Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Bait Ke 13 Nadhom Aqidatul Awamm

 Ngaji Kitab Aqidatul Awam 13


قال المؤلف رحمه الله تعالى:

عصمتهم كسائر الملائكة # واجبة وفاضلوا الملائكة

"Terjaganya para nabi seperti seluruh para malaikat adalah wajib dan para nabi itu melebihi para malaikat (dalam kemuliaannya).

Penjelasan

As Syaikh Ahmad al Marzuki menjelaskan bahwa seluruh para nabi itu memiliki sifat 'ishmah (terjaga dari melakukan dosa) sebagaimana para malaikat. Para malaikat selalu taat kepada Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Allah ta'ala berfirman:

لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ

[Surat At-Tahrim 6]

"Para malaikat tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang Allah perintah pada mereka dan senantiasa menjalankan apa yang diperintahkan pada mereka".

Karena itu langit (tempat tinggal para malaikat) menjadi tempat yang mulia, karena di sana tidak pernah dilakukan kemaksiatan. Karena itu juga, umat Islam ketika berdoa menengadahkan tangannya ke langit. 

Penjelasan tentang kema'shuman para nabi telah dijelaskan pada pembahasan sifat al Amanah. As Syaikh Ahmad al Marzuki juga menjelaskan bahwa para nabi lebih mulia dari para malaikat. Para nabi adalah makhluk yang paling mulia secara mutlak. Allah ta'ala berfirman:

وَكُلࣰّا فَضَّلۡنَا عَلَى ٱلۡعَـٰلَمِینَ

[Surat Al-An'am 86]

"Dan seluruh para nabi kami utamakan atas alam semesta".

Dari seluruh para nabi tersebut ada lima orang nabi yang paling mulia, mereka disebut dengan nabi-nabi ulul azmi. Mereka adalah Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa.

Allah ta'ala berfirman:

فَٱصۡبِرۡ كَمَا صَبَرَ أُو۟لُوا۟ ٱلۡعَزۡمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ 

[Surat Al-Ahqaf 35]

Dari lima nabi ulul Azmi tersebut, nabi Muhammad adalah nabi yang paling mulia, sehingga nabi Muhammad adalah makhluk yang paling mulia secara mutlak.

Makhluk termulia setelah para nabi adalah para pembesar malaikat, seperti Jibril, Mikail, Azrail.

Makhluk termulia setelah para pembesar malaikat adalah para wali Allah dari kalangan manusia, dan yang termulia di antara mereka adalah Sayyidina Abu Bakr as Shiddiq kemudian secara berurutan Umar bin al Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, kemudian 10 orang yang dikabarkan akan masuk surga (al Mubasyarun bil jannah).

Makhluk termulia setelah para wali adalah seluruh malaikat selain para pembesarnya. Setelah itu baru umat Islam dari kalangan manusia yang bukan wali.

Orang kafir tidak memiliki keutamaan sama sekali menurut Allah. Allah ta'ala berfirman:

فَإِن تَوَلَّوۡا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ ٱلۡكَـٰفِرِینَ

[Surat Ali 'Imran 32]

"Apabila mereka berpaling (dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya) maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir".

Para nabi semuanya ma'shum (Terjaga dari dosa) baik sebelum menjadi nabi atau sesudah menjadi nabi. Mereka dijaga dari kekufuran, dosa besar dan dosa kecil yang mengandung kehinaan jiwa pelakunya, maka seluruh nabi tidak ada yang pernah melakukan dosa-dosa itu.

Adapun dosa kecil yang tidak mengandung kehinaan jiwa pelakunya maka ini bisa terjadi kepada nabi, akan tetapi bila seseorang nabi jatuh ke dalam makshiat ini maka langsung diingatkan kemudian bertaubat kepada Allah. Hal ini dikarenakan agar umat  tidak mengikutinya dalam hal tersebut karena mereka adalah panutan. Seperti yang terjadi terhadap Nabi Adam, beliau pernah bermaksiat kepada Allah dengan memakan sebuah buah disurga, maksiat ini adalah dosa kecil yang tidak mengandung kehinaan jiwa pelakunya dalam Al-Qur'an disebutkan:

وعصى آدم ربه فغوى

Maknanya: "Nabi Adam telah bermaksiat kepada Allah"

Kalau dilihat dari sisi balaghoh, kata عصى merupakan fi'il madhi, ini artinya menunjukan sebuah perbuatan yang telah terjadi pada beliau. Berarti bisa diartikan beliau telah melakukan itu, dan hal ini tidak menjadi sifat yang menetap kepada beliau. Karena memang fi'il itu menunjukkan kejadian bukan ketetapan. Oleh karena itu, hal ini telah dilakukan oleh nabi adam kemudian beliau langsung bertaubat.

