Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Bait Ke 9 Nadhom Aqidatul Awamm

 Ngaji Kitab Aqidatul Awam 9, yaitu sebagai berikut:


فقدرة إرادة سمع بصر #حياة العلم كلام استمر

"sifat qudroh, irodah, sama', bashor, ilmu, kalam"

As Syaikh Ahmad Marzuki melanjutkan penjelasannya tentang sifat wajib bagi Allah, yaitu sifat ma'ani sebagai berikut:

Sifat Qudroh

14. Sifat Qudroh, artinya Allah disifati dengan sifat qudroh (Maha kuasa) yang sempurna.

Dengan sifat qudroh itu Allah mengadakan makhluk dari tidak ada menjadi ada (al Iijad), Dengan sifat qudroh itu Allah meniadakan makhluk dari ada menjadi tidak ada.

 القدرة 

أي أنّ الله قادر على كلّ شيء اي على كل ممكن عقلي وهو ما يجوز وجوده تارة عقلاً وعدمه تارة اخرى 

Sifat Al Qudroh Artinya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Yang di maksud Maha kuasa segala mumkin Aqli. Mumkin Aqli adalah sesuatu yang sah menurut akal ada dalam satu tempo dan sah tidak ada dalam tempo lain. 

Dalil aqli tentang sifat qudroh adalah: Seandainya Allah tidak memiliki sifat qudroh maka Ia lemah, Sesuatu yang lemah bukan tuhan. Dan seandainya Allah itu lemah, pastilah alam semesta ini tidak ada.

Faktanya, alam semesta ini ada maka pastilah Allah itu memiliki sifat qudroh.

Dalil naqli tentang sifat qudroh adalah firman Allah ta'ala:

إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَیۡءࣲ قَدِیرࣱ

[Surat Al-Baqarah 20]

Artinya: Allah Maha Kuasa Terhadap Segala Sesuatu.

Allah memiliki sifat qudrah (kuasa) yang sempurna, Allah mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada dan meniadakan sesuatu dari ada menjadi tidak ada.

'Segala sesuatu' dalam ayat ini HANYA pada sesuatu yang mumkin aqli/jaiz aqli, tidak termasuk yang wajib aqli dan mustahil aqli.

Hukum Akal

Hukum Akal, haruslah dipahami terlebih dahulu, yaitu :

  • Mumkin aqli adalah sesuatu yang dapat diterima oleh akal adanya dan tiadanya, yaitu seluruh makhluk. 
  • Wajib aqli adalah sesuatu yang tidak diterima akal tiadanya, yaitu Allah dan sifat-sifat-Nya
  • Mustahil aqli adalah sesuatu yang tidak diterima akal adanya, yaitu seperti adanya sekutu bagi Allah, adanya anak bagi Allah dan semacamnya. 

Kenapa sifat qudroh Allah hanya berkaitan dengan sesuatu yang Mumkin aqli?

Karena sifat qudroh adalah mengadakan dan meniadakan, sementara yang MENERIMA ada dan tiada hanyalah sesuatu yang mumkin aqli, YAITU MAKHLUQ, sementara yang wajib aqli tidak menerima tiada dan yang mustahil aqli tidak menerima ada.

Karena itu TIDAK BOLEH dikatakan: Apakah Allah maha kuasa menciptakan sekutu bagi-Nya?

Karena adanya sekutu bagi Allah itu mustahil aqli. Pertanyaan bodoh seperti ini *tidak boleh dijawab* dengan "ya atau tidak". Tetapi dijawab dengan: *qudroh Allah tidak terkait dengan sesuatu yang mustahil aqli*.

Sifat Irodah

15. Irodah, artinya Allah mengkhusukan/menentukan makhluk dengan sebagian sifat, tidak dengan sebagian sifat yang lain, dengan waktu tertentu tidak dengan waktu yang lain.

Semua yang telah Allah khususkan/tentukan terjadinya pada azal, maka pasti terjadi sesuai dengan sifat-sifat dan waktu yang telah dikhususkan tersebut. Dalil naqli tentang sifat iradah adalah firman Allah ta'ala:

(فَعَّالࣱ لِّمَا یُرِیدُ)
[Surat Al-Buruj 16]

Artinya: "Allah melakukan apa saja sesuai dengan yang Ia kehendaki, tanpa ada seorang pun yang bisa menghalangi terjadinya".

وما تشاؤون الا أن يشاء الله رب العالمين 
[Surat At Takwir 29]

Artinya: "Dan tidaklah kalian berkehendak, kecuali Allah tuhan alam semesta berkehendak".

Allah bersifatan dengan sifat Iradah yakni al-Masyi'ah (Maha berkehendak) yang azali dan abadi, hal ini Allah mengkhususkan sesuatu yang ja'iz 'aqliyy (makhluq) dengan sebagian sifat yang mungkin berlaku baginya, tidak dengan sifat yang lain (tinggi tidak pendek, gemuk tidak kurus, tampan tidak jelek dan seterusnya), dan dengan satu waktu tidak dengan waktu yang lain (dahulu tidak sekarang, besok tidak sekarang, hari ini tidak kemarin dan seterusnya).

Semua yang terjadi di alam semesta ini, berupa apapun, baik berupa kebaikan maupun keburukan, semua terjadi dengan iradah (kehendak) Allah. Allah telah menentukan terjadinya pada azal, baik sifat-sifatnya maupun waktu terjadinya.

Rasulullah ﷺ mengajarkan sebuah wirid kepada sebagian putrinya:

ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن

"Apapun yang telah Allah kehendaki pada azal terjadinya maka pasti terjadi dan apapun yang tidak Allah kehendaki pada azal maka pasti tidak terjadi". 

