Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebatilan Pendapat Nur Muhammad Sebagai Makhluk Pertama

Di antara kesesatan yang tersebar di sebagian kalangan awam adalah apa yang sering dikumandangkan oleh sebagian orang dalam pembacaan riwayat maulid nabi, dan oleh sebagian Mu’adzin, serta oleh beberapa orang lainnya, mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah awal seluruh makhluk. Penyebab utamanya adalah karena beredarnya hadits palsu yang disebutkan berasal dari riwayat Jabir, mengatakan:

(قيل) أوَّلُ مَا خَلَقَ اللّٰهُ نُوْرَ نَبِيِّكَ يَاجَابِرُ

"Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah nur Nabi-mu wahai Jabir". 


Dari Hadits palsu tersebut, kami datangkan bantahan yang cukup terhadap pendapat tersebut dengan dalil-dalil 'aqliyyah dan naqliyyah.

#1 Hadits Jabir adalah Palsu

Hadits Jabir tersebut di atas adalah hadits palsu (mawdlu'), tidak memiliki dasar, dan jelas menyalahi al Qur'an dan hadits sahih.

Adapun Segi menyalahi al-Qur'an adalah firman Allah:

( وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَاۤءِ كُلَّ شَیۡءٍ حَیٍّ أَفَلَا یُؤۡمِنُونَ)

[Surat Al-Anbiya' 30].

"Dan Kami telah menjadikan dari air segala sesuatu yang hidup" (QS. al Anbiya: 30). 

Sementara segi menyalahi hadits adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan al-Bayhaqi dari hadits Imran ibn al-Hushain bahwa sekelompok orang dari penduduk Yaman kepada Rasulullah, mereka berkata: "Wahai Rasulullah, kami mendatangimu untuk tujuan belajar dalam agama. Maka beritakan kepada kami keberadaan segala makhluk ini tentang permulaannya? Rasulullah bersabda:

كَانَ اللّٰهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ وَكَتَبَ فِي الدِّكْرِ كُلَّ شَيْءٍ ثُمَّ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ(رَوَاهُ البُخَارِيّ وَالبَيْهَقِيّ)

“Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun selain-Nya. Dan adalah Arsy-Nya di atas air. Dan Dia menetapkan dalam al-Lauh al-Mahfuzh segala sesuatu, kemudian Dia menciptakan langit-langit dan bumi”. (HR. al Bukhari dan al-Bayhaqi).

Ini adalah teks yang sangat jelas dalam menetapkan bahwa makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah air dan Arsy; di mana para penduduk Yaman yang tersebut bertanya kepada Rasulullah tentang permulaan alam ini. Dalam sabda Rasulullah di atas: “Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun selain-Nya”, terdapat ketetapan ke-azali-an bagi Allah, artinya bahwa Allah tidak ada permulaan bagi wujud-Nya. 

Lalu dalam sabdanya: “Dan adalah Arsy-Nya di atas air”, menjelaskan bahwa dua benda (makhluk) inilah; air dan Arsy yang merupakan awal segala makhluk. Adapaun air maka makhluk yang mutlak diciptakan pertama kali oleh Allah, sementara Arsy sebagai makhluk awal artinya bagi segala makhluk yang diciptakan oleh Allah sesudahnya, sebagaimana dipahami demikian adanya dari sabda Nabi tersebut; “Dan adalah Arsy-Nya di atas air”. Artinya bahwa Arsy diciptakan setelah air.

Ibnu Hibban telah meriwayatkan sebuah hadits yang disahihkannya dari hadits Abu Hurairah, bahwa ia berkata:

يَارَسُوُلَ اللّٰهِ إِنّيِ إِذَا رَأَيْتُكَ طَابَتْ نَفْسِيْ وَقَرَّتْ عَيْنِيْ فَأَنبِئْنِيْ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ، قَالَ:"كُلُّ شَيْءٍ خُلِقَ مِنَ الْمَاءِ، وفي لفظ:"إنَّ اللّٰهَ خَلَقَ كُلَّ شَيءٍ مِنَ الْمَاء"(روَاهُ ابْنُ حبَّان).

"Wahai Rasulullaah, sungguh apabila aku melihat dirimu maka diriku ini sangat senang, dan hatiku sangat gembira, maka beritakan kepadaku tentang segala sesuatu", Rasulullah bersabda: "Segala sesuatu diciptakan dari air". Dalam satu redaksi dengan: "Sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu dari air "(HR. Ibnu Hibban).

As-Suddiy meriwayatkan dalam tafsirnya dengan jalur Sanad yang banyak dari sekelompok putra-putra para sahabat Rasulullah :

إنَّ اللّٰهَ لَمْ يَخْلُقْ شَيْئًا مِمَّا خَلَقَ قَبْلَ الْمَاءِ(روَاهُ السُّدِّيّ)

"Sesungguhnya Allah belum menciptakan suatu apapun dari segala apa yang telah Dia ciptakan sebelum air".

Dalam hadits pertama di atas (dalam riwayat al-Bukhari dan al-Bayhaqi) ditetapkan bahwa air dan Arsy adalah makhluk Allah yang paling pertama diciptakan. Sementara pemahaman bahwa air diciptakan sebelum Arsy adalah diambil dari pemahaman dua hadits setelahnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarh Shahih al-Bukhari menuliskan sebagai berikut:

.قَالَ الطِّيْبِيّ هُوَ فََصْلٌ مُسْتَقِلٌّ لأنَّ القَدِيْمَ مَنْ لَمْ يَسبِقْهُ شَيءٌ وَلَمْ يُعَارِضْهُ الأوَّلِيَّةِ، لَكِنْ أشَارَ بقَولِهِ "وكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ" إلَى أنَّ الْمَاءَ والعَرْشَ كَانَا مَبْدَأ هذَا العَالَم لِكَونِهِمَا خُلِقَ قَبْلَ خَلْقِ السَّمَواتِ وَالأرضَ وَلَمْ يَكُن تَحْتَ العَرْش إذْ ذَاكََ إلاّ الْمَاء".اه‍

"Telah berkata al-Thibiyy: Ini adalah pasal tersendiri, karena sesungguhnya makna al-Qadim --bagi Allah-- adalah yang tidak didahului oleh suatu apapun, dan tidak ada apapun yang menyamai-Nya dalam azaliyyah-Nya. Dan dalam sabdanya: "Dan adalah Arsy-Nya di atas air" memberikan penjelasan bahwa air dan Arsy; keduanya adalah permulaan alam ini, karena keduanya diciptakan sebelum penciptaan langi-langit dan bumi, dan saat itu tidak ada suatu apapun di bawah Arsy kecuali air". 

