Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kewajiban Taqlid Kepada Ulama Mujtahid

Kewajiban Taqlid Kepada Ulama Mujtahid Ngaji Risalah Ahlussunnah wal Jam’ah Karya Hadlratus Syaikh Hasyim Asy'ari


قال المؤلف رحمه الله تعالى:

(فصل) في بيان وجوب التقليد لمن ليس له أهلية الإجتهاد

يجب عند جمهور العلماء المحققين على كل من ليس له أهلية الإجتهاد المطلق، وإن كان قد حصل بعض العلوم المعتبرة في الإجتهاد تقليدُ قول المجتهدين والأخذ بفتواهم ليخرج عن عهدة التكليف بتقليد أيهم شاء لقوله تعالى: {فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ}، فأوجب السؤال على من لم يعلم ذلك، وذلك تقليد لعالم، وهو عام لكل المخاطبين، ويجب أن يكون عاما في السؤال عن كل ما لا يعلم للإجماع على أن العامة لم تزل في زمن الصحابة والتابعين وكل حدوث المخالفين يستفتون المجتهدين و يتبعونهم في الأحكام الشرعية والعلماء، فإنهم يبادرون إلى إجابة سؤالهم من غير إشارة إلى ذكر الدليل، ولا ينهونهم عن ذلك من غير نكير، فكان إجماعا على اتباع العامى للمجتهد، ولأن فهم العامى من الكتاب والسنة ساقط عن حيز الإعتبار، إن لم يوافق أفهام علماء أهل الحق الأكابر الأخيار، فإن كل مبتدع وضال يفهم أحكامه الباطلة من الكتاب والسنة ويأخذ منهما والحال أنه لا يغنى من الحق شيئا.

Pasal Wajibnya Taqlid Bagi Seseorang Yang Tidak Memiliki Keahlian Untuk Berijtihad

Menurut pandangan Jumhur Ulama yang ahli tahqiq, setiap orang yang tidak memiliki keahlian Ijtihad mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taklid) pada satu qaul dari para Imam Mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (taklif) yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu Imam Mujtahid, sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala:

فاسئلوا اهل الذكر إن كنتم لاتعلمـون

“Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui”

Dengan berdasar pada ayat ini, seseorang yang tidak mengetahui diwajibkan oleh Allah untuk bertanya, bertanya itu merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang alim. Firman Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dituju dalam firman tersebut.

Secara umum pula firman Allah ini, mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan/konsensus Jumhur al–Ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan hingga zaman setelahnya, mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa–fatwa mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk Ulama. Pertanyaan esensial yang kemudian muncul adalah, mengapa harus mempertanyakan suatu hukum dan tuntutan syari’at yang tidak diketahui? Karena sesungguhnya para ulamapun ketika menerima pertanyaan, mereka seringkali segera menjawab pertanyaan tersebut to the point tanpa memberi isyaroh untuk menuturkan dalil, di satu sisi ketika seorang ulama melarang untuk melakukan sesuatu kepada orang yang awam, merekapun (awam) langsung menerimanya tanpa mengingkarinya. 

Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid, disadari pula bahwa sama sekali orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami al–Kitab dan al–Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman ulama ahli al–Haq yang agung dan terpilih. Sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan berperilaku menyimpang, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari al–Kitab dan al–Sunnah, pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.

Catatan

Bermadzhab adalah karakteristik umat Islam Ahlussunnah wal Jam’ah.

Bermadzhab artinya mengikuti (taqlid) pada para ulama mujtahid dalam memahami Al Qur'an dan Hadits.

Kelompok non Aswaja biasanya memahami al Qur'an dan Hadits secara langsung, tanpa mengikuti pemahaman para ulama.

Memahami al Qur'an dan Hadits tanpa madzhab sangat berbahaya, karena pemahamannya akan didasarkan pada sekedar logika dan hawa nafsu.

ولا يجب على العامى إلتزام مذهب في كل حادثة، ولو التزم مذهبا معينا كمذهب الشافعي رحمه الله تعالى لا يجب عليه الإستمرار، بل يجوز له الإنتقال إلى غير مذهبه. 

"Bagi orang tidak diwajibkan untuk tetap konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam al–Syafi’i radliyallahu ‘anhu, tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini, bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain al–Syafi’i.

Catatan

Madzhab fiqih yang diikuti oleh umat Islam ada empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.

Umat Islam boleh memilih salah satu dari madzhab di atas.

Umat Islam boleh berpindah madzhab, selama pada salah satu madzhab di atas.

Bertahannya empat madzhab di atas karena para muridnya dengan gigih mengajarkan dan membukukan hasil Ijtihad imamnya.

Umat Islam boleh berpindah madzhab, misalnya dari madzhab as Syafi’i pada madzhab Hanafi dan seterusnya dari 4 madzhab tersebut.

والعامى الذي لم يكن له نظر واستدلال ولم يقرأ كتابا في فروع المذهب إذا قال: أنا شافعي، لم يعتبر هذا كذلك بمجرد القول، وقيل: إذا التزم العامي مذهبا معينا يلزمه الإستمرار عليه لأنه إعتقد أن المذهب الذي انتسب إليه هو الحق، فعليه الوفاء بموجب اعتقاده

"al 'Aami adalah orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pelacakan/pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitab dalam furu' madzhab. Jika ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab al-Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah, demikian juga sekedar ucapan saja.

Menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa ketika seorang 'aami itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetap pada madzhab pilihannya, karena dia meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekwensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.

Catatan

Pengakuan al 'Aami bahwa dirinya adalah Syafi’i, Hanafi, Maliki atau Hanbaliy adalah tidak mu' tabar (tidak dianggap benar).

Seseorang baru bisa disebut Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbaliy apabila dia sudah mampu untuk nadlor dan istidlal.

Yaitu mampu untuk melakukan analisa dan pencarian sumber dalil, baik al Qur'an maupun Hadits.

Seorang 'Aami jika meyakini kebenaran sebuah madzhab tertentu maka dia wajib mengamalkan madzhab tersebut, sesuai dengan keyakinannya.

وللمقلد تقليد غير إمامه في حادثة، فله أن يقلد إماما في صلاة الظهر مثلا ويقلد إماما آخر في صلاة العصر. والتقليد بعد العمل جائز، فلو صلى شافعي ظن صحة صلاته على مذهبه ثم تبين بطلانها في مذهبه وصحتها على مذهب غيره فله تقليده ويكتفي بتلك الصلاة.

"Bagi seseorang yang taqlid (مقلّد) boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat dhuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat Ashar. Jadi taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal/ibadah adalah boleh. Untuk memahami hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah: “Apabila seorang yang bermadzhab Syafii melakukan shalat dan ia menyangka (ظن) atas keabsahan shalatnya menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya, dan sah bila menurut pendapat yang lain maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya".

Catatan

Berpindah dari satu madzhab pada madzhab yang lain adalah boleh, selama tidak mengakibatkan menentang ijma'.

Maksudnya, itu selama tidak mengakibatkan melakukan suatu perbuatan yang telah disepakati oleh para ulama mujtahid ketidak bolehannya.

Mencari-cari rukhshah (keringanan) yang ada dalam beberapa madzhab hukumnya boleh, tetapi tidak secara mutlak.

Seseorang yang melakukannya harus memperhatikan pendapat yang dianggap mu'tabar oleh para ulama mujtahid dalam masalah itu, agar tidak jatuh pada suatu permasalahan yang tersusun dari dua Ijtihad yang tidak diperbolehkan oleh satu dari dua mujtahid tersebut.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talfiq, sebagian melarangnya dan sebagian yang lain membolehkannya.

Namun jika talfiq mengakibatkan seseorang melakukan sesuatu yang dianggap tidak sah oleh semua madzhab maka itu tidak diperbolehkan. 

Posting Komentar untuk "Kewajiban Taqlid Kepada Ulama Mujtahid"