Dalil aqli tentang sifat iradah adalah:
Seandainya Allah tidak memiliki sifat iradah maka pastilah alam semesta ini tidak ada. Karena adanya alam dengan segala bentuk dan sifat-sifatnya membutuhkan pada Dzat yang menentukan dan mengkhususkanya pada sifat-sifat tersebut.

Dan kita tahu persis, bahwa kita bukan orang yang menentukan bentuk dan sifat-sifat yang ada pada diri kita sekarang. Dengan demikian terbukti bahwa yang menentukannya adalah Allah ta’ala yang memiliki sifat iradah.

Demikian juga Fakta bahwa alam semesta ini ada, maka Allah pasti memiliki sifat iradah.

Perbedan sifat qudrah dan iradah:

Sifat Qudrah adalah Allah menentukan dan mengadakan sesuatu yang Jaiz 'aqly (makhluk) dari tidak ada menjadi ada dan meniadakan sesuatu dari ada menjadi tidak ada.
(Contoh: Menciptakan, mematikan)

Sifat Iradah adalah Allah mengkhususkan sesuatu yang ja'iz 'aqliyy (makhluk) dengan sebagian sifat yang mungkin berlaku baginya, tidak dengan sifat yang lain, dan dengan satu waktu tidak dengan waktu yang lain.
(contoh: Kita dihidupkan Allah pada masa sekarang, tidak pada masa Nabi adam, kemudian kita di beri sifat sifat tertentu yang tidak dimiliki orang lain, misalnya tampan, pintar dan lainnya)

Dan jika Allah tidak bersifatan dengan iradah maka pasti Dia bersifatan dengan sifat kebalikannya, yaitu terpaksa dan yang terpaksa adalah lemah dan yang lemah bukanlah tuhan.

Kemudian, al Iradah dengan makna al Masyi'ah menurut Ahlul Haqq (Ahlussunnah wal jama'ah) mencakup perbuatan-perbuatan hamba seluruhnya yang baik dan yang buruk. 

Jadi segala sesuatu yang masuk dalam keberadaan, Perbuatan yang baik dan buruk, kekufuran dan maksiat ataupun ketaatan, itu terjadi dengan kehendak Allaah. 

Hal ini adalah sifat kesempurnaan bagi Allaah, karena kekuasaan dan kehendak Allaah yang mencakup segala sesuatu itu layak bagi keagungan Allaah. 
Kebaikan terjadi dengan penciptaan Allah, Kehendak Nya, ketentuan Nya pengaturan Nya, dan diketahui oleh Nya, Allah memerintahkannya, Mencintainya dan meridloinya.
Sedangkan keburukan itu terjadi dengan penciptaan Allah, terjadi dengan penciptaan Allah, Kehendak Nya, ketentuan Nya pengaturan Nya, dan diketahui oleh Nya, akan tetapi Allah tidak memerintahkannya, tidak Mencintainya dan tidak meridloinya.

Al-Masyi 'ah (berkehendak) itu Kaitannya dengan Mengetahui, Artinya semua yang di kehendaki Allah pasti diketahui Allah.
Al Masyi 'ah (kehendak) tidak berkaitan dengan perintah, artinya tidak semua apa yang dikehendaki Allah, termasuk hal yang di perintahkan Allah.
Contohnya Allaah subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Isma'il, Tapi Allaah menghendaki Nabi Isma'il tidak tersembelih.

Para ulama mengatakan bahwa semua perkara yang berkaitan dengan sifat Iradah terbagi menjadi 4:
1. Sesuatu yang di kehendaki oleh Allah Sekaligus di perintahkan oleh Allah 
Contohnya: Allah memerintahkan kita semua untuk beriman, dan ta'at.

2. Sesuatu yang di kehendaki oleh Allah Tapi tidak diperintahkan oleh Allah. 
Contohnya: kemaksiatan yang dilakukan pelaku maksiat dan kekufuran orang orang kafir.
Perlu di tegaskan bahwa Allah tidak mencintai kekufuran meskipun Dia lah yang menciptakan kekufuran itu dengan kehendak Nya, dan Allah tidak Ridlo kekufuran itu terjadi pada hamba Nya

3. Sesuatu yang diperintahkan oleh Allah tapi Allah tidak menghendaki hal tersebut terjadi.
Contohnya: Allah memerintahkan orang orang kafir untuk beriman, tetapi Allah tidak menghendaki orang orang kafir tersebut beriman.

4. Sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah, dan Allah tidak menghendaki itu terjadi.
Contohnya: kekufuran pada diri para Nabi dan Malaikat

Sebagian sekte di dalam Muktazilah meyakini bahwa Allah hanya menciptakan kebaikan, Allah hanya menghendaki kebaikan, sedangkan keburukan, Dosa, kekufuran, kemunafikan, maka itu yang menciptakannya adalah hamba itu sendiri bukan Allah.

Ini berbeda dengan apa yang di ajarkan para ulama ahlus sunnah wal jamaah bahwa segala sesuatu Yang baik maupun yang buruk itu diciptakan dan dikehendaki terjadinya oleh Allah.
Karena seandainya terjadi dalam kekuasaan Allaah perkara yang diluar kehendak Nya, maka hal itu menjadi bukti kelemahan, padahal sifat lemah adalah mustahil bagi Allaah.

Sifat Sama'

16. *Sama'* atau as Sam'u (السمع), artinya Allah ta'ala mendengar segala sesuatu dengan pendengaran yang azali (tidak berpermulaan) dan abadi (tidak berpenghabisan).
Pendengaran Allah tidak sama dengan pendengaran makhluk. Allah mendengar tanpa membutuhkan pada telinga atau piranti lainya. 