Dalam Tafsir Abdur-Razzaq, dari Qatadah dalam penjelasan firman Allah: "Wa Kana 'Arsyuhu 'Ala al-Ma" (OS. Hud: 7), tertulis sebagai berikut:

هَذَا بَدْأُ خَلْقِهِ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ السَّمَواتِ وَالأرْضَ

"Inilah permulaan ciptaan Allah sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi". 

Ibn Jarir meriwayatkan dari Mujahid dalam tafsir firman Allah: "Wa Kana 'Arsyuhu 'Ala al-Ma" (QS. Hud: 7), bahwa ia (Mujahid) berkata:

قَبْلَ أن يَخْلُقَ شَيْئا

...sebelum Allah menciptakan segala sesuatu”.

(Soal): Jika ada yang berkata: “Bukankah Rasulullah telah bersabda: “Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah Nur nabi-mu wahai Jabir, Allah menciptakannya dari Nur-Nya sebelum segala sesuatu”.

(Jawab): “Cukup dalam membantahnya bahwa hadits ini menyalahi tiga hadits sahih tersebut di atas. Adapaun penyandaran hadits Jabir ini kepada al-Bayhaqi maka tidak benar adanya, oleh karena penyandaran hadits itu hanya kepada Abdur-Razzaq. Dan sesungguhnya hadits itu-pun tidak ada penyebutannya dalam Mushannaf Abdur-Razzaq, bahkan yang ada dalam tafsir Abdur-Razzaq kebalikan hadits ini.

#2 Hadits Jabir mengandung Rakakah (Keanehan/keasingan).

Di dalamnya disebutkan bahwa asal keberadaan segala sesuatu adalah dari air; seperti yang telah kita kutip di atas. Al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab "al-Hawi Li al-Fatawi" berkata:

لَيْسَ لَهُ،-- أي حَدِيْث جَابر-- إسْنَدٌ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ

“Tidak ada baginya (bagi hadits Jabir) sanad yang dapat disandarkan atasnya”

Syekh Abdullah al-Habasyi mengatakan: “Itu adalah hadits palsu (maudlu’) dengan pasti. Dan as-Suyuthi sendiri telah menegaskan dalam syarah-nya terhadap kitab at-Tirmidzi bahwa hadits Nur Muhammad sebagai makhluk pertama (Awwaliyyah an-Nur al-Muhammadi) adalah tidak benar.”

Kemudian orang yang sezaman dengan kita, Syekh Abdullah al-Ghumari, Muhaddits wilayah Maroko, menegaskan bahwa penyandaran hadits Jabir ini kepada kitab Mushannaf Abdir-Razzaq adalah sebuah kesalahan. Oleh karena tidak ada penyebutan hadits itu dalam Mushannaf Abdir-Razzaq, tidak ada dalam kitab Jami-nya, juga tidak ada dalam kitab Tafsir-nya. Dan memang demikian, tidak ada penyebutan hadits Jabir tersebut dalam karya-karya Abdir-Razzaq.

Demikian pula seorang ahli hadits terkemuka pada masanya, al Hafizh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari menilai bahwa hadits Jabir tersebut adalah hadits palsu (mawdlu’). Beliau berargumen bahwa redaksi hadits ini aneh dan asing (rakik), dan makna-maknanya mengandung kemunkaran-kemunkaran.

Syaikh Abdullah al-Habasyi juga mengatakan bahwa: Apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari adalah benar. Seandainya dalam matan hadits Jabir ini tidak ada redaksi apapun kecuali ungkapan ini:

 (قيل) خَلَقَهُ اللّٰهُ مِنْ نُوْرِهِ قَبْلَ الأشيَاءِ

“Telah menciptakannya (terhadap Nur Muhammad) oleh Allah dari Nur-Nya sebelum segala sesuatu”; 

Maka redaksi ini sudah lebih dari cukup untuk menetapkan bahwa hadits ini mengandung rakakah (Keanehan). Oleh karena redaksi demikian itu mengandung problem yang sangat besar, ialah;

(satu); Seandainya kata ganti (dlamir) pada kata “min nurihi” (dari Nur-Nya) dengan makna “Nur” yang merupakan makhluk Allah maka pemahamannya terbalik dengan yang hendak dituju. Dengan pemahaman ini maka berari yang “Nur” tersebutlah yang pertama kali diciptakan oleh Allah, bukan Nur Muhammad. Sementara Nur Muhammad adalah adalah yang makhluk yang kedua, (diciptakan dari “Nur” pertama tersebut).

(Dua); dan jika dipahami dari kata “dari Nur-Nya” dalam pengertian “penyandaran bagian bagi bagian” (Idlafah al-Juz’ li al-juz’) maka maknanya jauh lebih buruk dan lebih rusak lagi. Karena dengan demikian maka berarti menetapkan “nur” tersebut sebagai bagian dari Allah. Dan mengartikan demikian menyebabkan kepada pemahaman bahwa Allah sebagai sesuatu yang memiliki susunan-susunan (at-tarkib) pada Dzat Nya. Dan pemahaman adanya susunan-susunan (at-tarkib) pada Dzat Allah adalah di antara bentuk kekufuran yang sangat buruk. Karena dengan demikian maka berarti menyandarkan kebaharuan bagi-Nya. 

Dengan demikian, dari penjelasan terhadap hadits palsu ini dapat diketahui bahwa ia mengandung rakakah yang sangat buruk; yang ditolak oleh rasa/akal sehat (dzauq salim) dan tidak dapat diterima olehnya.

#3 Hadits Jabir Mengandung 'Illat (Cacat) yang lain

Selain dari pada itu ada ‘Illat (cacat) yang lain. Yaitu redaksi-redaksi hadits ini mengandung Idlthirab. Karena sebagian orang yang mengutip hadits ini dalam karya-karya mereka berbeda-beda satu dengan lainnya. --Redaksi (matn) hadits satu dengan lainnya memiliki perbedaan yang saling bertentangan--. Misalnya, jika dilihat redaksi kutipan az-Zurqani dan redaksi kutipan ash-Shawi; keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Oleh karena itu; dua hadis shahih yang pertama (yaitu riwayat al-Bukhari dan riwayat al-Bayhaqi, serta riwayat Ibnu Hibban) tidak boleh ditakwil --dari makna zahirnya—hanya karena untuk menetapkan (toleransi) hadits Jabir yang jelas tidak sahih. 

