Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hadits Budak Perempuan Hitam

 Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) 


قال الإمام القرطبي صاحب التفسير رحمه الله تعالى في كتابه ( التذكار في أفضل الأذكار ):

لأن كل من في السموات والأرض وما فيهما وما بينهما خلق الله تعالى وملك له، وإذا كان ذلك كذلك يستحيل على الله أن يكزن في السماء أو في الأرض، إذ لو كان في شيء لكان محصورا أو محدودا، ولو كان ذلك لكان محدثا، وهذا مذهب أهل الحق والتحقيق، وعلى هذه القاعدة قوله تعالى (أأمنتم من في السماء) الملك: 16-17، وقوله صلى الله عليه وسلم للجارية: أين الله؟ قالت: في السماء، ولم ينكر عليها، وما كان مثله ليس على ظاهره بل هو مؤول تأويلات صحيحة قد أبداها كثير من أهل العلم في كتبهم. اهـ

al Imam al Qurthubi mengatakan:

[Maknanya]: “Karena sesuangguhnya setiap apa yang ada di langit dan di bumi, dan segala apa yang ada dalam keduanya, serta segala  apa yang ada di antara keduanya adalah ciptaan Allah dan milik bagi-Nya. Dan bila demikian adanya maka mustahil Allah berada (bertempat) di langit atau berada (bertempat) di bumi. Karena jika Allah berada di dalam sesuatu maka berarti Dia dibatasi (memiliki bentuk dan ukuran), dan jika demikian adanya maka berarti Dia baharu. Inilah pendapat Ahlul Haq dan Ahlut-Tahqiq. Dan di atas kaedah ini pemahaman firman Allah: “A-amintum man Fis-sama’” (QS. al-Mulk: 16). Demikian pula pemahaman sabda Rasulullah bagi budak perempuan “Aina Allah?”, lalu budak tersebut menjawab: “Fis-sama’”, dan Rasulullah tidak mengingkari atasnya; serta beberapa nash (teks) yang seperti ini; maka itu bukan dalam makna zahirnya. Tetapi dia ditakwil dengan takwil-takwil yang benar, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka”

At-Tidzkar Fi Afdlal al-Adzkar, h. 22-23

Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi, salah seorang pemuka madzhab Hanbali, (w 597 H) dalam kitab al-Baz al-Asy-hab al-Munaqqidl ‘Ala Mukhalif al-Madzhab, setelah mengutip hadits al-Jariyah riwayat  Imam Muslim, menuliskan sebagai berikut:

قلت: قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا يحويه السماء والأرض ولا تضمه الأقطار، وإنما عرف بإشارتها تعظيم الخالق عندها. اهـ

[Maknanya]: Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah [artinya Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah; karena tempat dan arah adalah makhluk-Nya]. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan Allah

Al-Baz al-Asy-hab, hadits ke 17, h. 93

Al-Imam Husain ibn Muhammad ath-Thibiy (w 743 H) dalam menjelaskan hadits tentang budak perempuan yang dibawa oleh salah seorang sahabat Anshar ke hadapan Rasulullah (Hadits al-Jariyah) menuliskan sebagai berikut:

قوله لها: أين الله؟ وفي رواية: أين ربك؟  لم يُرِد السؤال عن مكانهفإنه منزه عنه، والرسول صلوات الله عليه أعلى من أن يسأل أمثال ذلك، بل أراد أن يتعرف أتها موحدة أو مشركة، لأن كفار العرب كانوا يعبدون الأصنام، فكان لكل قوم منهم صنم مخصوص يكون فيما بينهم يعبدونه ويعظمونه، ولعل سفهاؤهم وجهالهم كانوا لا يعرفون معبودا غيره، فأراد أ يتعرف أنها ما تعبد، فلما قالت: في السماء، وفي رواية: أشارت إلى السماء فهم منها أنها موحدة؛ تريد بذلك نفي الآلهة الأرضية التي هي الأصنام، لا إثبات السماء مكانا له، تعالى عما يقول الظالمون علوا كبيرا. اهـ