Allah ta'ala mendengar seluruh suara, dan sebagian ulama mengatakan Allah mendengar segala sesuatu, suara atau bukan suara.

Dalil naqli tentang sifat sama' adalah firman Allah ta'ala:

وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیر
[Surat Asy-Syura 11]

"Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat". 

Sabda Nabi:

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا

"Janganlah kalian memaksakan diri kalian untuk mengeraskan suara (lirih saja dalam berdo'a & berdzikir) Sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang maha mendengar"

Dalil Aqli, akal berkata:
Jika dikatakan bahwa Allah tidak bersifatan dengan sifat mendengar (as sama') maka berarti Dia tuli, padahal tuli adalah sifat naqsh (sifat kurang, sifat yang tidak layak bagi Tuhan).

Mengagungkan Allah itu dengan tidak menyerupakan Allah dengan makhluqnya baik pada dzatNya atau sifatNya atau perbuatanNya, karena semua sifat makhluq menunjukkan bahwa ia di ciptakan, di jadikan, di adakan dari tiada menjadi ada, maka menyerupakan Allah dengan makhluq akan berakibat menjadikan Allah sesuatu yang dijadikan, menjadikannya butuh pada pencipta.

Maka tidak heran, Al-Imam At-Thahawi Berkata dalam Kitabnya yang telah di sepakati Ummat islam bahwa kandungannya merupakan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah:

*"ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر, فقد كفر"*

"siapa saja yang mensifati Allah dengan salah satu sifat Makhlukh maka ia tidak beriman kepada Allah"

Jadi perlu diketahui bahwa, ucapan Allah maha mendengar Maha melihat dengan ucapan kita melihat dan mendengar hanya merupakan kesamaan dari segi kata adapun hakikat dan kenyataannya maka tidak ada keserupaan sedikitpun. Inilah yang harus diyakini.

Sifat Al Bashor

17. *Bashor*, artinya Allah melihat segala sesuatu dengan penglihatan yang azali dan abadi. Penglihatan Allah berbeda dengan penglihatan makhluk. Allah melihat Dzat-Nya dan Makhluq-Nya Tanpa membutuhkan alat penglihatan/mata atau piranti lainya. 

Al Bashar wajib (pasti) bagi Allâh secara akal, yakni ar-ru'yah (melihat). Allah melihat dengan penglihatan yang azaliyy dan abadi terhadap semua yang terlihat. Allah melihat Dzat-Nya, tanpa Alat penglihatan dan anggota tubuh, karena indra adalah salah satu sifat makhluk.

Dalil tetapnya sifat al Bashar bagi Allâh secara akal bahwa seandainya Allah tidak melihat berarti Dia buta, padahal buta (tidak melihat) adalah sifat kekurangan (naqsh) bagi Allah. Sedangkan sifat kekurangan bagi Allâh adalah mustahil.

Dalil Naqliyy untuk sifat as-Sam'u dan al Bashar adalah ayat 11 surat asy-Syura seperti firman Allah ta’ala:

   ( وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴾ (سورة الشورى:١١).

Maknanya: "Dan Allah maha mendengar dengan pendengaran yang tidak menyerupai pendengaran makhluk lagi maha melihat yang tidak menyerupai penglihatan makhluk" (Q.S. asy-Syúrâ: 11).

وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِیرࣱ
(Q.S. Al Hadid: 4)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah melihat terhadap segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia, dan akan membalas setiap perbuatan itu sesuai dengan amal perbuatannya. 

Apabila manusia berbuat kebaikan, maka Allah akan membalasnya dengan pahala.
Pahala adalah balasan menyenangkan pada hari kiamat atas perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia, seperti masuk surga. 

Apabila manusia berbuat keburukan, maka Allah akan membalasnya dengan adzab.
Adzab adalah balasan tidak menyenangkan pada hari kiamat atas perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia, seperti masuk neraka.

Dalil dari Hadits, yaitu sabda Rasulullaah ﷺ ketika menuturkan Asma 'ullah al Husna (nama-nama Allaah yang menunjukan sifat kesempurnaan bagi-Nya):

"السَّمِيْعُ البَصِيْرُ"

Hal itu disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidziyy dan dinilai shahih oleh Ibn Hibban.

Peringatan:
Jadi tidak boleh mengatakan Allah punya mata meskipun mengatakan matanya tidak seperti mahluk-Nya.

Hal ini sebagaimana dituturkan oleh salah seorang ulama salaf yakni Al-Imam Al-Mujtahid Ahmad bin Hanbal (241H) Radliyallahu 'anhu :

*من قال أن الله جسم لا كالأجسام كفر*

"Barangsiapa yang berkata bahwa Allah itu jisim (benda) tapi tidak seperti jisim (benda) lainnya maka dia kufur"

Sifat Hayah

18. *Hayah*, artinya Allah itu maha hidup, hidupnya Allah tidak seperti hidupnya makhluk.
Hidupnya Allah azaliyah (tidak berpermulaan) dan abadiyyah (tidak berpenghabisan), berbeda dengan hidupnya makhluk yang haaditsah (berpermulaan). 

Hidupnya Allah tidak membutuhkan pada ruh, daging, tulang, darah dan piranti-piranti lainnya. Berbeda dengan hidup makhluk yang bergantung pada ruh, darah, daging, tulang dan piranti-piranti lainnya. 

وأما الحياة فلا تتعلق بشيء

Allah Maha Hidup tidak bergantung dengan sesuatu apapun. Tidak butuh sesuatu apapun.