Bahkan hadits Jabir ini jelas palsu (mawdlu) karena alasan adanya rakakah, --seperti yang telah dijelaskan di atas--. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa hadits Jabir ini memberikan paham awwaliyyah muthlaqah; -- artinya bahwa Nur Muhammad adalah mutlak sebagai makhluk yang pertama diciptakan-- adalah pemahaman yang tidak berdasar. (Pendapat ini tidak berdasar, bertujuan hanya untuk melegitimasi kepalsuan hadits Jabir).

#4 Terdapat Hadits Akal yang munkar

Adapun hadits yang menyebutkan:

 اوّل ما خَلَقَ اللّٰهُ العَقْل

“Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah akal”; 

Maka ini adalah hadits yang tidak memiliki jalur periwayatan yang benar, seperti yang telah dinyatakan demikian oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Fath al-Bari, j.6, h.289).

Al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab [thaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya' Ulumid-din menuliskan sebagai berikut:

ثم قال العراقي أما حديث عائشة فرواه أبو نعيم في الحلية قال أخبرنا أبو بكر بن عبدالله بن يحي بن معاوية الطَّلْحيّ بإفادة الدارقطني عن سهل بن مَرْزُبَان بن محمد التميمي عن عبد اللّٰه بن الزبير الحميدي عن ابن عيينة عن منصور عن الزهري عن عروة عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله ﷺ أول ما خلق الله العقل، فذكر الحديث.هكذا أورده في ترجمة سفيان بن عيينة ولم أجدْ في إسناده أحدًا مذكورًا بالضعف، ولا سك أنّ هذا مُركَّب على هذا الإسناد ولا ادري ممن وقع ذالك والحديث منكر، قلت: والفد حديث عائشة على ما في الحلية قالت عائشة: حدثني رسول اللّٰه ﷺ أن أوّلَ ما خلق اللّٰه العقل، قال أقْبِلْ فأقبَلَ، ثم قال له أدْبِرْ فأدبَرَ، ثم قال ما خلقتُ شيئًا أحسنَ منك بك آخذ وبك أعطى، قال أبو نعيم: غريب من حديث سفيان ومنصور والزهرى لا أعلم له راويًا عن الحميدي إلا سهل، وأُرَاهُ واهيًا فيه.اه‍

"Kemudian al-Iraqi berkata: Adapun hadits Aisyah maka ia telah diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyah al Awliya, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Abdillah ibn Yahya ibn Mu'awiyah ath-Thalhiy dengan faedah (pelajaran) dari ad-Daraquthni, dari Sahl ibn al Marzuban ibn Muhammad at-Tamimi, dari Abdillah ibn az Zubair al-Humaidi, dari Ibnu Uyainah, dari Manshur, dari az Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah --Semoga ridla Allah senantiasa tercurah baginya--, berkata: telah bersabda Rasulullah: “Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah akal”, lalu redaksi hadits ini disebutkan. Demikian inilah --jalur-- hadits yang telah disebutkan dalam biografi Sufyan ibn Uyainah. Dan aku tidak mendapati dalam sanad-nya seorangpun yang dianggap lemah. Padahal jelas ini adalah rangkaian sanad yang sengaja dibuat- buat (murakkab), dan aku tidak tahu dari siapa awal mulanya yang merangkai sanad ini hingga-- terjadi. Dan ini adalah hadits munkar. Aku katakan: “Redaksi hadits Aisyah seperti apa yang dikutip dalam kitab Hilyah al-Awliya adalah Aisyah berkata; Rasulullaah telah mengkhabarkan kepadaku bahwa awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah akal. Dikatakan (kepada akal): “Menghadaplah!”, maka ia menghadap. Kemudian dikatakan (kepada akal): “Berpalinglah! (Pergilah!)”, maka ia berpaling pergi. Kemudian dikatakan kepada akal: “Tidaklah Aku (Allah) menciptakan sesuatu yang lebih baik darimu. Dengan (sebab)-mu Aku “mengambil” (mecabut karunia dan menetapkan siksa) dan dengan (sebab) mu Aku “memberi” (karunia dan menetapkan pahala kebaikan)”. Abu Nu’aim berkata: “Ini hadits gharib dari hadits Sufyan dan Manshur, serta az-Zuhri.

Aku tidak mengetahui adanya perawi hadits ini dari al-Humaidi kecuali Sahl. Dan telah diperlihatkan padaku bahwa ia (Sahl) adalah orang yang keliru (Wahi) dalam hadits ini”.

Demikian catatan al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin 51. (Catatannya Ini memberikan penjelasan bahwa hadits “Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah akal” adalah hadits yang sangat lemah, dan tidak dapat dijadikan sandaran).

#5 Hadits Awwaliyyah Al Qalam yang Dlaif

Makna hadits bahwa pena adalah makhluk yang pertama (Awwaliyyah al Qalam) adalah dalam pengertian kebermulaan atas segala sesuatu selain air dan Arsy (Awwaliyyah nisbiyyah).

Al-Hafizh al-Iraqi dalam Takhrij Ihya’ ‘Ulumiddin, setelah mengutip hadits “Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah akal” ini menuliskan sebagai berikut:

"روَاهُ الطّبَرانيّ في الأوْسَط مِنْ حَديثِ أبي أمَامَة، وأبو نعَيمٍ مِنْ حَديث عَائشَةَ بإسْنَادَيْنِي ضَعِيفَيْن.اه‍"

“Telah diriwayatkan ia oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al Awsath dari hadits Abu Umamah. Dan telah diriwayatkan ia oleh Abu Nu’aim dari hadits 'Aisyah. Kedua sanad hadits ini lemah (dla’if)”. Demikian catatan al-Hafizh al-Iraqi--dalam penilaiannya terhadap hadits “Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah akal”. Memberikan penjelasan bahwa hadits ini lemah (dla’if), tidak dapat dijadikan sandaran--. Adapun hadits tentang bahwa pena (al-Qalam) adalah makhluk yang pertama kali diciptakan (Awwaliiyah al-Qalam) maka telah dijawab dengan jelas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, sebagai berikut:

"فيُجْمَعُ بينَه وبين ما قبله بأنّ أوليةَ القلم بالنسبة إلى ما عَدَا الماء والعرش، أو بالنسبة إلى مَا منه صَدَرَ من الكتابة أي أنه قيل له اكْتُبْ أوّلَ مَا خُلِقَ، وأما حديث أوّل ما خَلَقَ اللّٰهُ العقل فليس له طريقٌ يَثبُت، وعَلى تقدِيْرِ ثُبوتهِ فهَذا التقدِيرُ الأخيرُ هُو تأويلُه، وَاللّٰه أعْلَم.اه‍"

“Maka hadits ini --dalam memahaminya-- diserasikan dengan pemahaman hadits sebelumnya (al-Jam’u). Makna hadits bahwa pena adalah makhluk yang pertama (Awwaliyyah al Qalam) adalah dalam pengertian kebermulaan atas segala sesuatu selain air dan Arsy. Atau makna hadits ini adalah dari segi segala apa yang nampak/timbul dari cataatan --apa yang dicatatkan olehnya--. Artinya, dikatakan kepada pena; “Catatlah apa yang pertama kali diciptakan!”  (Maka pena-pun mencatatkannya). Adapun hadits “Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah akal” maka ini hadits tidak ada baginya jalur yang benar. Dan andaikan hadits Awwaliyyah al-‘Aql ini benar adanya maka --dalam memahaminya-- adalah seperti penjelasan yang terakhir --disebutkan-- sebagai takwilnya. Allah A’lam”. 

Demikian catatan dari al-Hafizh Ibnu Hajar. (Ini memberi penjelasan yang sangat terang dari salah seorang Imam al-Muhadditsin).

#6 Pernyataan Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Dalam Syarh Al Arbain An Nawawiyyah

Adapun pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah yang mengatakan: “Adapun kebermulaan al-Qalam (Awwaliyyah al-Qalam) adalah kebermulaan yang nisbi, sementara kebermulaan Nur Muhammad adalah kebermulaan yang mutlak”; ini adalah pemahaman takwil yang menyalahi hadits shahih. Juga menyalahi kaedah hadits, yang --telah menetapkan-- bahwa bila hadits dla’if bila menyalahi hadits shahih maka tidak lagi membutuhkan kepada takwil, tetapi wajib disamakan dengan hadits shahih dan ditinggalkan hadits dla’if. Sebagaimana ini telah ditetapkan dalam kitab-kitab Musthalah al-Hadits dan dalam kitab-kitab Ushul.

(soal) Jika dikatakan: Bukankah Rasulullah telah bersabda: 

  كُنْتُ أَوَّلَ النَّبِيِّنَ فِيْ الْخَلْقِ وَآخِرَهُمْ فِيْ البَعْثِ

“Aku adalah awal para Nabi dalam penciptaan, dan yang paling akhir dari mereka diutus”. 

Juga bersabda: 

 كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيَنَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ

“Aku adalah --telah ditetapkan sebagai-- Nabi, sementara Adam masih antara air dan tanah”. 

Juga hadits: 

  كُنْتُ نَبِيًّا وَلاَ مَاءَ وَلاَ طِيْنَ

"Aku telah ditetapkan sebagai nabi sebelum ada air dan tanah"

(Jawab): Hadits pertama (Aku adalah awal para Nabi dalam penciptaan, dan yang paling akhir dari mereka diutus) adalah hadits dla’if, sebagaimana dinilai demikian oleh para ulama. Di dalam --rangkaian sanad-nya-- ada perawi bernama Baqiyyah ibnul Walid; dia adalah seorang mudallis. Juga ada perawi bernama Sa’id ibn Basyir; seorang yang dla’if.

Kemudian, andaipun ini hadits benar maka jelas maknanya bukan sebagai awal makhluk Allah, tetapi redaksinya mengatakan “awal para Nabi” (Awwal al-Anbiya’). Sementara itu, telah diketahui (secara ijma dan populer) bahwa manusia pertama adalah Adam; yang juga merupakan akhir makhluk Allah dibanding jenis-jenis makhluk lainnya. 

Hadits; “Aku adalah awal para Nabi dalam penciptaan, dan yang paling akhir dari mereka diutus”, hadits dla’if; menjelaskan bahwa Rasulullah “Awal para Nabi”, bukan “Awal semua makhluk secara mutlak”. 

Adapun hadits ke dua dan ke tiga yang disebutkan di atas maka keduanya tidak ada dasarnya (la ashla lahuma).

Dan tidak ada kebutuhan (artinya; tidak boleh) untuk memberlakukan takwil terhadap firman Allah “Dan telah Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (QS. al-Anbiya 30).;, juga tidak ada kebutuhan memberlakukan takwil terhadap hadits shahih (hadits riwayat al-Bukhari dan al-Bayhaqi di atas) hanya untuk membela hadits yang sangat lemah (wahin dla’if), atau bahkan hanya untuk membela hadits palsu yang tidak memiliki dasar (mawdlu’ la ashla lahu), seperti yang diperbuat oleh sebagian orang-orang yang mengaku ahli tasawwuf; yang telah mentakwil ayat itu dengan hadits Jabir tersebut –tanpa dasar-- dengan kata mereka “bahwa ayat itu mengandung makna metafor (majazi)”. 

Adapun hadits Maysarah al-Fajr, bahwa ia berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, kapan engkau telah menjadi seorang Nabi?”, Rasulullah berkata: 

 كُنْتُ نَبِيًّا وَءَادَمُ بَيْنَ الُّرُوْحِ وَالْجَسَدِ

“Aku telah menjadi seorang Nabi, sementara Adam masih antara ruh dan jasad”. Ini adalah hadits shahih. Telah meriwayatkannya oleh Ahmad dalam kitab Musnad-nya. Al Hafizh al-Haitsami mengutip hadits ini dengan menyandarkannya kepada Ahmad, --sebagai perawinya-- juga kepada ath-Thabarani, lalu al-Haitsami berkata: “Dan para perawi hadits ini adalah para perawi shahih”. Makna hadits ini sama sekali tidak menunjukan bahwa Rasulullah sebagai makhluk pertama dibanding seluruh makhluk-makhluk lainnya secara mutlak. Tetapi makna hadits adalah bahwa Rasulullah sudah sangat masyhur (populer) sebagai penyandang kenabian di antara para Malaikat; pada saat belum sempurnanya penciptaan Adam dengan dimasukan ruh kepadanya.

