Hanya Islam Agama Yang Hak
Hanya Islam Agama Yang Hak - Menyikapi Pluralisme Beragama Faham Liberal
Agama adalah seperangkat aturan yang apabila diikuti seutuhnya akan memberikan jaminan keselamatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Agama yang benar pada prinsipnya adalah wadl’i Ilahiyy, artinya aturan-aturan yang telah dibuat oleh Allah, karena sesungguhnya hanya Allah saja yang berhak disembah, dan Dialah pemilik kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian hanya Allah pula yang benar-benar mengetahui segala perkara yang membawa kemaslahatan kehidupan di dunia, dan hanya Dia yang menetapkan perkara-perkara yang dapat menyelamatkan seorang hamba di akhirat kelak. Karena itu, di antara hikmah diutusnya para nabi dan rasul adalah untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada para hamba-Nya tentang perkara-perkara yang dapat menyelamatkan para hamba itu sendiri.
Seorang muslim meyakini sepenuhnya bahwa satu-satunya agama yang benar adalah hanya agama Islam. Karena itu ia memilih untuk memeluk agama tersebut, dan tidak memeluk agama lainnya. Allah mengutus para nabi dan para rasul untuk membawa Islam dan menyebarkannya, serta memerangi, menghapuskan serta memberantas kekufuran dan syirik. Salah satu gelar Rasulullah adalah al-Mahi. Ketika beliau ditanya maknanya beliau menjawab:
وَأنَا الْمَاحِيْ الّذِيْ يَمْحُو اللهُ بِيَ الْكُفْرَ (روَاه البُخَاري ومُسْلم وَالترمذيّ وغيرُه)
”Aku adalah al-Mahi, yang dengan mengutusku Allah menghapuskan kekufuran”. (HR. al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi)
Sebagian orang ada yang beriman, dan mereka adalah orang-orang yang berbahagia. Sebagian lainnya tidak beriman, dan mereka adalah orang-orang yang celaka dan akan masuk neraka serta kekal di dalamnya tanpa penghabisan.
Allah menurunkan agama Islam untuk diikuti. Seandainya manusia bebas untuk berbuat kufur dan syirik, bebas untuk berkeyakinan apapun sesuai apa yang ia kehendaki, maka Allah tidak akan mengutus para nabi dan para rasul, serta tidak akan menurunkan kitab-kitab-Nya.
Adapun maksud dari firman Allah:
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ (الكهف: 29)
Yang secara zhahir bermakna “Barang siapa berkehandak maka berimanlah ia, dan barang siapa berkehandak maka kafirlah ia”, QS. Al-Kahfi: 29, bukan untuk tujuan memberi kebebasan untuk memilih (at-takhyir) antara kufur dan iman. Tapi tujuan dari ayat ini adalah untuk ancaman (at-tahdid). Karena itu lanjutan dari ayat tersebut adalah bermakna “Dan Kami menyediakan neraka bagi orang-orang kafir”.
Demikian pula yang maksud dengan firman Allah:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (البقرة: 256)
Yang secara zhahir bermakna bahwa dalam beragama tidak ada paksaan. Ayat ini bukan dalam pengertian larangan memeksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebaliknya, seorang yang kafir sedapat mungkin kita ajak ia untuk masuk dalam agama Islam, karena hanya dengan demikian ia menjadi selamat di akhirat kelak. Adapun ayat di atas menurut salah satu penafsirannya sudah dihapus (mansukhah) oleh ayat as-saif. Yaitu ayat yang berisi perintah untuk memerangi orang-orang kafir. Sementara menurut penafsiran lainnya bahwa ayat di atas hanya berlaku bagi kafir dzimmyy saja.