[Maknanya]: “Dan perkataan Rasulullah baginya (budak perempuan); “Aina Allah?”, dan satu riwayat “Aina Rabbuki?”; bukan untuk bermaksud menanyakan tempat Allah, karena sesungguhnya Allah maha suci darinya. Sesungguhnya Rasulullah tidak akan bertanya untuk tujuan semacam itu. Tetapi tujuan untuk mengetahui apakah budak tersebut seorang yang beriman atau seorang musyrik. Karena orang-orang kafir Arab ketika itu adalah orang-orang penyembah berhala. Saat itu setiap kaum dari mereka memiliki berhala masing-masing yang mereka sembah dan mereka agungkan (tuhankan). Bisa saja orang yang paling bodoh sekalipun dari mereka tidak mengetahui tuhan apapun kecuali berhala yang ada pada mereka itu. Maka Rasulullah bermaksud untuk mengetahui bahwa budak tersebut tidak menyembah berhala-berhala. Dan ketika budak tersebut berkata: “Fis-sama’”, dalam satu riwayat “Asyarat Ilas-sama’” dipahami darinya bahwa dia seorang yang bertauhid. Beudak tersebut bertujuan menafikan (mengingkari) sesembahan orang-orang kafir di bumi dari berhala-berhala. Bukan untuk menetapkan bahwa langit sebagai tempat bagi Allah. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang kafir dengan kesucian yang agung”

Syarh ath-Thibiy ‘Ala Misykat al-Mashabih, j. 6, h. 340-341

Syekh Ali al-Qari dalam kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih menuliskan sebagai berikut:

“… (فقال لها) أي للجارية (رسول الله صلى الله عليه وسلم: أين الله؟) وفي رواية: أين ربك؟ أي أين مكان حكمه وأمره وظهور ملكه وقدرته (فقالت: في السماء). قال القاضي هو على معنى الذي جاء أمره ونهيه من قبل السماء لم يرد به السؤال عن المكان فإنه منزه عنه كما هو منزه عن الزمان”. اهـ

[Maknanya]: “… maka ia (Rasulullah) berkata baginya (artinya bagi budak perempuan); “Aina Allah?”, dalam satu riwayat “Aina Rabbuki?”; [–maknanya bukan untuk menanyakan tembat bagi Allah, tetapi–] yang dimaksud: “Di mana tempat ketetapan hukmu-Nya, dan perintah-Nya, serta penampakan [tanda-tanda] kekuasaan-Nya dan keagungan-Nya?”, lalu si budak menjawab: “Fis-sama’”. Al-Qadli ‘Iyadl berkata bahwa yang dimaksud [perkataan Rasulullah] adalah datangnya perintah-Nya dan larangan-Nya dari arah langit. Bukan tujuannya untuk menanyakan tampat bagi Allah, karena Allah suci dari tempat, sebagaimana suci dari zaman”

Mirqat al-Mafatih, j. 6, h. 454


Al-Qadli Abu al-Walid Sulaiman ibn Khalaf al-Bajiy al-Maliki al-Andalusi (w 494 H) dalam Kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwath-tha’ berkata:

(فصل) وقوله للجارية أين الله فقالت في السماء لعلها تريد وصفه بالعلو وبذلك يوصف كل من شأنه العلو فيقال مكان فلان في السماء بمعنى علو حاله ورفعته وشرفه. اهـ

[Maknanya]: “(Pasal); Dan perkataan Rasulullah bagi budak perempuan “Aina Allah?”, lalu si budak menjawab: “Fis-sama’”, kemungkinan yang dimaksud olehnya (si budak) adalah untuk mensifati Allah dengan ketinggian derajat. Dan [diungkapkan] dengan seperti itulah bagi setiap yang memiliki derajat yang tinggi. Maka dalam [bahasa Arab] dikatakan: “Makan fulan fis-sama’”; artinya “si fulan memiliki kedudukan dan derajat serta kemuliaan yang sangat tinggi”

Al-Muntaqa Syarh al-Muwath-tha’, j. 6, h. 274

Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab Tanwir al-Hawalik Syarh ‘Ala Muwath-tha’ Malik menuliskan sebagai berikut:

(أين الله؟ فقالت في السماء) قال ابن عبد البر هو على حد قوله تعالى (أأمنتم من في السماء) الملك: 16، (إليه يصعد الكلم الطيب) فاطر: 10، وقال الباجي: لعلها تريد وصفه بالعلو وبذلك يوصف كل من شأنه العلو فيقال مكان فلان في السماء بمعنى علو حاله ورفعته وشرفه.اهـ