Dan telah meriwayatkan oleh Ahmad", al-Hakim",al Bayhaqi" dalam kitab Dala-il an-Nubuwwah dari al-Irbad ibn Sariyah --semoga ridla Allah tercurah baginya--, berkata: Aku telah mendengar Rasulullah bersabda:

  إِنِّي عِنْدَ اللّٰهِ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَخَاتَمُ  النَّبِيِّنَ وَإِنَّ ءَادَمَ لَمُنجَدِلٌ فِي طِنَتِهِ

"Sesungguhnya aku oleh Allah telah ditetapkan dalam Ummul Kitab (al-Lauh al-Mahfuzh) benar-benar sebagai penutup para Nabi. Dan sungguh Adam --saat itu-- masih dalam bentuk tanahnya". 

Al-Bayhaqi berkata:

   قَولُهُ ﷺ إنِّي عَبْدُ اللّٰهِ وَجَاتَم النَّبيينَ وإنّ ءادَمَ لَمُنْجَدِلٌ فِي طِينتِه، يُرِد بِهِ أنّه كان كذالك في قضاء الله وتقديره قبل أنْ يَكُوْنَ أبو البَشَر وأوّل الأنبياء عَليهمُ الصّلاَةُ والسلام. اه‍

"Sabda Rasulullah: Sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan penutup para Nabi, dan sungguh Adam --saat itu-- masih dalam bentuk tanahnya", yang dimaksud dengannya adalah bahwa Rasulullah telah demikian adanya dalam ciptaan Allah dan ketetapan-Nya (al-Qadla’ dan al-Qadar) sebelum adanya bapak semua manusia (Adam) dan yang merupakan awal seluruh para Nabi --Shalawat dan salam semoga tercurah atas mereka semua--”. Demikian catatan al-Bayhaqi. (Dari penjelasannya ini dapat dipahami bahwa hadits tersebut tidak ada kaitannya dengan pemahaman Awwaliyyah an-Nur al-Muhammadiy). 

Kemudian dari pada itu, sesungguhnya keutamaan itu tidak terkait dengan keterdahuluan dalam keberadaan. (Artinya, tidak mesti yang adanya lebih dahulu lebih utama dari yang adanya belakangan/penj.). Tetapi keutamaan itu adalah karena dikaruniakan oleh Allah baginya. Sungguh Allah dengan kehendak-Nya mengutamakan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Dan Allah telah menjadikan pemimpin kita; Nabi Muhammad yang paling utama dari seluruh ciptaan-Nya secara mutlak (artinya tidak ada yang lebih utama dari Rasulullah). Beliau adalah makhluk Allah yang paling banyak berkahnya.

Sesungguhnya keutamaan itu tidak terkait dengan keterdahuluan dalam keberadaan. Tetapi keutamaan itu adalah karena karunia Allah baginya. Iblis terlebih dahulu diciptakan sebelum Nabi Adam. Itu tidak menunjukan Iblis lebih mulia dibanding Nabi Adam.

Faedah Penting..!

"Pertanyaan tertuju atas mereka yang mengatakan bahwa Rasulullah makhluk Allah yang paling pertama; (katakan kepada mereka): 

“Bukankah kalian berkeyakinan bahwa Iblis diciptakan sebelum Adam?”, mereka akan menjawab: “Tentu, karena ada teks al-Qur’an menyebutkan demikian. Yaitu firman Allah:

 (وَٱلۡجَاۤنَّ خَلَقۡنَـٰهُ مِن قَبۡلُ مِن نَّارِ ٱلسَّمُومِ)

“Dan Jin (Iblis) telah Kami ciptakan ia terlebih dahulu dari api yang menyala-nyala” (QS. al-Hijr:27). 

Dari sini Anda katakan kepada mereka: “Apakah terdahulunya Iblis atas Adam dalam penciptaan menunjukan bahwa Iblis lebih utama dari Adam?”. Tanpa keraguan, mereka tidak akan menjawab bahwa hal tersebut tidak menuntut adanya Iblis lebih utama dari Adam. Maka anda katakan kepada mereka: “Jika demikian, mengapa kalian ngotot menetapkan bahwa Rasulullah makhluk Allah yang paling pertama? Apa yang hendak dituju dengan pendapat kalian ini?!”.

Demikian pula tidak ada artinya pendapat mereka yang mengatakan bahwa hadits yang lemah sanad-nya apabila diterima oleh “seluruh umat” (Talaqqathu al-Ummah bi al Qabul) maka hadits tersebut naik kualitasnya menjadi hasan li ghairih, --lalu kaedah ini diterapkan terhadap hadits Jabir--. Seperti pernyataan sebagian mereka yang menulis tema ini dari negara India, yang menurutnya hadits Awwaliyyah an-Nur al Muhammadi adalah masuk kategori kaedah ini. Anda katakan kepada mereka: Kaedah tersebut tidak berlaku bagi hadits palsu (mawdlu’) ini. Karena yang dimaksud dengan “seluruh umat” dalam kaedah tersebut adalah para imam Mujtahid. Sebutkan oleh kalian, siapakah di antara para imam Mujtahid yang empat yang mengatakan seperti yang anda katakan. Jika kalian memiliki catatan tekstual untuk itu -- dari para imam Mujtahid-- perlihatkanlah kepada kami?! Atau apakah kalian mampu untuk menetapkan --secara tekstual— seperti apa yang menjadi pendapat kalian dari para pengikut para imam madzhab yang empat (Ash-hab al-A-immah al Arba’ah) yang telah menerima ilmu dari para imam madzhab masing-masing?! Maksimal yang akan kalian tampilkan hanyalah catatan-catatan atau perkataan dari sebagian Muta’akhirin, seperti az-Zurqani, Ibn Hajar al-Haytami, al-Qasthallani lalu beberapa orang lainnya yang datang sesudah mereka, seperti Yusuf an-Nabhahi --yang notabene hidup pada abad 14 Hijriyah--, al-‘Ajluni, Abu Bakr al-Asykhar, dan beberapa lainnya. Dengan demikian, bagaimana hendak dikatakan bahwa masalah ini sebagai perkara yang diterima oleh seluruh umat (Talaqqathu al-Ummah bi al-Qabul)?!