Bahwa manusia terbagi kepada dua golongan, sebagian ada yang mukmin dan sebagian lainnya ada yang kafir, adalah dengan kehendak Allah. Artinya, bahwa Allah telah berkehandak untuk memenuhi neraka dengan mereka yang kafir, baik dari kalangan jin maupun manusia. Namun demikian Allah tidak memerintahkan kepada kekufuran, dan Allah tidak meridlai kekufuran tersebut. Karena itu dalam agama Allah tidak tidak ada istilah pluralisme beragama sebagai suatu ajaran dan ajakan. Demikian pula tidak ada istilah sinkretisme; atau faham yang menggabungkan “kebenaran” yang terdapat dalam beberapa agama atau semua agama yang lalu menurutnya diformulasikan. Seorang yang berkeyakinan bahwa ada agama yang hak selain agama Islam maka orang ini bukan seorang muslim, dan dia tidak mengetahui secara benar akan hakekat Islam.
Allah berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (الكافرون: 6)
Makna zhahir ayat ini “Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”, QS. Al-Kafirun: 6. Maksud ayat ini sama sekali bukan untuk pembenaran atau pengakuan terhadap keabsahan agama lain. Tapi untuk menegaskan bahwa Islam bertentangan dengan syirik dan tidak mungkin dapat digabungkan atau dicampuradukan antara keduanya. Artinya, semua agama selain Islam adalah agama batil yang harus ditinggalkan.
Kemudian firman Allah:
وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (سبأ: 24)
Makna zhahir ayat ini “…dan sesungguhnya kami atau kalian –wahai orang-orang musyrik- pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”, QS. Saba’: 24. Ayat ini bukan dalam pengertian untuk meragukan apakah Islam sebagai agama yang benar atau tidak, tapi untuk menyampaikan terhadap orang-orang musyrik bahwa antara kita dan mereka pasti salah satunya ada yang benar dan satu lainnya pasti sesat. Dan tentu hanya orang-orang yang menyembah Allah saja yang berada dalam kebenaran, sementara orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah berada dalam kesesatan. Bahkan menurut Abu ‘Ubaidah kata “aw” (أو) dalam ayat di atas dalam pengertian “wa” (و) yang berarti “dan”. Gaya bahasa semacam ini dalam ilmu bahasa Arab disebut dengan al-laff wa an-nasyr. Dengan demikian yang dimaksud ayat tersebut adalah “kami berada dalam kebenaran dan kalian -wahai orang-orang musyrik- dalam kesesatan yang nyata”. Demikianlah yang telah dijelaskan oleh pakar tafsir, Imam Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya, al-Bahr al-Muhith.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ (ءال عمران: 19)
“Sesungguhnya agama yang diridlai oleh Allah hanya agama Islam”, QS. Ali ‘Imran: 19.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (ءال عمرا: 85)
“Dan barang siapa mencari selain agama Islam maka tidak akan diterima darinya dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”. QS. Ali ‘Imran: 85. Dengan demikian maka Islam adalah satu-satunya agama yang hak dan yang diridlai oleh Allah bagi para hamba-Nya. Allah memerintahkan kita untuk memeluk agama Islam ini. Maka satu-satunya agama yang disebut dengan agama samawi hanya satu, yaitu agama Islam. Tidak ada agama samawi selain agama Islam. Sementara makna Islam adalah tunduk dan turut terhadap apa yang dibawa oleh nabi dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Islam Agama Seluruh Nabi
Agama Islam adalah agama seluruh nabi. Dari mulai nabi dan rasul pertama, yaitu nabi Adam, yang sebagai ayah -moyang- bagi seluruh manusia, hingga nabi dan rasul terakhir yang sebagai pimpinan mereka dan makhluk Allah paling mulia, yaitu nabi Muhammad. Demikian pula seluruh pengikut para nabi adalah orang-orang yang beragama Islam. Orang yang beriman dan mengikuti nabi Musa pada masanya disebut dengan mulim Musawi. Orang yang beriman dan mengikuti nabi ‘Isa pada masanya disebut dengan muslim ‘Isawi. Demikian pula orang muslim yang beriman dan mengikuti nabi Muhammad dapat dikatakan sebagai muslim Muhammadi.
