’ir tentang Bisyr ibn Marwan di atas adalah seperti sebuah hadits Rasulullah yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

إنّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ (رَوَاه البُخَاريّ)

”Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama” (HR. al-Bukhari).

Dalam hadits ini Rasulullah menyerupakan penglihatan orang-orang mukmin terhadap Allah di akhirat kelak dengan penglihatan mereka terhadap bulan; bukan dalam pengertian bahwa Allah seperti bulan, memiliki bentuk buat dan bersinar, juga bukan berarti Allah di dalam surga. Sedikitpun bukan makna ini yang dimaksud. Tapi yang dimaksud adalah dalam ketiadaan keraguan. Artinya kelak orang-orang mukmin di akhirat nanti akan melihat Allah dan bahwa mereka sama sekali tidak meragukan hal itu, sebagaimana kita di dunia ini di saat bulan purnama bersinar tanpa ada awan yang manghalanginya, kita sama sekali tidak meragukan bahwa bulan tersebut adalah bulan purnama. Adapun pendapat yang mengatakan dengan dasar hadits ini bahwa Allah adalah benda bulat dan bercahaya seperti bulan maka ini pendapat yang hanya timbul dari orang-orang yang sangat bodoh dan tolol.

[1] al-Kalimât al-Hisân, h. 264

Kerancuan Ke Delapan:

Kaum Musyabbihah dari kaum Wahhabiyyah seringkali mengatakan bahwa pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ adalah pendapat orang-orang Mu’tazilah, padahal kaum Mu’tazilah adalah kaum yang sesat sebagaimana telah disepakati bersama. Dengan demikian bagaimana dapat dibenarkan jika kalian mengambil pendapat kaum Mu’tazilah tersebut?!

Jawab:


Sama sekali tidak masalah jika orang-orang Mu’tazilah menyamai kita dalam masalah ini. Sesungguhnya tidak semua apa yang diyakini oleh orang-orang Mu’tazilah sebagai kesesatan atau kebatilan. Bukankah di antara pernyataan mereka ada yang sesuai dengan pendapat Ahlussunnah?! Apakah suatu masalah yang telah kita yakini kebenarannya harus kita tinggalkan hanya karena orang-orang Mu’tazilah mengatakan hal sama?! Kita mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh, demikian pula orang-orang Mu’tazilah mengucapkan kalimat tersebut dengan lidah mereka, apakah kemudian kita mengharamkan kalimat tersebut hanya karena kaum Mu’tazilah menyamai kita mengucapkannya?!

Imam asy-Syaikh Abu al-Mu’ain an-Nasafi dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut:

“Pernyataan kaum Musyabbihah bahwa takwil Istawâ dengan Istawlâ sebagai pendapat kaum Mu’tazilah adalah pernyataan yang sama sekali tidak memberikan pengaruh. Karena para sahabat kita (ulama Ahlussunnah) juga telah melakukan takwil tersebut, dan tidak hanya khusus bagi kaum Mu’tazilah saja”[1].

Kita katakan kepada kaum Musyabbihah: Sesunguhnya segala sesuatu yang telah jelas dalil-dalilnya dalam tinjauan syari’at akan kita ungkapkan tanpa kita peduli terhadap pendapat kelompok apapun di luar kita, apakah mereka menyamai kita atau tidak. Oleh karena itu yang harus diperhatikan oleh kalian wahai kaum Musyabbihah ialah apakah muatan dari suatu pernyataan?! Bukan siapakah yang mengungkapkan pernyataan tersebut.

_____________________

[1] Tabshirah al-Adillah, j. 1, h. 184

Kerancuan Ke Sembilan: 

Muhammad Utsaimin dalam salah satu karyanya menuliskan sebagai berikut:

“Jika engkau bertanya: Apakah makna Istawâ menurut Ahlussunnah? Jawab: Maknanya adalah tinggi (al-‘Uluww) dan bertempat (al-Istiqrâr). Dalam makna Istawâ ini setidaknya ada empat pendapat ulama Salaf. Pertama; dalam makna ‘Alâ (naik), kedua; dalam makna Irtafa’a (naik), ketiga; dalam makna Sha’ada (naik), dan yang ke empat dalam makna; Istaqarra (bertempat atau bersemayam). Adapun makna yang pertama, kedua dan ketiga, memiliki pengertian yang sama. Sementara makna yang ke empat adalah pendapat yang banyak dipilih. Argumen mereka dalam hal ini ialah bahwa dalam bahasa Arab dalam konteks apapun jika terdapat penggunaan kata Istawâ yang dijadikan Fi’il Muta’addi dengan kata ‘Alâ maka makna yang dituju adalah khusus dalam pengertian Istaqarra (bertempat atau bersemayam)”[1].