Dalil naqli tentang sifat hayah adalah firman Allah ta'ala:

ٱللَّهُ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَیُّ
[Surat Al-Baqarah 255]

"Allah, tidak ada yang disembah dengan benar selain hanya Dia yang maha Hidup". 

Dalil aqli tentang sifat hayat adalah:
Seandainya Allah tidak memiliki sifat hayah, pastilah Dia tidak memiliki sifat qudroh, iradah dan ilmu.
Karena sesuatu yang tidak hidup seperti batu, pohon dan semacamnya tidak dapat disifati dengan berkuasa (qudroh), berkehendak (iradah) dan mengetahui (Ilmu). 

Dan seandainya Allah itu tidak hidup pastilah alam semesta ini tidak ada, namun faktanya alam semesta ini ada dan bisa disaksikan dengan mata. 

Sifat ILMU

الْعِلْمُ أَيْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ كُلَّ شَىْءٍ بِعِلْمِهِ الأَزَلِيِّ يَعْلَمُ ذَاتَهُ وَصِفَاتِهِ وَمَا يُحْدِثُهُ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ بِعِلْمٍ وَاحِدٍ شَامِلٍ لِكُلِّ الْمَعْلُومَاتِ لاَ يَتَجَدَّدُ وَلا يَتَغَيَّرُ وَلا يَنْقُصُ وَلا يَزِيدُ.

19. *Ilmu*, artinya Allah itu maha mengetahui dengan ilmu yang azaliy (tidak berpermulaan) dan abadiy (tidak berpenghabisan), berbeda dengan ilmu makhluk yang haaditsah (berpermulaan dan di dahului oleh kebodohan). Sifat Ilmu Allah Tidak bertambah, Tidak berkurang, Tidak berubah.

Dengan sifat ilmu yang azali dan abadiy, 
✓Allah mengetahui segala sesuatu.
✓Allah mengetahui sesuatu yang telah terjadi.
✓Allah mengetahui sesuatu yang sedang terjadi.
✓Allah mengetahui sesuatu yang akan terjadi.
✓Allah mengetahui sesuatu yang tidak terjadi, seandainya terjadi, bagaimana terjadinya.
✓Tidak ada sesuatupun yang samar bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun di langit.

Ilmu allah berkaitan dengan Mumkin aqli, wajib aqli, mustahil aqli.
Dengan sifat ilmu itu Allah mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang tidak diketahui oleh-Nya. Artinya Allah dzatnya, sifat sifatnya dan seluruh apa yang Allah ciptakan diantara makhluk Nya.

Ilmu Allah adalah ilmu yang Esa (tidak ada sekutu), tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisaan, tidak berubah, tidak berkembang, tidak bertambah, tidak berkurang. 
berbeda dengan ilmu makhluk yang memiliki permulaan, berubah, berkembang, bertambah dan berkurang

عِلمُ الله لايتجدد ولا يتطور ولا يَطرءُ عليه إنقطاع، بل الله عَلِمَ الأشياء قبل أن تحصل بعلمه الأزلي الذي لابداية له ، قال الإمام عليّ رضي الله عنه:
 " إنَّ الله عَلِمَ ما كانَ وما لا يكونُ أنْ لو كانَ كيفَ كانَ يكون بعلمٍ واحدٍ أزلي غيرَ حادث، أي غير مخلوق."

Dalil naqli tentang sifat ilmu adalah firman Allah ta'ala:

 وَهُوَ بِكُلِّ شَیۡءٍ عَلِیمࣱ
[Surat Al-Baqarah 29]

"Dan Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu". 

Lafadz *syai* dalam ayat ini termasuk di dalamnya Al wajib, Al mustahil dan Al mumkin.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda:

مفاتيح الغيب خمس لا يعلمها إلا الله

"Kunci yang ghoib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah"

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Nabi tidak mengetahui semua perkara yang ghoib.
*Tidak boleh dikatakan bahwa nabi Muhammad mengetahui semua yang diketahui oleh Allah*. Tetapi Allah memberitahukan sebagian dari perkara yang ghoib kepada Rasulullah shallallahu alayhi wasallam.

Allah ta'ala berfirman:

قُل لَّاۤ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِی نَفۡعࣰا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاۤءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَیۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَیۡرِ وَمَا مَسَّنِیَ ٱلسُّوۤءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِیرࣱ وَبَشِیرࣱ لِّقَوۡمࣲ یُؤۡمِنُونَ
[Surat Al-A'raf 188]

Allah ta'ala juga berfirman:

قُل لَّا یَعۡلَمُ مَن فِی ٱلسَّمَـٰوَ ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَیۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ 
[Surat An-Naml 65]

Allah ta'ala juga berfirman:

وَمِنۡ أَهۡلِ ٱلۡمَدِینَةِ مَرَدُوا۟ عَلَى ٱلنِّفَاقِ لَا تَعۡلَمُهُمۡۖ نَحۡنُ نَعۡلَمُهُمۡۚ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَیۡنِ ثُمَّ یُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِیمࣲ
[Surat At-Taubah 101]

Dalil aqli tentang sifat ilmu adalah:
Seandainya Allah tidak memiliki sifat ilmu, pastilah Dia bodoh
Sedangkan bodoh adalah naqsh atau sifat yang tidak layak bagi Allah ta'ala.
Dan seandainya Allah itu bodoh pastilah alam semesta ini tidak ada, karena tidak mungkin alam semesta yang begitu menakjubkan diciptakan oleh Dzat yang bodoh, tetapi faktanya alam semesta itu ada dan bisa disaksikan dengan mata. 

