TAFSIR AYAT AQIDAH
أَفِی ٱللَّهِ شَكࣱّ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَ تِ وَٱلۡأَرۡضِۖ
[Surat Ibrahim 10]
*Penjelasan*:
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada keraguan tentang adanya Allah. Istifham dalam ayat di atas adalah Istifham inkariy (pertanyaan untuk mengingkari), bukan pertanyaan hakiki (pertanyaan untuk mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui). Sehingga makna ayat di atas adalah
"*Tidak ada keraguan tentang adanya Allah*".
Ayat ini adalah salah satu dalil dari sekian banyak dalil dalam Al Qur'an tentang sifat wujud Allah. Sedangkan dalil aqli (bukti rasional) tentang adanya Allah adalah adanya alam semesta ini.
Akal mengatakan: Ada bangunan pasti ada yang membangun, Ada tulisan pasti ada yang menulis. Ada pukulan pasti ada yang memukul, Ada perubahan pasti ada yang merubah, Ada langit dengan segala isinya, bumi dengan segala isinya pasti ada pencipta yang mengadakannya dari tidak ada menjadi ada. Dan pencipta Alam semesta ini adalah Allah ta'ala.
Dengan akal, manusia bisa mengetahui bahwa alam semesta ini ada penciptanya. *Tetapi dengan akalnya, mereka tidak bisa mengetahui nama sang Pencipta dan hal-hal yang bisa menyelamatkan mereka di akhirat.* Karena itu, Allah mengutus para nabi untuk memberitahukan kepada umat manusia bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, dan memberitahu mereka tentang hal-hal yang akan bisa menyelamatkan mereka di akhirat.
*Perhatian:*
Ragu terhadap adanya Allah adalah kufur. Demikian juga, ragu terhadap keesaan Allah, ragu terhadap kemaha-kuasaan Allah serta ragu terhadap sifat-sifat wajib bagi Allah lainya. Jika muncul khothir (was-was) dalam hati manusia tentang ada atau tidaknya Allah, maka dia harus segera membuangnya agar tidak menjadi keraguan, dengan membaca:
آمَنْتُ بِاللّٰهِ وَرَسُلِهِ
"Aku beriman kepada Allâh dan RasulNya"
Khothir adalah sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam hati manusia, tanpa dikehendaki.
TAFSIR AYAT AQIDAH 15
وُجُوهࣱ یَوۡمَىِٕذࣲ نَّاضِرَةٌ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةࣱ
*Penjelasan*: Ayat ini menjelaskan bahwa wajah penduduk surga berseri-seri karena sangat gembira pada saat mereka melihat Dzat Allah.
Ayat ini adalah dalil bagi Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa:
1. *Allah dapat dilihat di akhirat*.
Penduduk surga (orang-orang mukmin) melihat Allah ketika mereka berada di dalam surga, sedangkan Allah (Dzat yang mereka lihat) *ada tanpa arah dan tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, di bawah, di depan, di belakang, di kanan dan di kiri.*
Al Imam Abu Hanifah Radliyallahu anhu berkata:
والله تعالى يُرى في الآخرة يراه المؤمنون وهم في الجنة بأعين رؤوسهم بلا تشبيه ولا كيفية ولا كمية ولا يكون بينه وبين خلقه مسافة.
Maknanya:
"Dan Allah ta'ala dilihat di akhirat, orang-orang mukmin melihat-Nya dan mereka berada di dalam surga dengan mata kepala mereka dengan tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), tanpa kaifiyah (mensifati Allah dengan sifat makhluk) dan tanpa kammiyah (mensifati Allah dengan memiliki ukuran) serta tidak ada jarak di antara Allah dan makhluk-Nya ".
2. *Melihat Dzat Allah (rukyatullah) adalah nikmat terbesar bagi penduduk surga.*
Sering dan jarangnya penduduk surga dalam melihat Allah itu berbeda-beda, semakin tinggi derajat seseorang menurut Allah maka semakin sering dia melihat Allah. Sedangkan, *Orang kafir tidak dapat melihat Allah*, Allah ta'ala berfirman:
إنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
"Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari itu (di akhirat) benar-benar ditutup dari melihat tuhan mereka".
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ
"Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini (maksudnya melihat dengan jelas). Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya" (HR al Bukhori)
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ tidak menyamakan Allah dengan bulan, tetapi Rasulullah menyamakan melihat Allah dengan melihat bulan dalam hal sama-sama *tidak ada keraguan* tentang yang dilihatnya. Sebagaimana orang yang melihat bulan di malam purnama tidak ragu dengan yang dilihatnya bahwa itu adalah bulan, demikian juga penduduk surga ketika melihat Allah, mereka tidak ragu bahwa yang dilihatnya adalah Allah.
Hadits ini juga menguatkan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ketika penduduk surga melihat Allah Ta'ala yang hanya di dalam surga, *Allah yang dilihatnya ada tanpa tempat*. Karena seandainya Allah berada pada suatu tempat tertentu pasti terjadi desak-desakan ketika melihatnya.
*Perhatian:*
Penafsiran kelompok mu'tazilah terhadap إلى ربها ناظرة dengan 'menunggu nikmat tuhannya' adalah tidak benar, dengan dua argumentasi:
- Dalam bahasa Arab kata نظر إلى hanya memiliki makna melihat dengan mata, tidak bisa dimaknai dengan menunggu.
- Surga adalah tempat kenikmatan, di sana tidak ada sedih, susah, sakit dan bosan. Sementara perbuatan menunggu adalah perbuatan yang membosankan, melelahkan, bukan merupakan kenikmatan, sehingga tidak mungkin penduduk surga menunggu nikmat di dalam surga.
Alasan mu'tazilah dalam menakwilkan ayat di atas dengan 'menunggu nikmat' adalah karena dalam bayangan mereka sesuatu yang bisa dilihat itu harus berupa benda, sedangkan Allah itu bukan benda.
Ini hanyalah khayalan yang tidak benar, karena tidak disyaratkan sesuatu yang bisa dilihat itu harus berupa benda, tetapi syarat sesuatu yang bisa dilihat adalah ia ada.
Para ulama berkata:
فالبارئ موجود فيصح أن يرى
"Allah itu ada maka sah (secara akal) untuk bisa dilihat".
Posting Komentar untuk "Tafsir Ayat Aqidah Surat Ibrahim 10 dan Al Qiyamah 22-23"