Masih menurut Utsaimin, dalil untuk ini banyak sekali, di antaranya firman Allah: ”Fa Idzastawayta Anta Wa Man Ma’aka ‘Alâ al-Fulk Fa Qul al-Hamdulillâh” (QS. Al-Mu’minun: 28), kemudian firman-Nya: ”Li Tastawû ‘Alâ Zhûhûrih Tsumma Tadzkurû Ni’mata Rabbikum Idzastawaitum ‘Alayh” (QS. Az-Zukhruf: 13), termasuk firman Allah tentang perahu Nabi Nuh: ”Wastawat ‘Alâ al-Jûdiyy” (QS. Hud: 44).

Jawab:

Pertama: Ayat-ayat tersebut di atas sama sekali tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa Allah berada di atas arsy, seperti yang diyakini oleh mereka. Bahkan sebaliknya, ketika ayat-ayat tersebut dijadikan dalil untuk itu maka itu berarti telah menetapkan ada keserupaan Allah bagi makhluk-makhluk-Nya, karena konteks ayat-ayat yang ia sebutkan adalah berlaku pada makhluk, padahal Allah telah berfirman:

فَلاَ تَضْرِبُوْا للهِ الأمْثَال (النحل: 74)

“Janganlah kalian membuat keserupaan-keserupaan bagi Allah” (QS. An-Nahl: 74).

Dengan demikian mereka telah jatuh dalam keyakinan tasybîh dan tamtsîl karena telah menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada hak makhluk yang berarti duduk bertempat di atas perahu, atau menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada perahu Nabi Nuh di atas pegunungan al-Judiyy. Ini jelas sebagai keyakinan tasybîh yang sangat buruk.

Ke dua: Kata Istawâ dalam ayat-ayat di atas yang dijadikan dalil oleh kaum Musyabbihah untuk menetapkan Allah bertempat di atas arsy memiliki makna tidak hanya dalam pengertian bertempat saja. Pengertian Istawâ pada ayat-ayat tersebut memiliki lebih dari sekedar makna bertempat. Ayat pertama misalkan, QS. Al-Mu’minun: 28, artinya ialah apa bila engkau telah menunggang di atas perahu, bertempat di atasnya, dan telah sempurna berada di dalamnya seperti telah sempurnanya seseorang ketika bertempat di atas sesuatu maka pujilah Allah yang telah mengaruniakan hal tersebut.

Demikian pula makna Istawâ pada QS. Az-Zukhruf: 13 adalah dalam pengertian telah sempurna berada dan bertempat di atas kendaraan; seperti perahu atau bintang tunggangan. Adapun ayat dalm QS. Hud: 44, adalah untuk mengungkapkan bahwa perahu Nabi Nuh yang semula berjalan kemudian berhenti dan menetap di atas gunung al-Judiyy.

Dengan demikian ayat-ayat di atas; dua ayat pertama; QS. Al-Mu’minun: 28 dan az-Zukhruf: 13 mengandung pengertian naik dari arah bawah ke arah atas, dalam hal ini menaiki perahu dan bintang tunggangan dan kemudian bertempat dan menetap di atas perahu dan binatang tunggangan tersebut. Selain dari pada itu dalam ayat QS. Al-Mu’minun: 28 terdapat pengertian terliputi, karena seseorang yang menaiki perahu ia menjadi diliputi dari segala arah oleh perahu tersebut. Sementara makna ayat yang ke tiga, QS. Hud: 44 memberikan pemahaman bahwa perahu Nabi Nuh tersebut yang semula bergerak kemudian berhenti dan menetap di atas gunung al-Judiyy.

Dengan demikian ketika kaum Wahhabiyyah menjadikan ayat-ayat ini sebagai dalil dalam menetapkan Allah berada di atas arsy berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Allah berada di arah bawah kemudian bergerak dan pindah ke arah atas, dan lalu bertempat di atas arsy tersebut, sebagaimana seorang yang menaiki bintang tunggangan atau menaiki perahu, sebelumnya ia berada di bawah tunggangannya tersebut lalu pindah dan menetap di atasnya. A’ûdzu Billâh.

Ke tiga: Penggunaan kata Istawâ dalam tiga ayat di atas adalah pada sesuatu yang merupakan benda, yang memiliki bentuk dan ukuran. Pemaknaan ini hanya berlaku pada dua benda yang saling bersentuhan, salah satunya di atas, dan yang lainnya di bawah. Yang di atas adalah al-Mustawî; dalam hal ini benda yang menaiki binatang atau perahu, sementara yang di bawah adalah al-Mustawâ ‘Alayh; yang dalam hal ini adalah gunung al-Judiyy, binatang tunggangan dan perahu itu sendiri. Dengan demikian, di atas dasar keyakinan kaum Wahhabiyyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy maka itu berarti terjadi adanya sentuhan antara Allah dengan arsy itu sendiri, ini jelas sebuah kesesatan.