Ghairih, --sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Musthalah al-Hadits-- adalah seperti hadits:

 الْبَحْرُ هُوَ الطُّهُوْرُ  مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut; dapat mensucikan (mengangkat hadats) oleh airnya, dan halal bangkainya”

dan juga seperti hadits: 

   نَهى رَسُولُ اللّٰه ﷺ عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ

“Rasulullah melarang praktek jual beli al-Kali’ bil Kali’”.

Dua hadits ini dinyatakan shahih oleh para imam Salaf dari para ahli Fiqh dan para ahli Hadits (al-Fuqaha’ Wa al-Muhadditsin) dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para huffazh dan fuqaha’ yang datang sesudahnya, sebab kedua hadits ini diterima oleh seluruh umat (Talaqqathu al-Ummah bi al Qabul). Artinya, seluruh para imam Mujtahid sepakat mengamalkan kandungan kedua hadits ini, walaupun sanad kedua hadits ini lemah (dla’if). 

Sementara mereka yang ngotot menerapkan kaedah ini --terhadap hadits Jabir yang notabene mawdlu’-- adakah di antara mereka para imam Mujtahid?!. Anda kurang ngopi ...

Lihat, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani tidak mengakui sedikitpun apa yang kalian prasangkakan (serukan). Sebaliknya beliau dengan tegas dalam hadits: “Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun selain-Nya. Dan adalah Arsy-Nya di atas air” telah menetapkan makna tekstualnya (bahwa air adalah makhluk Alah yang pertama diciptakan oleh-Nya). Lalu, Abdur-Razzaq ash-Shan’ani, penyusun kitab al Mushannaf, yang masa hidupnya telah terlebih dahulu; justru pendapat yang sahih darinya, seperti apa yang ia catatkan dalam kitab tafsirnya, bahwa makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah adalah air dan Arsy. Selain itu, kebiasaan Abdur Razzaq dalam menyusun karya-karyanya seringkali mengutip hadits-hadits dengan tanpa ada penilaian sahih terhadapnya. Kitab al-Mushannaf dan kitab al-Jami’, misalkan, kutipan kutipan hadits di dalamnya tidak beliau nilai kualitas kualitasnya (derajat hadits-hadits tersebut). Beliau tidak mengatakan di dalamnya; ini hadits sahih, hasan atau dla’if. Seandainya-pun bila ada penyebutan hadits Jabir dalam Mushannaf Abdur-Razzaq; lalu kemudian oleh Abdur-Razzaq sendiri tidak dinilai kualitas hadits tersebut; tidak dikatakan olehnya sahih, tidak pula dikatakan hasan; maka apakah bagi seorang yang mengetahui ilmu hadits (Musthalah al-Hadits) akan mengatakan itu hadits sahih, hanya karena itu diriwayatkan oleh seorang Muhaddits?! Tentu orang yang pernah belajar ilmu hadits (Dirayah) tidak akan membuat penilaian demikian. (--Karena sebatas meriwayatkan sebuah hadits tidak berarti hadits tersebut sebagai hadits sahih, dan apa lagi hadits Jabir yang nyata tidak ada periwayatannya dalam karya-karya Abdur-Razzaq!!--). 

Ironisnya, ada sebagian orang yang sangat fanatik dengan hadits Awwaliyyah an-Nur al-Muhammadiy ini mengaku telah menemukan salinan manuskrip al-Mushannaf (karya Abdur-Razzaq) yang --menurutnya-- di dalamnya ada penyebutan hadits Jabir tersebut. Tapi demikian, anehnya, tidak pernah diketahui manuskrip itu di mana adanya, -- bahkan-- dari semenjak sekitar 15 tahun orang tersebut mengatakan keberadaannya --hingga sekarang ia tidak ungkapkan di mana manuskripnya--. Dengan demikian, bagaimana mereka dapat mengatakan dengan berdalil dengan hadits “Awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah Nur Nabi-mu wahai Jabir”?! Sementara tidak ada seorang-pun dari huffazh al-hadits yang mensahihkannya. Ibnu Hajar al-Haytami sendiri ketika mengutip hadits Awwaliyyah an-Nur al-Muhammadiy ini dalam “Syarh al Arba’in an-Nawawiyyah”, ia tidak mengutip perkataan seorangpun dari Huffazh al-Hadits dalam menilai hadits Jabir ini sebagai hadits yang sahih. (Karena memang tidak ada).

Sesungguhnya, al-Haytami hanyalah mengesahkan (melegitimasi) hadits Jabir ini dari dirinya sendiri. Pendapat apa yang ia senangi tersebut hanyalah datang dari dirinya sendiri. Untuk itu, lalu ia berusaha untuk menguatkan pendapatnya dengan mentakwil hadits riwayat at-Tirmidzi: “Sesunguhnya awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah al-Qalam”. Hadits ini memang disahihkan oleh at-Tirmidzi. Hanya saja al-Haytami mentakwil hadits ini dengan mengatakan: “Kebermulaan -- penciptaan al-Qalam-- adalah nisbi (artinya tidak mutlak), sementara kebermulaan penciptaan an-Nur al-Muhammadiy adalah hakekat (mutlak)”. Padahal, yang sesuai dengan --orang seperti-- al-Haytami, seharusnya tidak berusaha untuk membuat-buat takwil (at-Takalluf) semacam itu. Karena, sesungguhnya tidak boleh menerapkan metode takwil terhadap teks sahih kecuali ada alasan (dalil) aqli atau dalil naqli yang tsabit (sahih) yang menuntut kepada adanya takwil tersebut. Sementara terhadap hadits “Sesunguhnya awal apa yang diciptakan oleh Allah adalah al-Qalam” tidak ada satupun tuntutan dari dua alasan tersebut.

Adapun pengakuan sebagian orang yang menyusun catatan dalam usaha menguatkan hadits Jabir ini dengan mengatakan bahwa as-Suyuthi tidak menilainya sebagai hadits dla’if. as-Suyuthi hanya menilai dla’if pada sanad-nya saja. Dengan demikian, hal ini tidak menafikan kesahihan hadits Jabir ini dari arah (jalur) yang lain; (Jawab): Ungkapan as-Suyuthi yang ia tuliskan dalam kitab Qut al-Mughtadzi justru sebaliknya. Beliau menuliskan:

وَأَمَّا حَدِيْثُ أوَّلِيَّةِ النُوْرِ الْمُحَمَّدِيّ فَلاَ يَثْبُتُ اه‍.