Nabi Ibrahim seorang muslim dan datang dengan membawa agama Islam. Allah berfirman:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (ءال عمران: 67)
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang jauh dari syirik dan kufur dan seorang yang muslim. Dan sekali-kali dia bukanlah seorang yang musyrik”. (QS. Ali ‘Imran: 67)
Nabi Sulaiman seorang muslim dan datang dengan membawa agama Islam. Allah berfirman:
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (30) أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (النمل: 31)
“Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya -isi-nya: Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang, bahwa jangalah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang memeluk Islam”. (QS. An-Naml: 30-31)
Nabi Yusuf seorang muslim dan datang dengan membawa agama Islam. Tentang doa nabi Yusuf Allah berfirman:
تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (يوسف: 101)
“Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkan aku bersama orang-orang yang saleh”. (QS. Yusuf: 101)
Nabi ‘Isa seorang muslim, juga orang-orang yang beriman kepadanya dan menjadi pengikut setianya, yaitu kaum Hawwariyyun, mereka semua adalah orang-orang Islam. Allah berfirman:
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (ءال عمران: 52)
“Maka tatkala ‘Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Isra’il) berkatalah ia: Siapakah yang akan menjadi pembela-pembelaku untuk -menegakan agama- Allah. Para Hawwariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab: Kamilah pembela-pembela -agama- Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim”. (QS. Ali ‘Imran: 52)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menunjukan bahwa agama semua nabi dan rasul adalah agama Islam dan bahwa mereka adalah orang-orang Islam. Dengan demikian semua nabi datang dengan membawa agama Islam, tidak ada seorangpun dari mereka yang mambawa selain agama Islam.
Adapun perbedaan di antara para nabi adalah terletak dalam syari’at-syari’at yang mereka bawa saja. Yaitu dalam aturan-aturan hukum praktis, seperti dalam tata cara ibadah, bersuci, hubungan antar manusia dan lainnya. Tentang hal ini Allah berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (48)
“Dan untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS. Al-Ma’idah: 48)
dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa masing-masing umat mengikuti syari’atnya tersendiri. Allah tidak menyatakan bahwa masing-masing memiliki agama tersendiri. Lebih tegas lagi Rasulullah dalam hal ini bersabda:
الأنْبِيَاءُ إخْوَةٌ لِعَلاّتٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى (روَاه البُخَاري)
“Seluruh nabi bagaikan saudara seayah, agama mereka satu yaitu agama Islam, dan syari’at-syari’at mereka yang berbeda-beda”. (HR. al-Bukhari)
Dakwah Islam
Seluruh nabi dan rasul menyeru umatnya masing-masing hanya kepada menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dalm hal ini Allah berfirman:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ (الشورى: 13)
“Allah telah mensyari’atkan bagi bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa; yaitu tegakanlah agama Islam”. (QS. Asy-Syura: 13)
Dalam ayat ini terdapat pernyataan yang sangat jelas ialah tidak boleh dikatakan bahwa nabi Ibrahim adalah bapak atau peletak pertama bagi konsep tauhid (monoteisme). Karena semua nabi, dari mulai nabi Adam, nabi Nuh, nabi Idris, hingga nabi Muhammad semuanya adalah para ahli tauhid dan membawa misi tauhid tersebut kepada umatnya. Tentang hal ini Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ (الأنبياء: 25)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu –wahai Muhammad-, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasannya tiada tuhan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah oleh kalian akan aku”. (QS. Al-Anbiya: 25)
Seluruh nabi melarang umatnya berbuat syirik atau menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ (النساء: 48)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni bila Dia disekutukan, dan Dia mengampuni selain dosa menyekutukan itu bagi orang yang Dia kehendaki”. (QS. An-Nisa: 48)
Di masa dahulu, pada masa nabi Adam, nabi Syits dan nabi Idris, seluruh manusia memeluk agama Islam, tidak ada seorangpun yang kafir atau musyrik kepada Allah. Kekufuran dan perbuatan syirik baru terjadi setelah masa nabi Idris. Seribu tahun setelah nabi Idris Allah mengutus nabi Nuh untuk memperbaharui dakwah kepada Islam. Maka nabi Nuh adalah nabi pertama yang diutus oleh Allah kepada orang-orang kafir. Allah telah mengingatkan seluruh para nabi setelah nabi Nuh dari perbuatan syirik kepada-Nya. Setelah nabi Nuh kemudian Allah mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul lainnya hingga nabi terakhir yaitu nabi Muhammad. Dan nabi Muhammad ini juga datang dengan memperbaharui dakwah kepada Islam, setelah sebelumnya terputus di kalangan manusia di muka bumi ini. Untuk ini beliau dikuatkan dengan berbagai mukjizat sebagai bukti akan kebenaran kenabiannya.
Ketika ditanya tentang Islam, Rasulullah menjawab:
الإسْلاَمُ أنْ تَشْهَدَ أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إنِ اسْتَطَعْتَ إلَيْهِ سَبِيْلاً (رواه مسلم)
“Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa ramadlan, dan melaksanakan haji ke baitullah jika engkau mampu”. (HR. Muslim)
Dan ketika Rasulullah tentang iman, Rasulullah menjawab:
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرّهِ (روَاهُ مُسْلِمٌ)
“Bahwa engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman dengan ketentuan Allah; baik dan buruknya”. (HR. Muslim)
Konsep Iman Dalam Islam
Ketika al-Qur’an memerintahkan manusia untuk beriman kepada Allah, maka al-Qur’an pula yang menjelaskan konsep atau cara beriman kepada Allah tersebut. Konsep inilah yang membedakan antara cara beriman seorang yang benar-benar beriman kepada-Nya dengan seorang yang mengaku-aku beriman kepada-Nya namun sesungguhnya dia bukan seorang mukmin. Karena hakekat beriman kepada Allah tidak hanya sebatas percaya keberadaan-Nya saja, lalu selesai. Tetapi mempercayai adanya Allah sesuai dengan konsep yangtelah dijelaskan oleh al-Qur’an. Masalah tauhid dan tanzih adalah di antara dua prinsip terpenting dalam konsep beriman kepada Allah yang telah ditekankan oleh al-Qur’an.
Tauhid. Pengertian tauhid ialah berkeyakinan bahwa Allah maha esa, bahwa hanya Dia yang berhak disembah, dan bahwa hanya Dia yang menerima ibadah kita. Prinsip ini terkandung dalam kalimat La Ilaha Illallah, artinya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Bila seseorang beribadah kepada selain Allah maka ia telah terjatuh dalam syirik dan telah keuar dari prinsip tauhid ini. Beribadah artinya mempersembahkan puncak ketundukan dan pengagungan kepada Allah. Perbuatan-perbuatan yang memiliki makna dan mengagungkan dan mentaati Allah hingga ke puncak pengagungan dan ketundukan, -yang melampaui pengagungan dan ketaatan kepada sesama manusia-, inilah yang maksud dengan pengertian ibadah.
Tanzih. Artinya mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Prinsip tanzih adalah berkeyakinan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (الشورى: 11)
“Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun dari makhluk-Nya”. (QS. Asy-Syura: 11)
Dengan dasar ini maka kaum muslimin berkeyakinan bahwa Allah bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Karena itu mereka berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. QS. Asy-Syura: 11 di atas adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ayat ini sangat luas maknanya, ia mengandung pemahaman at-tanzih al-kulliyy, artinya kesucian yang total dari menyerupai makhluk. Kandungan ayat ini memberikan pemahaman bahwa Allah bukan sebagai benda, dan tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda, seperti bergerak, diam, turun, naik, berubah, pindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, bersemayam, memiliki arah dan lain sebagainya. Imam Abu Hanifah berkata: “Suatu hal yang mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya”.
Ulama Ahlussunnah berkeyakinan bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian, yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi kepada dua macam:
Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat diraba dengan tangan, seperti cahaya, kegelapan, udara, ruh, dan lainnya.
Benda Katsif, yaitu benda yang dapat diraba dengan tangan, seperti manusia, tanah, dan benda-benda padat lainnya.
Sedangkan sifat benda contohnya seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada pada tempat dan arah, duduk, turun, naik, dan lain sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Dia bukan benda lathif juga bukan benda katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-ifat benda tersebut. Ayat ini lebih dari cukup untuk dijadikan dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena seandainya Allah mempunyai arah dan tempat maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Dan bila demikian maka berarti Dia memiliki dimensi (panjang, lebar, dan kedalaman). Dan segala sesuatu yang memiliki dimensi maka dia itu pasti sebagai makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
Dua prinsip keimanan ini, tauhid dan tanzih, adalah di dua perkara yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dengan demikian beriman kepada Allah baru dianggap benar dan sah bila dibarengi dengan dua prinsip keimanan tersebut. Tanpa mempercayai dua prinsip keimanan terhadap Allah ini maka keimanan tersebut adalah keimanan yang cacat, dan pemeluknya tidak dikatakan seorang mukmin.
Makna Kufur Dalam al-Qur’an
Iman adalah kebalikan dari kufur. Secara umum jika kata kufur dipakai dalam al-Qur’an maka yang dimaksud adalah keluar dari Islam. Namun kata kufur terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan dosa besar. Inilah yang dimaksud dengan kufr duna kufr, artinya kufur yang berada di bawah kekufuran. Makna kufur yang kedua ini bukan dalam pengertian kufur yang mengelurkan seseorang dari Islam. Contohnya seperti dalam firman Allah QS. al-Ma’idah, pada ayat 44, 45, dan 47. Kata kufur terkadang juga dipakai untuk mengungkapkan kufur nikmat (juhud an-ni’mah), yaitu lawan dari syukur. Perbedaan makna yang dimaksud sangat tergantung kapada konteks ayat dan dalil-dali lain yang terkait.
Bentuk kekufuran dapat terjadi dengan mengandung syirik atau penyekutuan terhadap Allah. Namun dapat pula terjadi dengan tanpa mengandung syirik. Seorang yang kafir ada kalanya karena dia terlahir dari keluarga yang kafir lalu ia tumbuh dan baligh dalam keyakinan kufur tersebut, orang ini dinamakan kafir ashliyy. Dan ada kalanya ia semula seorang muslim lalu kemudian keluar dari Islam, orang demikian ini dinamakan dengan kafir murtadd. Kekufuran kadang dilakukan secara terang-terangan oleh pelakuanya dan pelaku tersebut mengaku sebagai non muslim (kafir mu’lin li kufrih). Dan ada kalanya kekufuran ini disembunyikan di dalam hati sementara lidahnya mengaku sebagai seorang muslim, orang demikian ini dinamakan kafir munafiq.
Seluruh kekufuran pada dasarnya berasal dari salah satu dari tiga macam pintu kufur. Yaitu;
Ta’thil. Yaitu menafikan adanya Allah, atau menafikan salah satu dari sifat-sifat-Nya yang telah disepakati oleh para ulama.
Tasybih. Yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, seperti berkeyakinan bahwa Allah sebagai cahaya, meyakini Allah memiliki anggota badan, seperti muka, tangan, kaki dan lainnya. Termasuk dalam hal ini mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Takdzib. Yaitu mendustakan Allah dan rasul-Nya, seperti mendustakan salah satu ayat al-Qur’an atau ajaran yang telah diketahui secara pasti keberadaannya, baik oleh orang-orang Islam yang alim maupun oleh orang-orang Islam yang awam. Perkara yang telah diketahui secara pasti semacam ini disebut dengan ma’lum min ad-din bi adl-dlarurah. Seperti orang yang berkeyakinan bahwa kenikmatan di surga tidak dapat dirasakan secara indrawi, atau berkeyakinan bahwa siksa neraka tidak terjadi secara fisik.
Adapun pembagian dari segi macamnya, kekufuran dapat terjadi dengan salah satu dari tiga perkara, sebagaimana disepakati oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dari empat madzhab, di antaranya; dari ulama madzhab Syafi’i; Imam an-Nawawi dalam kitab Raudlah at-Thalibin dan Imam Taqiyyiddin al-Hushni dalam kitab Kifayat al-Akhyar, dari ulama madzhab Hanafi; Imam Ibn Abidin dalam kitab Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, dari ulama madzhab Hanbali; Imam al-Buhuti, dan dari madzhab Maliki; Imam Muhammad Illaisy, serta berbagai ulama lainnya. Tiga macam kufur tersebut ialah:
1. Kufur I’tiqadi (kufur keyakinan). Kufur ini letaknya di dalam hati. Seperti menafikan sifat-sifat wajib bagi Allah, (seperti sifat Qudrah, Iradah, sama’, Bashar, dan lainnya), atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar, atau bahwa Dia adalah ruh. Tentang hal ini Imam ‘Abdul Ghani an-Nabulsi berkata:
مَن اعْتَقَدَ أنّ اللهَ مَلَأَ السّمَوَاتِ وَالأرْضَ أوْ أنهُ جِسْمٌ قَاعِدٌ فَوْقَ العَرْشِ فَهُوَ كَافِرٌ وإنْ زَعَمَ أنهُ مُسْلِمٌ
“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang memenuhi langit dan bumi atau bahwa Dia adalah benda yang duduk bertempat di atas arsy maka ia adalah seorang yang kafir, sekalipun ia mengaku bahwa dirinya seorang muslim”.
Contoh lain dari kufur i’tiqadi; Seorang yang ragu-ragu tentang ketuhanan Allah, ragu-ragu tentang Rasul-Nya, ragu akan kebenaran al-Qur’an, atau hari akhir, atau adanya surga dan neraka, atau adanya pahala dan siksa, dan perkara-perkara yang telah disepakati akan kebenarannya. Menyakini bahwa Allah adalah benda katsif (benda yang dapat disentuh dengan tangan, seperti manusia, binatang, bulan, bintang dan lainnya), atau meyakini bahwa Allah adalah benda lathif (benda yang tidak dapat disentuh dengan tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara, dan lainnya). Meyakini halal akan sesuatu yang telah disepakati (ijma’) ke-haramannya, seperti menghalalkan zina, membunuh, mencuri, dan lainnya. Atau meyakini haram akan sesuatu yang telah disepakati (ijma’) akan ke-halalannya, seperti mengharamkan menikah, jual beli, dan lainnya. Atau mengingkari kewajiban yang telah disepakati (ijma’), seperti mengingkari kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa ramadlan, haji, dan lainnya. Atau jika seseorang berniat untuk menjadi kafir di masa mendatang, maka orang ini menjadi kafir saat itu juga (saat ia meletakan niat kufur tersebut). Atau mendustakan para nabi, atau salah seorang dari mereka yang telah disepakati (ijma’) akan kenabiannya. Atau membolehkan adanya nabi setelah nabi Muhammad. Dan lain sebagainya.
Dalil adanya kufur i’tiqadi adalah firman Allah:
إنّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الّذِيْنَ ءَامَنُوْا باللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا (الحجرات: 15)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak ragu”. (QS. Al-Hujurat: 15)
2. Kufur Fi’li (kufur perbuatan), artinya kufur yang terjadi karena perbuatan. Seperti melemparkan al-Qur’an, atau lembaran-lembaran bertuliskan ayat al-Qur’an di tempat yang menjijikan, seperti wcl/kamar mandi dan lainnya. Imam Ibn ‘Abidin berkata: “Jika seseorang melakukan demikian maka ia telah menjadi kafir sekalipun ia tidak bertujuan untuk menghinakan, karena perbuatannya tersebut sudah menunjukan penghinaan”. Demikian pula melemparkan lembaran-lembaran yang berisikan ilmu-ilmu syari’at di tempat menjijikan tersebut, atau lembaran yang berisikan nama-nama Allah, apa bila ia mengetahui bahwa lembaran itu memuat hal-hal tersebut. Demikian pula seorang yang menggantungkan lambang-lambang kufur pada dirinya yang bukan karena darurat (seperti salib dan lainnya), jika ia bertujuan dari pada itu untuk mencari berkah, atau untuk mengagungkannya, atau karena manganggap perkara tersebut sebagai sesuatu yang halal, maka orang ini telah menjadi kafir. Termasuk seorang yang bersujud/menyebah berhala, atau sesembahan orang kafir lainnya dengan tujuan beribadah kepadanya.
Dalil dari adanya kufur Fi’li adalah firman Allah:
لاَ تَسْجُدُوْا لِلشّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ (فصلت: 37)
“Janganlah kalian sujud kepada matahari dan jangan pula kalian sujud kepada bulan”. (QS. Fushishlat: 37)
3. Kufur Qauli (kufur perkatan). Artinya kufur yang terjadi karena perkataan. Contoh kufur ini sangat banyak, dan macam kufur ini yang sering terjadi pada masyarakat. Seperti orang yan mencaci maki Allah, mencaci maki para nabi Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, atau segala sesuatu yang yang diagungkan dalam Islam. Imam al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki dalam kitab asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa orang yang mencaci maki Allah telah mnejadi kafir”.
Contoh; Seorang muslim berkata kepada sesama muslim lainnya: “Wahai kafir…!”, tanpa ada takwil dari yang mengucapkannya. Maka orang yang berkata demikian telah menjadi kafir, karena ia telah menamakan Islam sebagai kekufuran.
Contoh; Seseorang berkata: “Saya sangat rajin shalat, namun rizki saya sangat sulit. Sementara tetangga saya tidak pernah shalat,naun rizkinya sangat luas. Ini berarti Allah telah menzhalimi saya…!”. Maka orang ini telah menjadi kafir.
Contoh; Seorang yang sedang sakit parah berkata: “Jika Allah menyiksa saya karena saya meninggalkan shalat dengan kondisi sakit parah semacam ini, maka berarti Allah telahmenzhalimi saya…!. Maka orang ini telah mnejadi kafir.
Contoh; Seorang yang sedang sakit parah, karena ia tidak sabar dalam sakitnya, ia berkata: “Ya Allah matikanlah saya segera, terserah Engkau mau Engkau matikan saya dalam keadaan Islam atau dalam keadaan kafir…”. Maka orang semacam ini telah menjadi kafir.
Contoh; Seseorang berkata: “Untuk apa mengeluarkan zakat, itu hanya membodohi orang-orang malas saja, mereka akan bertambah malas jika mereka di beri harta zakat…!”. Orang yang berkata semacam ini telah menjadi kafir.
Dalil dari kufur Qauli adalah firman Allah:
يَحْلِفُوْنَ بِاللهِ مَا قَالُوْا وَلَقَدْ قَالُوْا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوْا بَعْدَ إسْلاَمِهِمْ (التوبة: 74)
“Mereka (orang-orang kafir) bersumpah dengan nama Allah atas apa yang telah mereka ucapkan, padahal mereka telah benar-benar berkata-kata kufur, dan mereka telah menjadi kafir setelah mereka Islam”. (QS. At-Taubah: 74)
Pengecualian Dari Dari Kufur Qauli
Ada beberapa pengecualian dari kufur Qauli, sebagai berikut:
Dalam keadaan sabqullisan. Artinya “salah ucapan”, ia berkehendak mengucapkan suatu kalimat yang bukan kufur, namun yang keluar adalah kalimat kaufur. Ia sama sekali tidak bertujuan untuk mengucapkan kalimat kufur ini.