Kemudian bila mereka berkata: Yang kami maksud dengan Istiqrâr (bertempat) bagi Allah dalam hal ini tanpa adanya sentuhan atau menempel di atas arsy, artinya Allah hanya membayangi arsy saja, atau hanya berdekatan dengan arsy, kita jawab: Makna seperti demikian juga merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, dan hal itu juga merupakan kekufuran karena mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

______________

[1] Syarh al-‘Aqîdah al-Wâsithiyyah, j. 1, h. 357

Kerancuan Ke Sepuluh:

Sebagian pemuka kaum Wahhabiyyah mengklaim bahwa memalingkan suatu teks dari makna dzahirnya dengan tanpa dalil adalah perkara yang tercela. Mereka mengatakan bahwa pekerjaan semacam itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang menyelewengkan sifat-sifat Allah, di antara tulisan mereka tentang hal ini sebagai berikut:

“Contohnya dalam firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-’Arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5), dzahir makna ayat ini adalah bahwa Allah bertempat dan berada di atas arsy. Maka bila seseorang berkata bahwa makna Istawâ adalah Istawlâ, kita katakan kepadanya: ”Apa yang kamu lakukan ini adalah pentakwilan ayat dari makna dzahirnya, dan hal itu jelas merupakan penyelewengan makna bagi ayat itu sendiri karena tidak ada dalil yang menuntut keharusan takwil tersebut. Bahkan sebaliknya, terdapat dalil yang menuntut ayat tersebut tidak boleh ditakwil”.

Jawab:

Penyebutan Mujassim di atas bahwa kaum Ahlussunnah yang mentakwil ayat Istawâ dengan Istawlâ telah melakukan penyelewengan terhadap ayat adalah tuduhan yang didasarkan kepada hawa nafsu belaka. Sebagaimana maklum, kaum Wahhabiyyah adalah kaum yang sangat anti terhadap takwil yang oleh karena itu pemahaman mereka terhadap teks-teks mutasyâbihât selalu di dasarkan kepada makna-makna dzahirnya saja, hingga pemahaman mereka terhadap satu ayat dengan lainnya saling bertentangan. Tentunya pemahaman terparah dari sikap anti takwil ini adalah bahwa mereka telah mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, seperti bersemayam, bertempat, bahkan sebagian mereka mengatakan duduk, bergerak, turun, naik, bernafas, memiliki kaki, tangan, jari-jari dan anggota badan lainnya. Hanya saja untuk mengelabui orang-orang awam mereka selalu berkata: “Sifat-sifat itu semua tidak menyerupai makhluk-Nya”, atau mereka berkata: “Sifat-sifat itu semua tidak seperti yang kita bayangkan di dalam akal pikiran”.

Pemahaman mereka ini berbeda dengan Ahlussunnah yang telah menjadikan takwil sebagai salah satu metodologi dalam memahami teks-teks mutasyâbihât, selama takwil tersebut sejalan dengan kaedah-kaedah bahasa Arab. Karena itu metode takwil dalam memahami teks-teks mutasyâbihât telah diberlakukan oleh para ulama Salaf terdahulu seperti sahabat Abdullah ibn Abbas yang notabene sahabat Rasulullah yang telah mendapatkan doa langsung dari Rasulullah sendiri hingga beliau menjadi seorang yang sangat ahli tafsir atau takwil al-Qur’an, juga diberlakukan oleh Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abas, Imam al-Bukhari, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Sufyan at-Tsauri dan lainnya. Silahkan baca kembali pembahasan bahwa para ulama Salaf telah melakukan takwil terhadap teks-teks mutasyâbihât dari buku ini.

Para ulama tauhid di kalangan Ahlussunnah tidak berbicara tentang Allah dan sifat-sifat-Nya dengan didasarkan hanya kepada akal semata, tetapi mereka menjadikan akal sebagai media bagi bukti kebenaran segala apa yang dibawa oleh Rasulullah. Karena itu para ulama tauhid menjadikan akal sebagai bukti bagi kebenaran syari’at bukan sebagai dasar bagi ajaran agama. Hal ini berbeda dengan kaum Musyabbihah Wahhabiyyah, mereka sama sekali tidak mengikatkan antara potensi akal dengan ajaran-ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah. Mereka tidak menghiraukan potensi akal untuk dijadikan media dalam membuktikan kebenaran ajaran-ajaran syari’at. Ahlussunnah sebaliknya, mereka memandang bahwa akal sehat tidak akan keluar dan tidak akan pernah bertentangan dengan segala ajaran yang ada dalam syari’at, karena sesungguhnya setiap ajaran dalam syari’at tidak akan pernah datang kecuali sejalan dengan pandangan akal sehat.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar