Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Suami Memandikan Jenazah Istri atau Sebaliknya

 Ngaji Soal Jawab Bab Jenazah 24


*24. Soal:*

Apa hukumnya suami memandikan jenâzah istrinya ?

*Jawab:*

Pada dasarnya memandikan jenazah itu mudah. Jadi tidak ada alasan bagi kita lari dari fardhu kifayah memandikan jenazah ini. 

Mengenai hukum suami memandikan jenâzah istrinya ada perbedaan pendapat ulamâ’ mujtahid tentang kebolehannya atau tidaknya, *menurut jumhur ulamâ’*; yaitu menurut al-Imâm asy-Syâfi’i dan lainnya hukumnya adalah boleh, sebagaimana telah disebutkan soal 23, namun al-Imâm Abû Hanîfah berpendapat tidak boleh laki-laki memandikan jenâzah istrinya, karena telah terputus talian pernikahan mereka dengan kematian itu.

Illah (hujjah) dari Imam Abu Hanifah, talian pernikahan putus karena kematian, ini semua ulama mujtahid juga sepakat. Buktinya memang faktanya perempuan boleh menikah setelah masa iddahnya setelah ditinggal mati suaminya. Kecuali istri-istri Nabi ﷺ, mereka diharamkan dinikahi laki-laki siapapun sepeninggal nabi ﷺ. Sehingga istri-istri Nabi ﷺ disebut Ummahatul Mukminin.

Sedangkan Jumhur ulamâ', mempunyai dasar kebolehan suami memandiakan jenazah istrinya. Dengan catatan istri yang meninggal tersebut masih berstatus istri ketika masih hidup. Tidak diceraikan atau mantan istri.

Jika suaminya sendirian saat memandikan jenazah istrinya maka hanya sebatas memandikan saja dan boleh memandikannya dengan membuka auratnya semuanya (bugil). Namun tidak boleh (Haram) mensetubuhinya.

Jika suaminya tidak sendirian saat memandikan jenazah istrinya, misalnya dengan anak-anaknya atau mahram si mayit saat memandikannya, maka aurat antara pusar dan lutut wajib tertutup (haram dibuka).

Ngaji Soal Jawab Bab Jenazah 25

*25.Soal:*

Apa hukumnya Istri memandikan jenâzah suaminya ?

*Jawab:*

Seorang Istri memandikan jenâzah suaminya, hukumnya boleh, bahkan al-Imâm an-Nawawi dalam kitâbnya al-Majmû', juz. 5, hal. 132 menukil dari al-Imâm Ibn al-Mundzir bahwa semua Ulamâ' Islâm Ijmâ' (bersepakat) akan bolehnya seorang perempuan memandikan jenâzah suaminya, dan disunnahkan untuk menggunakan lapisan tangan agar tidak batal wudhu’ yang memandikan tersebut.

Faidah:

Pada masalah yang ini maka semua ulama sepakat (ijma'). Jadi yang terdapat khilaf adalah suami memandikan istrinya, sebagaimana yang telah dijelaskan di soalan sebelumnya.

Dan disunnahkan memakai lapisan tangan agar tidak batal wudhu' istri yang memandikannya. Begitu juga dengan lainnya. Seandainya tidak pakai sarung tangan atau lapisan tangan juga tidak haram, tetap boleh (tidak haram). Hanya saja wudhu' yang orang (istri) yang masih hidup yang memandikannya batal. 

Ngaji Soal Jawab Bab Jenazah 26

*26. Soal:*

Bagaimana seandainya mayit itu adalah perempuan muslim, namun tidak ada di situ perempuan untuk memandikannya, atau sebaliknya ?

Yakni bagaimanakah apabila seorang perempuan meninggal di suatu tempat dan ditemukan mayitnya dan tidak yang mengurusnya kecuali laki laki yang ajnabi atau sebaliknya.

Jawab:

Seandainya tidak ada yang menghadiri pengurusan mayit seorang perempuan muslim kecuali laki-laki yang ajnabi (bukan mahram dan bukan yang halal baginya), dan laki-laki ini sulit menemukan perempuan yang memandikannya, maka wâjiblah ditayammumkan; yakni dengan menggunakan lapisan tangan (yakni tidak boleh menyentuhnya secara langsung), tidak dimandikan (juga tidak membuka pakainnya, tidak boleh dibugilkan) kemudian dilanjutkan dengan pengkafanan, dishalatkan dan kemudian dikuburkan. 