[Maknanya]: “[Makna hadits] “Aina Allah?, fa Qalat: Fis-sama’”; berkata Ibnu Abdil Barr; itu serupa dengan pemahaman firman Allah: “A-amintum Man Fis-sama’ (QS. al-Mulk: 16), dan firman Allah “Ilayhi Yash’ad al-Kalim ath-Thayyib” (QS. Fathir: 10). Al-Bajiy berkata: “Kemungkinan yang dimaksud olehnya (si budak) adalah untuk mensifati Allah dengan ketinggian derajat. Dan [diungkapkan] dengan seperti itulah bagi setiap yang memiliki derajat yang tinggi. Maka dalam [bahasa Arab] dikatakan: “Makan fulan fis-sama’”; artinya “si fulan memiliki kedudukan dan derajat serta kemuliaan yang sangat tinggi”

Tanwir al-Hawalik, j. 3, h. 6

Al-Imam al-Hujjah al-Lughawiy al-Mujtahid Abul Hasan Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subki (as-Subki al-Kabir), (w 756 H), –seorang Imam terkemuka yang telah mencapai derajat Mujtahid Mutlaq–, dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Zafil, menuliskan:

قال: “ورابع عشرها أين الله في كلام النبي صلى الله عليه وسلم في حديث معاوية بن الحكم وفي تقريره لمن سأله رواه أبو رزين”. أقول: أما القول فقوله صلى الله عليه وسلم للجارية أين الله؟ قالت في السماء، وقد تكلم الناس عليه قديما وحديثا والكلام عليه معروف، ولا يقبله ذهن هذا الرجل لأنه مشاء على بدعه لا يقبل غيرها.

[Maknanya]: “Ia (Ibnul Qayyim) berkata: “Yang ke empat belas adalah “Aina Allah?” dalam hadits Nabi dalam hadits Mu’awiyah ibn al-Hakam, dan dalam ketetapannya bagi orang yang bertanya kepadanya; telah meriwayatkannya oleh Abu Razin”. Aku (al-Imam Taqiyyuddin as-Subki) katakan: “Perkataan Rasulullah bagi budak perempuan “Aina Allah?”, lalu budak tersebut menjawab “Fis-Sama’” adalah hadits yang telah lama dibicarakan oleh para ulama dari dahulu hingga sekarang. Dan pembahasan di dalamnya sudah diketehui (sangat jelas), tetapi penjelasan tersebut tidak dapat diterima oleh hati orang ini (yang dimaksud; Ibnul Qayyim), karena orang ini memegang erat bid’ah-bid’ahnya, tidak akan mau menerima selain itu"

As-Sayf ash-Shaqil, h. 94-96

Dalam kitab al-Asma’ wa ash-Shifat, al-Hafizh al-Bayhaqi meriwayatkan hadits al-Jariyah dengan dua jalur yang berbeda. Setelah mengutip dua jalur hadits al-Jariyah tersebut al-Hafizh al-Bayhaqi memberikan isyarat bahwa hadits tersebut Mudltharib. Al-Bayhaqi menuliskan:

وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه، وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث. اهـ

[Maknanya]: “… dan aku kira mengapa ia (Muslim) meninggalkan hadits al-Jariyah tersebut, (–tidak dikutip redaksinya secara lengkap–) karena adanya perbadaan para perawinya dalam redaksi hadits itu. Dan telah aku sebutkan dalam Kitab azh-Zhihar dari kitab as-Sunan al-Kubra perbedaan yang menyalahi redaksi hadits riwayat Mu’awiyah ibn al-Hakam”

al-Asma’ wa ash-Shifat, h. 422

Kesimpulan Imam Ibn Furak dalam kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuh adalah bahwa dalam bahasa Arab penggunaan kata “Aina” tidak hanya berlaku untuk menanyakan tempat saja, tetapi juga biasa dipergunakan untuk menanyakan derajat dan kedudukan.