“Adapun hadits Awwaliyyah an-Nur al-Muhammadiy maka ia tidak benar”. 

Demikian tulisan as-Suyuthi. Beliau --dengan redaksinya ini-- menafikan keberadaan (kebenaran) kandungan makna haditsnya itu sendiri. Dengan demikian, jelas beliau menghukumi hadits tersebut dengan kelemahan pada maknanya (Hakama A’ala al-Hadits bi adl-Dla’fi), beliau tidak menyebut sanad dalam hal ini.

Kaedah Ushuliyyah Menguatkan Apa Yang Kita Jelaskan

Para ulama Ushul sepakat atas bahwa suatu teks (nash) tidak boleh ditakwil, kecuali karena ada --tuntutan-- dalil sam’i yang sahih, atau --tuntutan-- dalil aqli yang pasti. Para ulama Ushul berkata bahwa suatu teks tidak boleh ditakwil kecuali ada tuntutan tersebut. Karena jika tidak demikian maka setiap teks akan menjadi sia-sia (abats), sementara teks-teks Syara’ dihindarkan dari kesia-siaan. Demikian, kaedah ini disebutkan oleh banyak ulama Ushul, seperti penulis kitab al-Mahshul. 

Dengan demikian, setelah tidak boleh ditakwil, kecuali karena ada tuntutan dalil sam’i penjelasan ini maka nyata batil pendapat  orang-orang yang melakukan takwil terhadap hadits kebermulaan penciptaan air (awwaliyyah al-ma’) sebagai makhluk pertama bahwa kebermulaannya adalah kebermulaan nisbi (awwaliyyah nisbiyyah); hanya karena untuk menguatkan hadits Jabir --yang tidak benar--.

Adapun menerapkan metode takwil terhadap hadits kebermulaan penciptaan pena (awwaliyyah al-qalam) untuk menyatukan dan menserasikan pemahamannya (al-jam’u wa at-tawfiq) dengan hadits kebermulaan penciptaan air (awwaliyyah al-ma’) maka itu adalah takwil yang haq dan benar (sesuai tempat dan tuntutannya). Oleh karena kedua hadits tersebut benar adanya. Dan dengan metode ini orang yang berfikir dan bersikap moderat mendapatkan pemahaman yang memuaskan (dan mencerahkan). 

Kemudian, salah satu dari kedua hadits tersebut (yaitu awwaliyyah al-ma’ dan awwaliyyah al-qalam) lebih kuat pada sanad-nya; yaitu hadits awwaliyyah al-ma’. 

Sementara kualitas sanad hadits awwaliyyah al-qalam masih di bawahnya. Oleh karena itu maka kita memberlakukan metode takwil terahadap hadits awwaliyyah al-qalam bahwa kebermulaan penciptaan pena adalah kebermulaan yang nisbi. Sementara kebermulaan penciptaan air adalah kebermulaan yang mutlak. Ini sesuai dengan kaedah: “Apa bila ada dua nash (tsabit/sahih) saling bertentangan (pada zahirnya) maka disatukan pemahaman keduanya, jika dimungkinkan untuk disatukan”. Dan pada konteks hadits Awwaliyyah al-Ma’ dan Awwaliyyah al-Qalam ada jalan takwil untuk menghimpunkan pemahaman keduanya. Kita katakan: bahwa kebermulaan penciptaan pena adalah dari segi yang mencatatkan. Artinya bahwa pena adalah makhluk pertama yang diciptakan untuk mencatat. Dengan demikian maka pemahaman dua hadits ini dapat dihimpun, dan hilanglah pertentangan antara keduanya.

Kaedah Dalam Penilaian Shahih dan Dla’if 

Yang menjadi landasan dan dianggap dalam penilaian hadits ini shahih ini dla’if adalah penilian dari seorang hafizh hadits. Artinya, penilaian dapat dianggap jika seorang hafizh mencatatkan; “ini adalah hadits sahih”, atau hafizh tersebut menyebutkan dalam kitab yang disusunnya yang tertentu (khusus) di dalamnya ia hanya menyebutkan hadits-hadits sahih saja. Seperti al-Hafizh Sa’id ibn as-Sakan yang telah menyusun sebuah kitab; yang secara khusus beliau menyebutkan di dalamnya hadits-hadits sahih saja; berjudul “as-Sunan ash-Shihah”. Pemahaman ini dikuatkan dengan apa yang telah disebutkan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Alfiyah Musthalah al-Hadits. Beliau berkata:

"وَخُدْهُ حَيْثُ حَافِظٌ عَلَيْهِ نَصٌّ # أَوْ مِنْ مُصَنَّفٍ بِجَمْعِهِ يُخَصّْ"

“Dan ambilah hadits seperti apa yang telah ditetapkan penilian --kualitasnya-- oleh seorang hafizh hadits. Atau ambilah hadits dari kitab yang telah disusun/dihimpun --oleh hafizh hadits— yang secara khusus --telah dinilai kualitasnya--.

Maksud perkataan as-Suyuthi di atas;  bahwa hadits sahih diketahui ia sebagai hadits sahih adalah dengan penilian seorang hafizh yang telah menetapkan kesahihannya. Atau diketahui itu hadits sahih karena disebutkan dalam sebuah kitab --karya seorang hafizh hadits-- yang isinya hanya menghimpun hadits-hadits sahih saja.

Adapun orang yang tidak mencapai derajat hafizh hadits maka peniliannya tidak dianggap sama sekali; baik penilian sahih-nya terhadap sebuah hadits, atau penilian dla’if-nya. 

Dan hadits Awwaliyyah an-Nur al-Muhammadiy tidak ada seorangpun dari huffazh hadits yang menilianya sebagai hadits sahih, baik huffazh hadits mutaqaddimun maupun muta’akhirun. Juga hadits Jabir tersebut tidak pernah disebutkan dalam isi kitab-kitab yang para penyusunnya secara khusus hanya menghimpun hadits-hadits shahih saja.

Adapun hanya sebatas penyebutan sebuah hadits dalam sebuah karya seorang hafizh hadits maka itu tidak pasti menunjukan bahwa hadits tersebut sahih. 

Misalkan, al-Imam Ahmad ibn Hanbal, pemimpin para huffazh hadits, dengan ketinggian dan keagungan derajatnya dalam hadits, yang juga merupakan salah satu dari Imam Mujtahid dari madzhab yang empat; beliau dalam kitab Musnad-nya menyebutkan ribuan hadits-hadits darinya, maka itu tidak menunjukan bahwa hadits sahih, juga menyebutkan ribuan hadits hadits dla’if. 