Dalam keadaan hilang akal. Karena orang semacam ini tidak mukallaf (tidak memiliki beban syari’at), seperti orang yang gila.
Dalam keadaan dipaksa dengan pembunuhan. Artinya bila seorang muslim dipaksa dengan ancaman bunuh untuk berkata-kata kufur, maka bila orang ini berkata kufur tersebut ia tidak menjadi kafir. Dengan ketentuan hatinya harus mengingkari apa yang ia ucapkannya.
Dalam keadaan menceritakan kata-kata kufur dari orang lain. Artinya orang yang menceritakan kekufuran orang lain ini tidak menjadi kafir, dengan ketentuan ia tidak meridlai atau menyetujui kekufuran tersebut. Juga dengan ketentuan ia harus mengucapkan “adat al-hikayah”. Arti adat hikayat adalah kalimat yang membebaskan drinya dari kekufuran tersebut, contoh; “Si Fulan berkata:….”, atau “Orang Kristen berkata:….”.
Kaedah:
Setiap keyakinan, atau perbuatan, atau perkataan yang menunjukan kepada pengingkaran, mendustakan, penghinaan, cacian, atau merendahkan terhadap Allah, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, para malaikat-Nya, lambang-lambang-Nya, ajaran-ajaran agama-Nya, hukum-hukum-Nya, janji-janji-Nya dan ancaman-ancaman-nya, maka hal itu adalah merupakan kekufuran.
Pengingkaran atau cacian di sini dapat mengeluarkan seeorang dari Islam, sama saja perkara tersebut terjadi pada orang itu dalam keadaan normal, atau dalam keadaan marah, maupun dalam keadaan bercanda. Juga sama saja hukumnya, baik orang tersebut mengetahui hukumnya atau tidak.
Seseorang yang jatuh dalam salah satu dari tiga macam kufur di atas maka ia menjadi kafir, sama halnya ia berniat keluar dari Islam atau tidak berniat keluar dari Islam. Dan sama halnya hati orang tersebut tenang/menyetujui kekufuran yang terjadi tersebut atau tidak.
Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sekalipun dua macam lainnya tidak terjadi. Artinya jika terjadi kufur Qauli pada diri seseorang maka ia menjadi kafir, sekalipun ia tidak jatuh dalam kufur I’tiqadi dan kufur Fi’li.
Faedah:
Seorang yang jatuh dalam salah satu dari tiga macam kufur di atas wajib atasnya untuk kembali masuk Islam dengan segera, yaitu dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat. Tidak cukup baginya hanya dengan mengucapkan istighfar. Di haruskan pula baginya untuk melepaskan perkara kufur yang terjadi pada dirinya tersebut, juga ia wajib menyesali kejadian kufur tersebut, serta harus menetapkan niat kuat dalam hatinya bahwa ia tidak akan pernah kembali lagi kepada kekufuran tersebut.
Wa Allahu A’lam Bi as-Shawab.
___________________
قَال أهْل السّنة والْجَمَاعة:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ
Ahlussunnah Wal Jama’ah berkata: “Apapun yang terlintas dalam hatimu tentang Allah maka Allah tidak seperti demikian itu”
وَقَالُوْا:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا
لِتَسْلَمَ فِي الدّنيَا وَيَوْم القيَامَة
Mereka juga berkata: “Hendaklah bagimu dengan memperpanjang diam wahai orang yang berakal, supaya engkau selamat di dunia dan di hari kiamat”.