Beliau membuat catatan yang sangat berharga sebagai berikut:

إن معنى قوله صلى الله عليه وسلم أين الله استعلام لمنزلته وقدره عندها وفي قلبها، وأشارت إلى السماء ودلت بإشارتها على أنه في السماء على قول القائل إذا أراد أن يخبر عن رفعة وعلو منزلة فلان في السماء؛ أي هو رفيع الشأن عظيم المقدار. كذلك قولها في السماء على طريق الإشارة إليها تنبيها عن محله في قلبها ومعرفتها به. وإنما أشارت إلى السماء لأنها كانت خرساء، فدلت بإشارتها على مثل دلالة العبارة، على نحو هذا المعنى، وإذا كان كذلك لم يجز أن يحمل على غيره مما يقتضي الحد والتشبيه والتمكين في المكان والتكييف. اهـ

[Maknanya]: “Sesungguhnya makna sabda Rasulullah; “Aina Allah?” adalah untuk mencari tahu/bertanya tentang derajat/kedudukan Allah menurut budak perempuan tersebut dalam apa yang dalam hatinya. Lalu budak tersebut berisyarat ke langit adalah sebagai penggunaan kata demikian dalam bahasa; bahwa jika seseorang hendak mengungkapkan ketinggian derajat adalah dengan mengatakan “Fulan Fis-sama’”. Artinya; “Sangat tinggi sekali kedudukan dan derajatnya. –“Bukan artinya si fulan bertempat di langit–”. Maka demikian pula dengan budak tersebut, ia mengungkapkan dengan jalan isyarat ke langit adalah sebagai ungkapan hatinya dalam cara mengagungkan Allah. Hanya saja bahwa budak tersebut berisyarat karena dia seorang yang bisu. Dengan demikian maka isyaratnya adalah untuk menunjukan ungkapan kata-katanya. Inilah maknanya. Dan jika demikian maka hadits al-Jariyah ini tidak boleh dipahami kepda selain makna tersebut di atas; dari pemahaman –sesat– yang menetapkan adanya batasan/bentuk bagi Allah, adanya keserupaan, dan berada pada tempat, dan bersifat dengan sifat-sifat benda”

Musykil al-Hadits Wa Bayanuh, h. 158-160. Lihat lampiran.

Al-Imam al-Mutakallim Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Asas at-Taqdis Fi ‘Ilm al-Kalam menuliskan sebagai berikut:

وأما الخبر الثالث؛ فجوابه أن لفظ أين كما يجعل سؤالا عن المكان فقد يجعل سؤالا عن المنزلة والدرجة، يقال أن فلان من فلان، فلعل السؤال كان عن المنزلة، وأشار بها إلى السماء أي هو رفيع القدر جدا، وإنما اكتفى منها بتلك الإشارة لقصور عقلها وقلة فهمها. اهـ

[Maknanya]: “Adapun khabar ke tiga maka jawabnya; Bahwa lafazh Aina sebagaimana biasa dipergunakan untuk menanyakan tempat; demikian pula biasa dipergunakan untuk menanyakan tentang kedudukan dan derajat. Dalam bahasa Arab biasa dikatakan “Aina Fulan min fulan?” (Artinya; di mana kedudukan fulan dari si fulan?). Maka kemungkinannya bahwa pertanyaan (kepada budak) itu adalah tentang kedudukan dan derajat. Lalu si budak berisyarat ke langit; pengertiannya adalah bahwa Allah sangat tinggi sekali derajat-Nya dan kedudukan-Nya. Bahwa si budak tersebut hanya berisyarat ke langit oleh karena lemah akalnya dan sedikit pemahamannya (tetapi itu bukan untuk menetapkan Allah bertempat di langit)”

Asas at-Taqdis Fi ‘Ilm al-Kalam, h. 126

Dalam Kitab al-Qabas Fi Syarh Mawath-tha’ Malik ibn Anas, Abu Bakr ibnul Arabi al-Ma’afiri menjelaskan bahwa perkataan budak “Fis-sama’” bukan untuk menetapkan bahwa Allah bertempat di langit. Beliau menegaskan bahwa ketetapan iman adalah seperti yang jelaskan oleh Rasulullah, yaitu mengucakan dua kalimat syahadat.

Simak tulisan beliau pada j. 3, hlm. 967 dari Kitab al-Qabas:

فإن قيل: فقد قال لها أين الله؟ وأنتم لا تقولون بالأينية والمكان، قلنا: أما المكان فلا نقول به وأما السؤال عن الله بأين فنقول بها، لأنها سؤال عن المكان وعن المكانة، والنبي صلى الله عليه وسلم قد أطلق اللفظ وقصد به الواجب لله وهو شرف المكانة التي يسأل عنها بأين، ولم يجز أن يريد المكان لأنه محال عليه. اهـ