Bahkan, al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi, --yang merupakan guru dari al-Hafizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani-- membahas tentang adanya empat belas hadits dalam Musnad Ahmad tersebut yang dianggap sebagai hadits-hadits palsu (Mawdlu’ah).

Dengan demikian, jika Musnad Ahmad saja demikian keadaannya, -- yang padahal penyususnnya; Ahmad ibn Hanbal adalah Syaikh al-Huffazh--, terlebih lagi kitab-kitab karya para huffazh yang di bawah imam Ahmad, seperti al-hafizh Abdur-Razzaq yang telah menyusun kitabnya yang populer dengan nama al-Mushannaf, lalu kitab tafsir-nya, dan kitab al-Jami’.

Tidak bisa menjadi faedah walaupun banyak

Orang-orang yang menyebutkan hadits Awwaliyyah an Nur al-Muhammadiy dari kalangan Muta’akhirun cukup banyak. Tetapi banyaknya mereka tidak memberikan faedah apapun, karena mereka bukan orang-orang yang telah mencapai derajat hafizh hadits. Walaupun ada di antara mereka yang merupakan muhaddits, -- artinya memiliki perhatian mendalam terhadap hadits--, namun juga ada dari mereka yang sama sekali bukan sebagai muhaddits; seperti syekh Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani.

Beliau sendiri mengakui itu, dalam sebagian karyanya berkata bahwa dirinya bukan seorang yang alim, terlebih lagi sebagai seorang muhaddits. Beliau, karena kelemahannya dalam hadits, memasukan dalam karyanya yang berjudul “Arba’in al-Arba’in” hadits-hadits dari al-Arba’in al Wada’aniyyah; yang padahal itu semua, --sebagaimana telah dihukumi oleh huffazh hadits--, adalah hadits-hadits palsu (mawdlu’). Ini karena kelemahan beliau dalam hadits, sehingga luput darinya pengetahuan bahwa hadits-hadits tersebut adalah palsu (mawdlu’). 

Syekh Yusuf an-Nabhani sendiri telah berlebihan dalam masalah/tema ini dengan sangat jauh (al-Mujazafah). Dalam Alfiyah-nya ia berkata: 

  نُوْرُكَ الْكُلُّ وَالْوَرَى أجْزَاءُ * يَا نَبِيًّا مِنْ جُنْدِهِ الْأَنْبِيَاءُ

“Nur-mu adalah segala sesuatu, dan seluruh makhluk adalah bagian-bagian --darimu--, wahai seorang Nabi (yang dimaksud Nabi Muhammad) yang dari balatentaranya adalah para Nabi”.

Juga dalam kitab “Mawlid Abil Wafa” telah berbuat berlebihan (al-Mujazafah), menuliskan: 

خَلَقَ اللّٰهُ مِنَ النُّوْرِ القَدِيْمِ *  نُوْرَ الْمُسْطَفَى التِّهَامِي الأَصِيْلِ

“Telah menciptakan oleh Allah dari Nur yang Qadim (yang tidak bermula) akan Nur Musthafa (maksudnya; Nabi Muhammad), seorang yang berasal dari Tihamah, yang murni”. 

Adakah layak kalimat semacam ini diucapkan hanya dengan dasar karena itu diungkapkan (diriwayatkan) dari orang-orang seperti mereka?! Apa yang mendorong kepada fanatisme --tanpa dasar-- semacam ini?! Apakah keutamaan itu harus bagi yang terdahulu dalam keberadaan (at-Taqaddum Fi al-Wujud)?! Sesungguhnya keutamaan itu adalah dengan karunia Allah. Dia-lah yang mengutamakan sebagian ciptaan Nya atas sebagian yang lain, sesuai apa yang Dia kehendaki. 

Seandainya keutamaan itu bagi yang terdahulu dalam keberadaan (at-Taqaddum Fi al-Wujud) maka berarti air lebih utama dari segala sesuatu. Padahal air itu adalah hanyalah diantara ni’mat (karunia/fadl) dari Allah bagi hamba-hamba Nya. Allah sendiri menyebutkan dalam al-Qur’an dengan firman-Nya:

 ( وَجَعَلۡنَا مِنَ ٱلۡمَاۤءِ كُلَّ شَیۡءٍ حَیٍّ )

“Dan Kami telah menjadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (QS. al-Anbiya: 30). 

Juga, seandainya keutamaan itu bagi yang terdahulu dalam keberadaan (at-Taqaddum Fi al-Wujud) maka berarti pena (al-Qalam) adalah makhluk paling utama. Oleh karena ada riwayat menyebutkan bahwa makhluk pertama adalah al Qalam. Cukup bagi kita bahwa Rasulullah adalah makhluk Allah paling utama di atas seluruh makhluk lainnya secara mutlak dengan dalil apa yang telah disebutkan oleh Allah dalam al Qur’an tentang pengambilan janji (al Mitsaq) dari setiap orang Nabi sebelum Nabi Muhammad. Bahwa mereka diperintah beriman dengan Nabi Muhammad jika kelak ia diutus sebagai Nabi dan mereka dalam keadaan hidup. Allah berfirman: 

  (وَإِذۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِیثَـٰقَ ٱلنَّبِیِّـۧنَ لَمَاۤ ءَاتَیۡتُكُم مِّن كِتَـٰبࣲ وَحِكۡمَةࣲ ثُمَّ جَاۤءَكُمۡ رَسُولࣱ مُّصَدِّقࣱ لِّمَا مَعَكُمۡ لَتُؤۡمِنُنَّ بِهِۦ وَلَتَنصُرُنَّهُۥۚ )

“Dan ketika Allah mengambil janji (al-mitsaq) para Nabi: ketika Aku (Allah) berikan terhadap kalian akan kitab dan hikmah (keNabian), kemudian datang kepada kalian seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan bagi apa yang bersama kalian maka kalian benar-benar beriman dengannya, dan kalian benar-benar membelanya” (QS. Ali Imran: 81).

Wallahu A'lam Wa Ahkam

Allah Ada Tanpa Tempat

Posting Komentar untuk "Kebatilan Pendapat Nur Muhammad Sebagai Makhluk Pertama"