Demikian juga mayit laki-laki muslim, jika tidak ada yang menghadirinya kecuali perempuan-perempuan ajnabiyah, tidak ada mahramnya ataupun semisal istrinya di situ, maka tidak dimandikan, akan tetapi wâjib ditayammumkan, dan tangan pelaksana wajib memakai alas, kemudian dikafani, dishalatkan atasnya dan dikebumikan.

Jadi sholat jenazah tidak hanya untuk laki-laki saja. Perempuan juga menshalatkan mayit laki-laki ini yang fardhu kifayah.

Ngaji Soal Jawab Bab Jenazah 27

*27. Soal:*

Apakah hukum menelanjangi hingga bugil tubuh mayit saat memandikannya ?

Jawab:

Hukumnya haram menelanjangi hingga bugil tubuh mayit tanpa menutup auratnya sama sekali walaupun selembar kain yang menutupinya atau memandanginya. Hal ini termasuk tindakan melecehkan dan menjatuhkan marwah seorang mayit muslim yang wajib dijaga dan auratnya tetap berlaku meskipun sudah meninggal. Yakni tidak boleh seseorang yang memandikannya memegangi aurat tanpa adanya darurat pada bagian dubul dan dubur (aurat mugholadhoh) atau memandanginya (pada bagian antara pusar dan lututnya) meskipun ia satu jenis (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan). 

Namun apabila yang memandikannya adalah pasangan hidupnya (tali pernikahan) sendiri dan tidak ada orang lain yang ikut memandikannya itu boleh atau tidak haram tetapi afdholnya tetap ditutup aurat antara pusar dan lutut. Yaitu mayit suami yang memandikan istrinya atau sebaliknya maka boleh dibugilkan, namun tidak boleh disetubuhi.

Namun apabila orang lain atau meskipun mahramnya yang memandikannya maka aurat wajib tertutup (antara pusar dan lutut). Sedangkan anggota tubuh selain aurat boleh terbuka dan boleh dilihat. Namun afdholnya tertutup dan pemandi jenazah tidak memandangi tubuh si mayit saat memandikannya kecuali darurat.

Dalam kitab shahih al-Bukhari dari ‘Atha’, beliau berkata:

حَضَرْنَا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ جِنَازَةَ مَيْمُونَةَ بِسَرِفَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هَذِهِ زَوْجَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا رَفَعْتُمْ نَعْشَهَا فَلَا تُزَعْزِعُوهَا وَلَا تُزَلْزِلُوهَا وَارْفُقُوا.

“Kami bersama Ibn ‘Abbâs menghadiri Jenâzah Maimûnah di Sarifa, Ibn ‘Abbâs berkata: “Ini adalah Istri Nabi Muhammad ﷺ, maka jika kalian mengangkat kerandanya janganlah kalian menguncang-guncangnya (dengan keras), bersikaplah welas asih dalam mengusungnya”.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalâni dalam kitabnya Fath al-Bâriy mengatakan:

وَيُسْتَفَادُ مِنْهُ أَنَّ حُرْمَةَ الْمُؤْمِنِ بَعْدَ مَوْتِهِ باَقِيَةٌ كَمَا كَانَتْ فِي حَيَاتِهِ

“diambillah ifâdah (maklumat hukum) darinya (yakni dari perkataan ibnu abbas tadi) bahwa kehormatan orang berîmân setelah kematiannya tetap ada sebagaimana dahulunya di masa hidupnya”

Faidah:

Dikecualikan si mayyit anak (baik laki-laki atau perempuan) yang umurnya 2 tahun ke bawah. Maka tidak haram jika dimandikan dalam keadaan bugil. Hal ini, para fuqoha mengatakan bahwa anak yang umurnya 2 tahun ke bawah itu tidak berlaku aurat baginya.

Namun apabila sudah besar meskipun belum baligh maka berlaku aurat baginya dan wajib ditutup auratnya antara pusar dan lutut saat memandikannya jenazahnya. (Hal ini sesuai jawaban dari guru kami, As Asyaikh Salim 'Alwan al Husaini, yaitu

المميز تستر عورته

Anak kecil yang sudah mumayyiz, ditutupi auratnya.)

Menukil dari asy-Syaikh Nabil asy-Syarif dalam kitabnya al-Mudawwanah al-Harariyah:

مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ: يَقُوْلُ الفُقَهَاءُ الطِّفْلُ الصَّغِيْرُ ابن سنة أو ابن السنتين لا عَوْرَةَ لَهُ ( يعني لو تُرِكَ مكشوفَ العورة ذكرًا كان أو أنثى ) لايحرم.

Masalah Penting:

Berkata para Fuqaha (ulama fiqih): “Anak kecil yang berusia satu tahun atau anak berusia dua tahun tidak ada aurat untuknya” [yakni seandainya dia dibiarkan dalam keadaan auratnya -antara pusar dan lutut- terbuka, baik dia laki-laki atau perempuan] maka tidaklah haram."