[Maknanya]: “Jika dikatakan: “Rasulullah berkata kepada budak “Aina Allah?”, sementara kalian tidak menetapkan sifat-sifat kebendaan/di mana, dan tidak menetapkan tempat?!”. (Jawab) Kita katakan: “Kita tidak menetapkan tampat –bagi Allah–. Adapun bila kita mengatakan “Aina Allah?”; itu tidak mengapa. Dan kata “Aina”, kadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat, juga untuk mengunkapkan kedudukan. Dalam hal ini Rasulullah menggunakan kata “Aina” dengan mutlak. Tentu yang dimaksud adalah perkara yang wajib bagi-Nya –bukan untuk menanyakan tempat–; yaitu untuk menanyakan kemuliaan kedudukan dan keagungan. Itulah tujuan yang ditanyakan kepada budak tersbut. –Redaksi hadits ini– tidak boleh dipahami dalam makna pertanyaan tempat. Karena tempat itu mustahil atas Allah”

Kitab al-Qabas, j. 3, h. 967. Lihat lampiran.

Dalam kitab Syarh Shahih at-Tirmidzi; al-Imam Abu Bakr Ibnul Arabi al-Maliki menuliskan dalam Abwab at-Tafsir sebagai berikut:

قوله (أين كان ربنا) فأقره النبي صلى الله عليه وسلم على السؤال عن الله سبحانه وتعالى بأين وهي كلمة موضوعة للسؤال عن المكان في عرف السؤال ومشهورة، وقد سأل بها النبي السوداء في الصحيح من الصحيح وغيره، فقال لها أين الله، والمراد بالسؤال بها عنه تعالى المكانة فإن المكان يستحيل عليه. اهـ

[Maknanya]: “Perkataan (perawi) “Aina Kana Rabbuna?”; yang kemudian pertanyaan tersebut disetujui (tidak diinkari) oleh Rasulullah. Redaksinya menggunakan kata “aina”, yang itu adalah kata yang biasa dan populer dipakai untuk menanyakan tempat. Dan Rasulullah telah ditanya dengan kata “aina” –seperti ini– dalam hadits al-Jariyah as-Sawda’ (hamba sahaya perempuan hitam), hadits sahih, dalam kitab Shahih dan lainnya. Rasulullah berkata kepada budak perempuan tersebut “Aina Allah?”. Dan yang dimaksud dengan pertanyaan tersebut kepadanya adalah untuk menanyakan kedudukan (Artinya; “bagaimana ia mengagungkan Allah?”). Oleh karena mustahil Allah bertempat”

Syarh at-Tirmidzi, Abwab at-tafsir; j. 11, h. 273

Al-Imam al-Mutakallim Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 371 H) dalam kitab at-Tabshir Fid-Din Wa Tamyiz al-Firqah an-Najiyah ‘An al-Firaq al-Halikin menegaskan bahwa Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “Di mana” –dalam makna tempat–. Karena Allah maha suci dari sifat-sifat benda, bentuk dan ukuran, serta maha suci dari tempat an arah. Berikut ini di antara catatan beliau tentang itu, mengatakan:

ومن لا مكان له لا يقال فيه أين كان، وقد ذكرنا من كتاب الله تعالى ما يدل على التوحيد ونفي التشبيه ونفي المكان والجهة ونفي الابتداء والأولية، وقد جاء فيه عن أمير المؤمنين علي رضي الله عنه أشفى البيان حين قيل له: أين الله؟ فقال: إن الذي أين الأين لا يقال له أين. فقيل له كيف الله؟ فقال: إن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف. اهـ

[Maknanya]: “Dan Dia (Allah) ada tanpa tempat, maka tidak dikatakan bagi-Nya “Di mana Dia?”. Kita telah menyebutkan dari al-Qur’an apa yang menunjukan kepada keyakinan Tauhid (Bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun), menafikan / meniadakan keserupaan dari-Nya, menafikan tempat dan arah, dan menafikan keberlmulaan dari-Nya. Dan telah datang dari Amir al-Mu’minin Ali –semoga ridla Allah tercurah bagiya—penjelasan yang menyeluruh (sempurna), saat beliau ditanya: “Aina Allah? (Di mana Allah?)”, maka beliau menjawab: “Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak dikatakan bagi-Nya di mana Dia?”. Dan ketika ditanya “Kayfa Allah? (Bagaimana Allah?), beliau menjawab: “Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana Dia?”