Faktanya bahwa penciptaan alam semesta ini sangat teratur dan tersusun rapi. Dan ini menunjukkan kemaha-kuasaan Allah dan kemaha-tahuan-Nya terhadap rincian segala perkara.
Atau dikatakan; Apabila Allah tidak bersifatan dengan ilmu maka pastilah Allah bersifat dengan sifat kebalikannya yaitu bodoh (jahl). Dan jahl ini akan menjadi sifat yang azali, dan sesuatu yang azali mustahil tiadanya. Sehingga selamanya dia tidak mengetahui dan ini adalah sifat yang tidak layak bagi Allah (naqsh).

*Waspadai* kelompok yang menyimpang (sesat dan kufur) dalam masalah ini:
1. Kelompok atau Kaum mu'tazilah meyakini bahwa Allah Ta'ala hanya mengetahui segala sesuatu secara global saja. Jelas ini kesesatan yang nyata. 
Kebenarannya adalah Allah ta'ala mengetahui segala sesuatu itu dengan secara rinci (tafshili), bukan hanya secara global (ijmaaliy), sebagaimana diyakini oleh Mu'tazilah.

2. Kelompok Filosuf, diantara mereka menafikan bahwa Allah maha mengetahui secara mutlak. Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah itu maha mengetahui dengan dzat-Nya tidak dengan sifat ilmu. Sebagian mereka menetapkan bahwa Allah maha mengetahui tetapi hanya secara global, tidak mengetahui rincian dari segala sesuatu. Seperti kaum mu'tazilah. Semua keyakinan ini adalah kufur.

3. Ahli bid'ah, sebagian mereka menetapkan ilmu yang hadits (baharu) bagi Allah. Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah itu maha mengetahui dengan makna bahwa Allah itu tidak bodoh, bukan berarti Dia memiliki sifat ilmu. Dua keyakinan ini juga kufur.

Karena Ilmu Allah tidak muktasab.
Tidak boleh dikatakan bahwa ilmu Allah itu muktasab. 
Jika dikatakan bahwa ilmu Allah itu muktasab maka berarti ilmu itu muncul dari proses berfikir (nadzor) dan mencari dalil (istidlal), dan artinya ilmunya didahului oleh kebodohan, tidak azali.
Ini jelas mustahil bagi Allah karena nadzar dan istidlal itu didahului dengan kebodohan.

Sifat Kalam

20. *Kalam*, artinya Allah maha berfirman dengan kalam yang Esa (tiada sekutu), azali (tidak berpermulaan) dan abadiy (tidak berpenghabisan), berbeda dengan kalam makhluk-Nya, bukan bahasa, bukan huruf dan juga bukan suara.

Al Imam Abu Hanifah Radliyallahu anhu dalam kitab al Fiqh al Akbar berkata:

والله يتكلم لا بآلة وحرف ونحن نتكلم بآلة وحرف

"Allah berfirman tidak dengan alat (organ bicara) dan huruf, sedangkan kita berkata dengan alat dan huruf"

Dalil naqli tentang sifat kalam adalah firman Allah ta'ala:

 وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِیمࣰا
[Surat An-Nisa' 164]

"Dan Allah benar-benar telah memperdengarkan kalam-Nya yang bukan berupa bahasa, bukan huruf dan bukan suara, pada nabi Musa"

Allah Maha Kuasa untuk menjadikan Nabi Musa Faham mengenai Kalam Allah yang bukan berupa bahasa, bukan huruf dan bukan suara.

Dalil aqli tentang sifat kalam adalah:
Seandainya Allah tidak memiliki sifat kalam pastilah dia bisu.
Sedangkan bisu adalah naqs atau sifat yang tidak layak bagi Allah ta'ala.

Ketika sisebut Kalam Allah ini disebut untuk dua penyebutan, yaitu:
1. Kalam Allah adz Dzati yang merupakan sifat Allah yang azali dan abadi, bukan berupa bahasa, bukan huruf dan juga bukan suara. *Sifat kalam Allah ini yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf*.

2. Kalam Al Lafadz al Munazzal (lafadz yang diturunkan) pada sebagian para nabi. Kalam ini adalah wahyu dan juga kitab yang diturunkan kepada para Nabi.
Kalam Ini adalah ibaroh (ungkapan) dari kalam Allah yang azali dan abadi. Kalam Ini berupa bahasa, huruf dan Suara.

Tambahan Penjelasan Sifat Kalam

Kenapa ilmu Aqidah disebut dengan ilmu kalam?
Jawab: Karena salah satu yang melatar belakangi ilmu aqidah (atau disebut ilmu tauhid) disebut ilmu kalam adalah karena banyaknya pembahasan dikalangan aliran-aliran yang semuanya mengaku islam (padahal aliran menyimpang) mengenai sifat kalam Allah.

*PERINGATAN* :
Jika ada kaum musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk Nya) mengatakan bahwa:
"Kalam Allah berupa huruf dan suara dengan dalih firman Allah:

اِنَّمَاۤ اَمْرُهٗۤ اِذَاۤ اَرَا دَ شَیْئًـا اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, Jadilah ! Maka jadilah sesuatu itu." (QS. Ya-Sin 36: Ayat 82)
Jawab:
Kalau seandainya Kalam Allah berupa huruf, bahasa & suara sebagaimana keyakinan musyabbihah dengan dalih (QS. Ya-Sin 36: Ayat 82) tersebut, maka Ayat-ayat ini akan bertentangan dengan ayat ayat lainnya, diantaranya yaitu Firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ   (الشورى:11)
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأَعْلَى (سورة النحل: 60)
فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ (النحل:74)
وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ (الاخلاص:4)
*Dan tidak mungkin ayat al Qur'an saling bertentangan*

Para ulama menafsirkan ayat (QS. Ya-Sin 36: Ayat 82) tersebut dengan bahwa *"Allah mengadakan segala sesuatu tanpa capek dan kesulitan tanpa ada seorangpun yang bisa menghalanginya. Allah menciptakan segala sesuatu dengan cepat, tidak terlambat dari waktu yang telah Dia kehendaki terjadinya."*

Lafadz كن فيكون adalah ungkapan untuk menunjukan mudah dan cepatnya Allah dalam menciptakan makhluk-Nya.