Berbeda halnya kalau seandainya menggunakan isim (kata benda) maka hal itu akan memberikan pengertian ketetapan sifat pada sesuatu subjek, misalnya kalau seseorang dikatakan kepadanya fulan عاص ('aashin) orang ini pelaku makshiat, artinya sifat ma'shiat ini telah tetap pada dirinya, karena dia sangat sering bermakshiat akhirnya dikatakan pelaku mashiat. Dalam matan jauharul maknun disebutkan;

وكونه فعلا فللتقييد # بالوقت مع إفادة التجديد

وكونه اسما  للثبوت و الدوام # وقيدوا كالفعل رعيا للتمام

Seluruh para Nabi Maksum dari kekufuran, baik sebelum dan sesudah nubuwwah. 

الأَنْبِيَاءُ مَعْصُومُونَ مِنَ الْكُفْرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا،

 فَقَوْلُ إِبْرَاهِيمَ عَنِ الْكَوْكَبِ حِينَ رَءَاهُ ﴿هَذَا رَبِّي﴾ هُوَ عَلَى تَقْدِيرِ الاِسْتِفْهَامِ الإِنْكَارِيِّ، 

فَكَأَنَّهُ قَالَ: أَهَذَا رَبِّي كَمَا تَزْعُمُونَ،

 أَمَّا إِبْرَاهِيمُ فَكَانَ يَعْلَمُ قَبْلَ ذَلِكَ أَنَّ الرُّبُوبِيَّةَ لاَ تَكُونُ إِلاَّ للهِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلاَ نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴾ [سُورَةَ ءَالِ عِمْرَان/ 67].

ما يقولُه بعض الناس عن إبراهيم عليه السلام أنه مرّت عليه مدة عبدَ فيها النجمَ ثم القمرَ ثم الشمسَ كَذِبٌ على إبراهيم.

والآيةُ التى يستندون إليها ليقولوا ذلك ليس معناها كما يَزْعُمُون، إنما قولُ إبراهيم: {هذا رَبّى} هو على وجه الإنكارِ على قَومِهِ وليس موافَقَةً لهم على ذلك،

أَىْ كَأَنَّهُ يَقُولُ "أَهَذَا رَبّـِى كَمَا تَزْعُمُونَ؟! هَذَا لاَ يَسْتَحِقُّ أَنْ يَكُونَ إَلَهاً." هذا فى لغة العرب يقال له استفهامٌ إنكارِىٌّ.

Apa yang diceritakan sebagian orang tentang Nabi Ibrahim 'Alaihis Salaam pernah mencari Tuhan, bahkan menyembah bintang, bulan dan matahari adalah DUSTA BESAR.

Surat Ali 'Imron ayat 67 menjelaskan bahwa agama Nabi Ibrahim adalah Islam, baik sebelum dan sesudah nubuwwah. Tidak pernah sedikit pun dalam kekufuran. Tidak Yahudi dan juga tidak Nashrani. 

Nabi Ibrahim merupakan Nabi agung yang diutus oleh Allah untuk membimbing ummatnya dari gelapnya kekufuran menuju cahaya kebenaran. Beliau termasuk Rasul ulul-azmi (lima rasul yang mendapat cobaan paling besar dan memiliki kesabaran paling kokoh) bersama empat rasul lainnya, yaitu Nabi Nuh alayhissalam, Nabi Musa alayhissalam, Nabi Isa al-Masih alayhissaalam dan Baginda Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam, Penghulu kerasulan dan penutup kenabian. 

Sebagian besar Nabi yang datang setelah Nabi Ibrahim adalah keturunannya, termasuk Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad, nasabnya bersambung kepada al-Khalil Ibrahim. 

Sebagaimana para Nabi lainnya, Nabi Ibrahim mengajak kaumnya kepada agama Islam, agama yang benar dan diridhoi oleh Allah ta'ala. Dengan sabar dan tabah, beliau mengajak mereka agar bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Ibrahim adalah Utusan Allah. 

Namun, sebagian besar kaumnya membangkang dan ingkar. Mereka ngotot untuk terus menyembah berhala, patung yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim pun mengutarakan dalil aqli (argumentasi rasional) atas kesesatan kaumnya, seperti dikisahkan dalam Al-Qur'an surat Al-An'am ayat 76 dan beberapa ayat sesudahnya.

Bagaimanakah kisahnya?