At-Tabshir Fid-Din, h. 144

As-Sayyid Syekh Muhammad Darwisy al-Hut al-Bayruti dalam karyanya berjudul Rasa-il Fi Bayan Aqa-id Ahlissunnah wal Jama’ah menegaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa zaman. Berikut adalah tulisan beliau dalam karyanya tersebut:

ولا يتصف بمكان ولا زمان ولا هيئة ولا حركة ولا سكون ولا قيام ولا قعود ولا جهة ولا بعلو ولا بسفل ولا بكونه فوق العالم أو تحته ولا يقال كيف هو ولا أين هم. اهـ

[Maknanya]: “Dan Dia (Allah) tidak bersifat dengan tempat dan zaman, tidak memiliki bentuk (ukuran), tidak bergerak, tidak diam, tidak berdiri, tidak duduk, tidak memiliki arah, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di atas alam atau di bawahnya, dan tidak dikatakan bagi-Nya “Bagaimana Dia?”, serta tidak dikatakan bagi-Nya bagaimanakah Dia?”

Rasa-il Fi Bayan Aqa-id Ahlussunnah Wal Jamah, h. 63

Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdur-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab ‘Uqud az-Zabarjad ‘Ala Musnad al-Imam Ahmad, menuliskan sebagai berikut:

حديث ربنا الذي في السماء، قال الطيبي؛ ربنا مبتدأ، والله خبره، الذي صفة مادحة عبارة عن مجرد علو شأنه ورفعته لا عن المكان

[Maknanya]: “Hadits “Rabbuna al-Ladzi Fis-sama’”, [maknanya;] ath-Thibiy telah berkata: kata “Rabbuna” kedudukan [i’rab-nya] adalah mubtada’, kata “Allah” [i’rab-nya] adalah khabar-nya, dan kata “al-Ladzi” [i’rab-nya] adalah sifat yang memuji; sebagai ungkapan kemurnian ketinggian kedudukan-Nya dan kedudukan-Nya, bukan dalam makna tempat [di atas/di langit]”

Uqud az-Zabarjad, j. 2, h. 115

Al-Lughawi (seorang pakar bahasa terkemuka) Ibnu Manzhur (w 771 H) dalam kitab karya fenomenalnya; Lisan al-Arab menuliskan sebagai berikut:

وفي حديث النّابِغة الْجَعْدِيّ أنه أنشدَهُ رَسولَ الله صلى الله عليه وسلم: “بلغنا السّمَاءَ مجدُنا وسَناؤنا * وإنا لنرجو فوق ذلك مَظْهَرا”، فغضِب، وقال: إلى أين المظهر يَا أبا ليلى؟ فقال: إلى الجنة يا رسولَ الله، قال: أجَلْ، إن شاء اللهُ تعالى. اهـ

[Maknanya]: “Dan dalam hadits an-Nabighah al-Ja’diy yang ia dendangkan di hadapan Rasulullah: “Balaghna as-Sama’” [makna zahirnya;] “Kita telah sampai di langit” dalam kemuliaan kita dan keagungan kita, dan sungguh kita benar-benar berharap lebih tinggi lagi penampakannya dari pada itu”. Maka Rasulullah marah, lalu berkata: Sampai ke mana penampakannya wahai Abu Layla? Maka an-Nabighah menjawab: “Sampai ke surga wahai Rasulullah!”. Rasulullah berkata: “Benar, in sya Allah”.


Demikian pula ahli bahasa terkemuka lainnya, yaitu al-Lughawi Ahmad ibn Yusuf yang populer dengan sebutan as-Samin al-Halabiy, –dalam kitabnya berjudul ‘Umdah al-Huffazh Fi Tafsir Asyraf al-Alfazh, yang merupakan mu’jam [kamus] bahasa lafazh-lafazh al-Qur’an– juga mengutip bait syair dari an-Nabighah al-Ja’di; dalam menjelaskan bahwa ungkapan “Fulan fis-Sama’ adalah untuk menetapkan keluhuran derajat dan keagungan bagi si fulan tersebut, bukan untuk menetapkan bahwa ia bertempat di langit

Umdah al-Huffazh, j. 3, h. 23

Al-Hafizh al-Lughawiy as-Sayyid Muhammad Maurtadla al-Husaini az-Zabidi dalam Taj al-‘Arus Min Jawahir al-Qamus demikian pula mengutip bait syair dari an-Nabighah al-Ja’di[3], sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Mazhur dalam Lisan al-‘Arab. 

Taj al-‘Arus, j. 12, h. 492

Posting Komentar untuk "Hadits Budak Perempuan Hitam"