Makna ayat di atas bukan seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa jika Allah menghendaki untuk menciptakan sesuatu maka Allah berfirman dengan كن yang terdiri dari huruf kaf dan nun.
Penafsiran seperti ini tidak benar, karena kalam Allah sebagaimana seluruh sifat Allah yang lainnya itu azali (tidak berpermulaan) dan abadi (tidak berpenghabisan), sehingga kalam Allah bukan berupa bahasa, bukan huruf dan juga bukan suara.

Seseorang yang memahami bahwa setiap kali Allah menciptakan makhluk-Nya Dia berkata كن, seakan-akan dia mengatakan, tidak ada pekerjaan bagi Allah selain berkata كن, karena dalam satu detik jutaan makhluk tercipta, dan seluruhnya Allah yang telah menciptakan-Nya dari tidak ada menjadi ada. Jelas ini tidak masuk akal sehat.

Firman Allah “Kun Fayakun” dalam Al-Qur’an berulang dalam delapan tempat. Yaitu dalam QS. Al-Baqarah: 117, QS. Ali ‘Imran: 47, QS. Ali ‘Imran: 59, QS. Al-An’am: 73, QS. An-Nahl: 40, QS. Maryam: 35, QS. Yasin: 82, dan QS. Ghafir: 68. Sebagai berikut:

بديع السّماوات والأرض وإذا قضى أمرًا فإنّما يقول له كن فيكون {سورة البقرة 117} / قالت ربّ أنّى يكون لي ولدٌ ولم يمسسني بشرٌ قال كذلك الله يخلق مايشآء إذا قضى أمرًا فإنّما يقول له كن فيكون {سورة ءال عمران: 47} / إنّ مثل عيسى عند الله كمثل ءادم خلقه من ترابٍ ثمّ قال له كن فيكون {سورة ءال عمران: 59} / وهو الّذي خلق السّماوات والأرض بالحقّ ويوم يقول كن فيكون قوله الحقّ وله الملك يوم ينفخ في الصّور عالم الغيب والشّهادة وهو الحكيم الخبير {سورة الأنعام: 73} / إنّما قولنا لشىءٍ إذا أردناه أن نّقول له كن فيكون {سورة النحل: 40} / ماكان للّه أن يتّخذ من ولدٍ سبحانه إذا قضى أمرًا فإنّما يقول له كن فيكون {سورة مريم: 35} / إنّمآ أمره إذآأراد شيئًا أن يقول له كن فيكون {سورة يس: 82} / هو الّذي يحي ويميت فإذا قضى أمرًا فإنّما يقول له كن فيكون {سورة غافر: 68}

Makna harfiah ayat “Kun Fayakun” dalam ayat-ayat tersebut adalah “Jadilah!”, Maka ia (apa yang dikehendaki oleh Allah) terjadi”. Seakan Allah berkata-kata dengan kalimat “Kun”, dengan huruf kaf dan nun. Makna harfiah ini tentu tidak boleh diambil dan diyakini. Karena jika Allah berkata-kata demikian; dengan huruf-huruf, suara dan bahasa maka berarti Allah sama dengan ciptaannya. Keyakinan demikian tentunya keyakinan rusak/batil, karena Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.
Dasar keyakinan yang wajib kita yakini sepenuhnya adalah bahwa Kalam Dzat Allah Esa; tidak ada sekutu dan keserupaan baginya.

Artinya, Kalam Dzat Allah bukan sebagai huruf, bukan suara, dan bukan bahasa. Kalam Allah bukan dengan alat-alat; seperti lidah, mulut, atau anggota badan lainnya. Allah bukan benda, dan sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Sebagaimana penjelasan ini telah diungkapkan oleh al-Imam Abu Hanifah, al-Imam al-Baihaqi, dan lainnya, seperti yang telah kita kutip dan pahami lagi sifat kalam Allah.

Dalam menafsirkan firman Allah “Kun Fayakun” para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah ada dua penjelasan. Sebagai berikut;
(Satu); Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi, bahwa firman Allah “Kun Fayakun” dalam ayat-ayat tersebut adalah untuk mengungkapkan bahwa segala apa yang dikehendaki oleh Allah sangat mudah dan cepat kejadiannya, tidak ada siapapun yang dapat menghalangi Allah dalam kehendak-Nya.
(Dua); Dijelaskan diantaranya oleh al-Imam al-Baihaqi dan lainnya bahwa makna firman Allah “Kun Fayakun” adalah untuk ungkapan dari ketetapan hukum Allah yang Azali (tidak bermula) terhadap keberadaan sesuatu. Maka Allah menciptakan sesuatu yang telah Dia kehendaki akan keberadanyanya, pada waktu yang sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia ketahui akan kejadiannya. Artinya, Allah menciptakan segala sesuatu yang Dia kehendaki akan kejadiannya dengan Kalam-Nya yang Azali, yang bukan sebagai huruf dan bukan suara. Bukan artinya Allah berkata-kata dengan huruf kaf dan nun. Karena berkata-kata dengan huruf-huruf adalah sifat makhluk, manusia.

