Tempat Hanya Berlaku untuk Makhluq
Di antara bentuk kesalahpahaman yang sering muncul dalam diskusi teologi adalah upaya sebagian pihak mengukur keberadaan Allah berdasarkan sifat-sifat makhluk. Mereka memulai dengan premis seperti:
• “Jika seseorang berada di tempat, berarti ia ada.”
• “Jika sebuah benda berada di tempat, berarti ia ada.”
• “Karena semua yang ada berada di tempat, maka tidak mungkin ada sesuatu yang keberadaannya tanpa tempat.”
Metode argumentasi seperti ini kemudian dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa keberadaan Allah harus terkait dengan tempat atau lokasi tertentu. Logika ini berpijak pada penyamaan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, yaitu membatasi keberadaan kepada dimensi ruang sebagaimana yang berlaku pada makhluk.
Prinsip Ahlus Sunnah wal-Jamā‘ah
Ahlus Sunnah wal-Jamā‘ah menegaskan bahwa pendekatan semacam ini adalah bentuk qiyās fāsid (analogi yang rusak), karena menyamakan sifat Sang Pencipta dengan sifat makhluk. Dalam prinsip akidah yang sahih, Allah Ta‘ālā tidak menyerupai makhluk dan tidak terikat oleh hukum ciptaan-Nya, termasuk ruang, arah, maupun bentuk fisik. Oleh sebab itu, penetapan wajibnya tempat bagi Allah untuk membuktikan keberadaan-Nya adalah anggapan yang keliru.
Aqidah yang diajarkan Rasulullah ﷺ dan para nabi adalah:
“Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.”
Posisi ini bukanlah penafian terhadap keberadaan Allah, tetapi penyucian dari sifat-sifat makhluk.
Metode bantahan yang rasional dan sederhana terhadap klaim bahwa keberadaan mengharuskan tempat adalah sebagai berikut:
1. Jika ditanya apakah tempat adalah Allah atau selain Allah, jawabannya pasti: selain Allah.
2. Bahkan pihak yang berpendapat Allah berada di tempat umumnya mengakui bahwa tempat adalah ciptaan Allah.
3. Jika tempat diciptakan, maka sebelum penciptaan ruang, Allah sudah ada. Karena mustahil Allah bergantung pada ciptaan yang belum ada.
4. Konsekuensinya: Sebagaimana akal sehat menerima bahwa Allah ada sebelum adanya tempat tanpa membutuhkan tempat, maka akal sehat juga harus menerima bahwa Allah tetap ada setelah terciptanya tempat tanpa bergantung padanya.
Dengan demikian, keberadaan Allah tidak bergantung pada ruang atau arah sebagaimana keberadaan makhluk. Menyatakan Allah ada tanpa tempat bukanlah penolakan terhadap wujud-Nya, tetapi justru bentuk penyucian (‘tanzīh’) dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
Kesimpulan
Argumen yang mensyaratkan tempat sebagai syarat bagi wujud hanyalah berlaku pada makhluk dan bukan pada Khaliq. Allah Ta‘ālā Wājib al-Wujūd, tidak membutuhkan ruang, arah, dimensi, maupun makhluk apa pun. Sebelum penciptaan tempat, Allah telah ada tanpa tempat; dan setelah penciptaan tempat, keberadaan-Nya tetap tidak berubah — tidak diliputi ruang dan tidak bertempat.