Setelah Nabi Ibrahim mengajak kaumnya untuk menyembah hanya kepada Allah ta'ala, mereka justru menentang bahkan menuduh Nabi Ibrahim adalah penyembah bintang, bulan atau matahari. Maka, ketika malam tiba, Nabi Ibrahim melihat bintang di langit sambil berkata dihadapan kaumnya "Hadza Rabbii?". Kalimat tersebut merupakan Istifham Inkariy yaitu kalimat berbentuk pertanyaan yang bertujuan pengingkaran. yaitu;

أَهذَا رَبِّي كَمَا تَزْعُمُوْنَ ؟

“Apakah ini yang kalian sangka Tuhan-ku sebagaimana kalian tuduhkan?” (artinya benda ini bukanlah Tuhan-ku sebagaimana yang kalian sangka), kemudian ketika bintang itu terbenam beliau berkata: 

﴿إِنِّي لَا أُحِبُّ الْآفِلِيْنَ﴾ (سورة الأنعام: 76)

Maknanya: “Sesungguhnya aku tidak menyukai (untuk menyembah) sesuatu yang terbenam”  (Q.S. al-An’am: 76)

Yakni tidak layak sesuatu seperti ini (yaitu sesuatu yang berubah) sebagai Tuhan, maka bagaimana bisa kalian meyakini itu ?

Maknanya "Apakah ini Tuhanku seperti yang kalian tuduhkan? Bukan, ini bukanlah Tuhan. Bintang ini tidak layak disembah. Ia memiliki ukuran, memiliki bentuk, berwarna dan bertempat di suatu tempat dan mengalami perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain."

Karena kaumnya masih ngeyel, Nabi Ibrahim melanjutkan hujjahnya dengan bulan, bahwa bulan juga bukan Tuhan karena ia jisim yang memiliki ukuran, bentuk dan warna, bertempat di suatu tempat dan mengalami perubahan. Masih belum ngeh juga, Nabi Ibrahim dengan sabar memberikan hujjah ketiga yaitu matahari, yang memiliki ukuran yang lebih besar daripada bulan dan bintang. Sinarnya terang memenuhi angkasa dan manfaatnya bisa dirasakan oleh manusia. Meskipun demikian, matahari tidak berhak disembah karena ia jisim yang memiliki panjang, lebar dan tinggi.

Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Kaum Nabi Ibrahim tidak mau menerima ajaran yang benar, walau sudah dijelaskan berkali-kali bahwa bintang, bulan, matahari dan juga berhala tidak berhak disembah karena semuanya jisim yang memiliki ukuran dan bentuk seperti halnya manusia. Tetapi yang berhak disembah adalah Allah subhanahu wa ta'ala, Tuhan pencipta alam semesta yang mahasuci dari ukuran, bentuk, warna dan rupa. Yang mahasuci dari bertempat di suatu tempat atau berada di suatu arah, karena Allah bukan jisim. Akhirnya Nabi Ibrahim berkata

"Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan".

Tak lama kemudian, Nabi Ibrahim berpindah ke Palestina dan menetap disana hingga akhir hayat.

Jadi, Nabi Ibrahim alayhissalam ma'shum (terjaga) dari kekufuran, dosa besar dan dosa kecil yang mengandung kehinaan dan kerendahan diri, baik sebelum menjadi Nabi ataupun sesudah menjadi Nabi. 

Beliau tidak pernah mencari-cari Tuhan. Beliau telah mendapatkan petunjuk dan hidayah dari Allah sejak dia kecil. Karena itu, Nabi Ibrahim tidak pernah ragu bahwa Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah. Beliau sama sekali tidak pernah mengakui ketuhanan bintang, bulan atau matahari, seperti dijelaskan oleh ulama' ahli tafsir, Imam Fakhrurrozi dalam kitabnya 'Ishmatul-Anbiya'

"والأصح من هذه الأقوال أن ذلك (اى قول إبراهيم هذا ربي) على وجه الاعتبار والاستدلال لا على وجه الإخبار"

"Menurut pendapat yang shahih adalah bahwa hal tersebut (perkataan Nabi Ibrahim Inikah Tuhanku?) merupakan dalam konteks mengemukakan dalil dan hujjah, bukan sebagai bentuk pengakuan (bahwa ini adalah Tuhanku)"

Perhatian:

Ragu terhadap adanya Allah adalah kufur. Demikian juga, ragu terhadap keesaan Allah, ragu terhadap kemaha kuasaan Allah serta ragu terhadap sifat-sifat wajib bagi Allah lainya.

Jika muncul khothir dalam hati manusia tentang ada atau tidaknya Allah, maka dia harus segera membuangnya agar tidak menjadi keraguan, dengan membaca:

آمنت بالله ورسله

Khothir adalah sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam hati manusia, tanpa dikehendaki.

Hal-hal semacam ini mustahil pada Para Nabi.

Posting Komentar untuk "Makna Bait Ke 13 Nadhom Aqidatul Awamm"