Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gara-gara Menyarankan Acara Tahlilan Tidak Perlu Wah

Oleh Gus Rijal Mumazziq Z, Jember.


Saya pernah dituduh Wahabi lho ya. Gara-garanya, menyarankan agar tahlilan maupun pendak, atau nyewu, tidak perlu "wah". Cukup mengundang tetangga sekitar saja. 10-20 orang juga cukup. Acara dikemas sederhana. Diniatkan sedekah atas nama almarhum dan mendoakannya, juga suguhan menghormati tamu. Niat melaksanakan Sunnah Rasulullah. 

Di desa kami, jika ada yang berduka, biasanya para kerabat dan tetangga takziah dengan membawa beras, uang, juga bantuan lain. Jadi bisa meringankan beban keluarga. Wujud gotong royong, dan saling membantu guyub rukun. Bantuan ini dipakai untuk konsumsi warga yang datang tahlilan. Seringkali beras dan bantuan barang lain (minyak, gula, mie) masih ada sisa, yang kemudian disimpan untuk 40 maupun 100 harinya. Kalaupun khawatir rusak atau kadaluarsa, bisa dititipkan ke toko, dan kelak, beberapa hari sebelum acara tahlilan, beras titipan bisa diambil. Ini soal manajemen. Jadi, asumsi kalau tahlilan memberatkan keluarga, juga tidak benar sepenuhnya. Lazimnya juga, anak/kerabat almarhum juga urunan menyangga konsumsi tahlilan ini.

Hanya saja, ada problem lain. Biasanya menyangkut peringatan pendak (haul/tahunan), maupun nyewu (1000 hari). Bagi keluarga mampu, silahkan. Tapi ada fakta lain. Yang ekonominya tidak mampu gelisah. Kalau nggak ngadakan acara "dirasani" tetangga, dianggap melupakan mereka yang telah wafat. Kalau mau ngadakan, nyedot biaya juga, padahal ekonomi seret. Di sisi lain, kebutuhan primer juga mendesak.

Jadi warga NU itu punya dua "problem". Di satu sisi terus menerus digugat dalil soal Tahlilan dari kubu sebelah. Bahkan dimusyrikkan. Untunglah sudah banyak ulama yang menjelaskan keabsahan dalil Tahlilan ini. Perkara kubu sebelah terbuka hatinya dan menerima argumentasi yang disajikan, alhamdulillah. Kalau masih ngeyel dan terus menerus "menyerang", ya BODO AMAT. Kita fokuskan waktu, tenaga, dana dan pikiran ke program ubudiyah dan sosial lainnya. Ini lebih efektif. Daripada meladeni orang yang hanya butuh bertanya tapi tak butuh jawaban.

Oke lanjut. Masalah lain soal ekonomi. Tak semua Nahdliyyin mampu menyelenggarakan prosesi Pendak mapun Nyewu. Solusi awal, para kiai NU perlu menjelaskan ke masyarakat bawah yang tidak mampu, kalau prosesi ini tidak wajib. Tidak harus sesuai perhitungan kalender atau "hari baik" dalam perhitungan tradisi Jawa. Bisa ditunda hingga ekonomi keluarga membaik. Bisa juga dengan menabung pelan-pelan, hingga terkumpul dana secukupnya untuk mengadakan acara tahlilan ini dengan sederhana. Jadi, kalau tidak punya uang, no problem, tunda dulu, sembari tetap mendoakan almarhum. Syukur-syukur bisa sekalian ziarah ke pekuburan. 

Saya sendiri memilih menabung di celengan plastik. Ya, celengan plastik itu lho. Lama-lama juga terkumpul dan bisa dipakai menyelenggarakan Pendak maupun Nyewu almarhumin di keluarga kami. Terobosan lain, setelah para undangan hendak pulang, masing-masing diberi berkat dalam bentuk mentahan. Bukan nasi seperti biasanya, melainkan sabun mandi, sabun cuci, minyak gelasan, gula 1/4 kg, kopi dan teh. Ini lebih tepat, karena tidak langsung basi keesokan harinya seperti nasi berkat. Ini sudah saya praktikkan pada saat Pendak-nya ayah saya beberapa tahun silam.

Inovasi lain, Berkat berwujud ganda: nasi dan lauk sebagaimana lazimnya, juga diberi buku penguatan Amaliah Nahdliyyah. Ini sudah saya praktekkan juga. Setiap undangan mendapatkan hadiah buku "Tahlilan Bid'ah Hasanah Berlandaskan al-Qur'an dan Assunnah" karya Kiai Ma'ruf Khozin saat Pendak-nya ibu, dan "Hujjah Nahdliyah" karya Kiai Hidayat Nur, saat memperingati kewafatan adik saya. Kenapa dikasih buku? Biar semakin mantab sebagai Wong NU. Kenapa bukan buku Yasin dan Tahlil? Itu sudah biasa, dan rata-rata warga NU sudah banyak "koleksinya".

Solusi lain, penguatan solidaritas Nahdliyyin berkaitan amaliah ubudiyah itu bukan soal indoktrinasi melulu, melainkan wujud konkrit. Jangan melulu diceramahi, tapi carikan solusi. Ini contohnya. Tetangga saya, ekonominya hampir ambruk setelah ditinggal wafat tulang punggung keluarga. Bingung mau menyelenggarakan Nyewu ayahnya. Solusinya, dicarikan bantuan. Bukan duwit saya. Tapi titipan seorang dermawan. 

Dan, hasilnya efektif. Donatur senang lantaran tepat sasaran. Penerima manfaat juga terbantu. Almarhum juga bahagia di alam kubur lantaran didoakan. Sedangkan para tamu undangan juga wareg. Pulang bawa berkat.

Enak to?

Posting Komentar untuk "Gara-gara Menyarankan Acara Tahlilan Tidak Perlu Wah"