*Faidah Penting tentang Aurat*

Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat perempuan ini wajib ditutup di depan laki-laki ajnabi. Dan laki-laki ajnabi ini haram memandanginya kecuali hanyalah wajah dan telapak tangannya tanpa nafsu.

Apabila perempuan ini di depan mahramnya, misal anaknya, saudara kandungnya, dan mahram lainnya maka aurat perempuan ini jadi antara pusar dan lutut. Inilah aurat perempuan yang tidak boleh terbuka. Wajib ditutup. Dan si Mahramnya ini boleh memandanginya selain aurat perempuan tersebut tanpa nafsu.

Apabila perempuan ini di depan suaminya (yang halal baginya) maka tidak berlaku aurat baginya. Jadi suaminya boleh memandanginya seluruh tubuhnya, termasuk antara pusar dan lututnya. Baik dengan nafsu atau tidak.

Dan hukum aurat ini tetap berlaku apabila sudah meninggal dunia. Oleh karena itu bagi pelaku memandikan jenazah harus paham tentang aurat ini. 

*Peringatan:*

Banyak di kalangan masyarakat kita, ketika prosesi memandikan jenazah, mereka sibuk menonton beramai ramai. Namun apabila disuruh memandikannya mereka mengaku tidak bisa, disuruh mengaji tidak mau. Hal ini adalah perbuatan yang tidak terpuji. 

Apabila mereka tidak sanggup menjaga lisannya ketika mereka melihat aib dari si mayyit maka terjatuh dalam dosa besar, dan dia tidak bisa meminta maaf kepada si mayyit. 

Maka dalam hal ini, wajib bagi kita mengikuti batasan-batasan dalam Agama dan memperhatikan hukum agama yang telah Allah tetapkan atas kita. Tidak bisa seseorang mengedepankan ego atau emosi ataupun nafsunya maupun akal pendapatnya belaka. Bahkan jika yang memandikan jenazah itu adalah orangtuanya si mayit atau anaknya atau saudara kandungnya, wajib tetap memperhatikan hukum-hukum dan batasan-batasan dalam syara'. 

Rosulullah ﷺ bersabda:

عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بْنِ ناشِرٍ رضي اللهُ عنهُ عن رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وَسَلَّم قَالَ: 

« إِنَّ اللهَ تعالى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا ».

حديثٌ حَسَنٌ رواهُ الدَّارَقُطْنِيُ وغَيْرُهُ.

"Sesungguhnya Allah mewajibkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kalian melalaikannya (menyia-nyiakan) kewajiban itu, Allah telah menetapkan batasan-batasan hukum, maka janganlah kalian melewatinya (melampauinya), dan Allah telah mengharamkan beberapa perkara (hal), maka janganlah kalian melakukannya (melanggarnya), dan Allah Ta'ala juga tidak mewahyukan hukum kepada Nabi-nya dalam beberapa perkara (hal) sebagai rahmay karunia bagi kalian bukan karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya (mencari-cari hukumnya)"

[HR Ad-Dâraquthniyy dan lainnya]

Ngaji Soal Jawab Bab Jenazah 28

*28. Soal:*

Bagaimana hukumnya jika yang memandikan jenâzah muslim (laki-laki atau perempuan) tersebut adalah orang kâfir, sebagaimana kemungkinan besar itu terjadi di beberapa tempat ?

*Jawab:*

Jika itu terjadi mayit muslim (laki-laki atau perempuan) dimandikan oleh orang kâfir, maka itu cukup dan dianggap sah, tidak wâjib dimandikan lagi (tidak wajib dimandikan lagi), sebagaimana dijelaskan oleh al-Imâm ‘Abdullâh al-Harari asy-Syaibi dalam kitâbnya "Bughyah ath-Thâlib" dan al-Imâm Zakariya al-Anshâri asy-Syâfi'i dalam kitâbnya "Fath al-Wahhâb", juz. 1, hal. 90.

Catatan:

Orang kafir tidak mendapatkan pahala dari memandikan jenazah.

Faidah:

Mengetahui hukum-hukum semacam ini adalah sangat penting, apalagi ketika berada di daerah yang banyak orang kafirnya, semisal di negara eropa atau lainnya. Maka kita sebagai orang islam yang berilmu dapat bersikap dengan bijak dalam menyikapi kejadian ini.

Intaha

Bersambung

Allah Ada Tanpa Tempat

Posting Komentar untuk "Hukum Suami Memandikan Jenazah Istri atau Sebaliknya"