Al-Imam al-Hafizh Abdullah al-Harari dalam ad-Dalil al-Qawim menuliskan:

(تنبيه) نعلم حسا وضرورة بأن الكاف قبل النون ولا يجتمعان في زمن واحد، ثم يلزم الحشوية القائلين بأنه يتكلم بحرف وصوت قائم بذاته التجسيم والتشبيه، وهم قسمان؛ قسم قائلون بحلول الحوادث بذات الله تعالى، وشرذمة يقولون؛ الحروف والأصوات قديمة، وهؤلاء لا يفهمون ما يقولون، لأنا نعلم ضرورة وحسا بأن الكاف في كن قبل النون ولا يجتمعان في زمن واحد، ثم يلزمهم ما لزم النصارى في اعتقادهم أن الصفة من صفات الله القديمة وجدت بالمسيح إما كلامه وإما علمه فأثبتو قدمه، وكفرهم جميع المسلمين وتبرأوا منهم وبينوا أن الصفة الواحدة يستحيل أن تكون موجودة في موصوفين كما لا يصح أن يوجد جوهر واحد في مكانين.اهـ[1]

“[Peringatan]; Kita mengetahui secara indrawi (faktual) dan dengan sangat pasti bahwa [pada kata kun] huruf kaf sebelum nun, keduanya tidak dapat berkumpul dengan waktu bersamaan. Kemudian [dari pada itu] kaum Hasyawiyyah yang mengatakan bahwa Allah berbicara dengan huruf-huruf dan suara yang tetap dengan Dzat-Nya; hal itu melazimkan adanya keyakinan tasybih dan tajsim (kayakinan rusak bahwa Allah serupa dengan makhluk dan bahwa Allah sebagai benda). Mereka [kaum Hasyawiyyah] ada dua golongan. Sebagian mereka mengatakan bahwa para makhluk menyatu dengan Dzat Allah. Sebagian kecil lainnya mengatakan bahwa huruf-huruf dan suara-suara itu Qadim (tidak bermula). Mereka adalah orang-orang yang tidak paham dengan apa yang mereka ucapkan sendiri. Padahal, nyata [faktual, dilihat secara fisik/indrawi] dan sangat pasti bahwa huruf kaf sebelum huruf nun, dan keduanya tidak dapat berkumpul dalam waktu bersamaan. Kemudian [dari pada itu], kaum Hasyawiyyah [yang berpendapat tersebut di atas] melazimkan adanya apa yang telah lazim terhadap kaum Nasrani yang berkeyakinan bahwa ada sifat dari sifat-sifat Allah yang Qadim yang tetap dengan Nabi Isa, baik sifat Kalam-Nya atau sifat Ilmu-Nya, lalu mereka menetapkan bahwa ia [Isa] Qadim. Mereka, [kaum Nasrani, juga golongan Hasyawiyyah] telah dikafirkan oleh semua orang Islam. Seluruh orang Islam melepaskan diri (terbebas) dari keyakinan seperti mereka. [Ulama] Orang-orang Islam menjelaskan bahwa satu sifat mustahil berada dalam dua [objek] yang disifati, sebagaimana mustahil adanya satu benda (Jawhar) berada di dua tempat [dalam waktu yang bersamaan]”.

Tambahan Penjelasan Sifat Kalam Allah al-Lafzh al-Munazzal

Terminologi dalam sastra jelas beda dengan kalämuLläh yang menjadi istilah para ulama yang kompeten. Menyandingkan keduanya (sastra dan kalamullah) apalagi menyetarakan kedua-nya jelas tidak mungkin dalam wilayah istilah. Menyebut Nabi sebagai penyair saja, menurut para ulama, sudah *TIDAK BOLEH*. 

Semua kitab yang diturunkan pada para Nabi, baik Zabur, Taurot, Injil [yang masih asli; tidak mengalami tahrïf; distorsi] dan Al Quran oleh para ulama disebut sebagai *Kalaamullaah*. 
Kenapa disebut sebagai KalaamuLlaah?
Karena, 
1. ia adalah ^ibaroh/sebutan yang menunjukkan sifat kalam Allah yang qodïm. Dan 
2. Karena ia nya bukan-lah karangan atau susunan para Nabi dan bukan susunan Malaikat sekalipun. 

Jibril ^alayhissalaam hanyalah menurunkan [menyampaikan] apa yang ada di Al Lauhul Mahfudz pada para Nabi tanpa merubah-nya sedikit pun. Tentu umat Islam ingat dan yakin bahwa para malaikat --dan para Nabi-- mempunyai sifat maksum. 

Orang Arab di jaman Nabi yang sangat ahli dalam bidang satra --bahkan yang tak beriman pun-- mengakui bahwa Al Quran bukan-lah karangan atau ucapan manusia. Karena ketinggian bahasa Al Quran yang MELAMPAUI sastra orang Arab di jaman nya bahkan sampai hari kiamat.

Sebagaimana tidak layak menafsirkan Al Quran dengan hermeneutik yang ia nya adalah boleh dan sah untuk mengomentari karya sastra buatan manusia, tapi tidak dengan Al Quran!!

Bagaimana Al-Qur'an Dalam Makna al-Lafzh al-Munazzal Turun Kepada Rasulullah?

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Al-Qur'an dalam makna al Lafzh al-Munazzal berupa lafazh-lafazh, huruf-huruf, suara dan dalam bahasa Arab; adalah ungkapan yang menunjukkan bagi al Kalam adz-Dzati yang Azali dan Abadi. 

Bila kemudian timbul pertanyaan: 
"Jika al-Lafzh al-Munazzal yang berupa huruf-huruf dan bahasa tersebut bukan sebagai Kalam Dzat Allah, lalu bagaimana ia diturunkan kepada Nabi Muhammad?".
[Jawab]: Allah menciptakan suara bacaan bagi tulisan Al Qur'an seperti yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh. 

Suara tersebut tanpa rupa, tanpa ada siapa pun yang berkata-kata dengannya; itu hanya suara. Suara tersebut adalah suara bacaan Al Qur'an. Suara tersebut didengar oleh Malaikat Jibril. 

Kemudian dengan perintah Allah Jibril membawa turun tulisan-tulisan Al Qur'an dengan bacaan - bacaannya tersebut kepada Rasulullah. 

Namun, terlebih dahulu diturunkan sekaligus ke langit dunia, ke suatu tempat bernama Baitul Izzah. 
Kemudian barulah diturunkan kepada Rasulullah secara berangsur-angsur, dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.

Dalam Al-Qur'an Alla berfirman:

إنا أنزلنه في ليلة القدر (سورة القدر: 1)

"Sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkannya (Al-Qur'an dalam makna al-Lafzh al-Munazzal) pada malam Qadar" (QS. Al Qadar 1). 

Ayat ini menunjukkan tentang diturunkan Al-Qur'an sekaligus dari al-Lauh al-Mahfuzh ke Baitul Izzah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama tafsir. 

Al-Imam al-Mufassir Al Qurthubi dalam tafsirnya dalam tafsir QS. Al-Qadar: 1, menuliskan:

وقال الشعبِي: المعنى إنا ابتدأنا إنزاله في ليلة القدر. وقيل: بل نزل به جبريل عليه السلام جملة واحدة في ليلة القدر، من اللوح المحفوظ إلى سماء الدنيا، إلى بيت العزة، وأملاه جبريل على السَّفَرة، ثم كان جبريل ينزله على النبيّ صلى الله عليه وسلم نُجوماً نجوماً. وكان بين أوّله وآخره ثلاث وعشرون سنة قاله ابن عباس

"Telah berkata asy-Sya'bi; maknanya; Sesungguhnya Kami telah memulakan menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Qadar. 
Dikatakan; bahkan turun dengannya oleh Jibril seluruhnya sekaligus pada malam Qadar, dari al-Lauh al-Mahfuzh ke langit dunia, ke Baitul Izzah, dan Jibril mengisi (dikte) akan Al-Qur'an tersebut kepada para Malaikat Safarah. Kemudian Jibril menurunkannya kepada Rasulullah secara berangsur-angsur. 
Adalah antara permulaan turunnya dan yang terakhir turun selama 23 tahun; demikian telah dikatakan oleh Abdullah ibn Abbas".

Namun demikian, ada catatan penting; bukan berarti bahwa Jibril tidak mendengar al-Kalam adz-Dzati.
Sesungguhnya Jibril termasuk di antara beberapa Malaikat yang mendengar Kalam Dzat Allah yang bukan huruf-huruf, bukan suara dan juga bukan bahasa. 

Jibril memahami dari mendengar al-Kalam adz-Dzati akan perintah-perintah Allah. Termasuk ia mendengar dan memahami bahwa Allah memerintahnya untuk mendengarkan makhluk Allah: yaitu suara bacaan Al-Qur'an yang rapih tersusun sesuai tulisan tulisannya seperti yang ada di al-Lauh al-Mahfuzh, dan perintah Nya untuk diturunkan kepada Rasulullah. Maka Jibril menurunkan Al-Qur'an kepada Rasulullah secara berangsur-angsur sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. 

Ada yang dengan sebab adanya suatu peristiwa lalu turun ayat, ada yang dengan sebab pertanyaan dari beberapa sahabat Rasulullah lalu turun ayat, dan beberapa sebab lain; yang kemudian dikenal dengan sebab turun ayat (Sabab an-Nuzul). Namun demikian *tidak semua ayat memiliki Sabab an-Nuzul*.

Dalil yang sangat jelas dalam menetapkan bahwa Allah tidak membacakan Al-Qur’an kepada Jibril dengan huruf-huruf dan suara; adalah firman Allah dalam QS. At-Takwir: 19, menyebutkan: 

 ﴿إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ﴾ [التكوير ١٩]

“Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) adalah perkataan (bacaan) seorang utusan yang mulia (yaitu Malaikat Jibril)”. (QS. At-Takwir: 19). 

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa Kalam Dzat Allah bukan huruf, bukan suara, dan bukan bahasa. Maka Al-Qur’an dalam makna alLafzh al-Munazzal; lafazh yang diturunkan dalam huruf-huruf dan berbahasa Arab adalah bacaan - bacaan yang dibacakan oleh Jibril kepada Rasulullah. 

Karena jika Al-Qur’an dalam makna al-Lafzh al Munazzal ini adalah sebagai Kalam Dzat Allah; artinya sebagai sifat Kalam-Nya; maka tentu Allah tidak mengungkapkan dengan firmannya: “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) adalah perkataan (bacaan) seorang utusan yang mulia (yaitu Malaikat Jibril)”?! 
Tetapi mungkin ungkapannya dengan; “(Al-Qur’an) adalah perkataan (bacaan) Allah”, atau semacamnya. 

Seluruh Ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan “Rasul Karim/utusan yang mulia” (QS. At-Takwir: 19) adalah Malaikat Jibril.

Posting Komentar untuk "Makna Bait Ke 9 Nadhom Aqidatul Awamm"