Kisah Seorang Buruh Berzina dengan Istri Majikannya
Seseorang tidak boleh berfatwa sembarangan tanpa ilmu. Jika ia berfatwa tanpa ilmu maka para malaikat akan mengutuknya. Seluruh malaikat yang ada di langit dan bumi akan melaknat orang yang berfatwa tanpa ilmu.
Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam ilmu Musthalah Al Hadits telah menghitung para ahli fatwa dari kalangan shahabat kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut satu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus shahabat yang mencapai tingkatan mujtahid, dan ini pendapat yang lebih shahih. Jika keadaan di zaman para shahabat saja demikian adanya, maka bagaimana mungkin setiap muslim yang bisa membaca al Qur'an dan menelaah kitab-kitab berani berkata:
"Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita adalah manusia, tidak wajib bagi kita bertaqlid kepada mereka". Perkataan ini adalah perkataan yang rusak, sesat menyesatkan.
Padahal telah terbukti bahwa kebanyakan generasi salaf bukan mujtahid, melainkan mereka bertaqlid kepada para ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka.
Dalam kitab Shahih Bukhariyy diriwayatkan bahwa seseorang laki-laki disewa sebagai pekerja (buruh) oleh seorang majikan. Kemudian buruh ini di kemudian hari ternyata telah berbuat zina dengan istri majikannya. Kemudia ayah dari buruh ini bertanya tentang hukuman atas anaknya yang telah berzina tersebut. Ada yang mengatakan:
"Hukuman bagi anakmu adalah membayar seartus ekor kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan".
Kemudian sang ayah ini kembali bertanya kepada ahli ilmu, Mereka menjawab:
"Hukuman bagi anakmu dicambuk seartus kali dan diasingkan selama satu tahun (ini hukum bagi pezina ghoiru muhson)".
Akhirnya, Sang Ayah datang kepada Rasulullah ﷺ bersama majikannya (suami perempuan tadi) dan berkata: "Wahai Rasulullah ﷺ, sesungguhnya anakku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Ada yang berkata padaku hukuman bagi anakku adalah dirajam, lalu aku menebus seratus ekor kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada Ahli Ilmu dan mereka menjawab hukuman anakku adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab:
لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللّٰهِ، أمَّا الوَلِيْدَةُ والغَنَمُ فَرَدٌّ عَلَيْهِ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ (رواه البخاري)
Maknanya: "Sungguh Aku (Muhammad) akan memberi keputusan hukum bagi kalian berdua dengan kitabullah." (Kemudian Nabi bersabda kepada sang Majikan:) "Budak perempuan dan kambing tersebut dikembalikan kepadanya (Ayah dari buruh yang telah berzina)". (Kemudian Nabi bersabda kepada Ayah dari pezina tersebut:) "dan hukuman bagi anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (sejauh jarak qashr dari kampungnya) selama satu tahun". (HR Al Bukharoiyy).
Laki-laki tersebut sekalipun ia seorang shahabat, tetapi ia bertanya kepada para shahabat lainnya dan jawaban mereka salah. Lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama tersebut. Jika Rasulullah ﷺ memahamkan kepada kita bahwa sebagian shahabat, sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Rasulullah, namun mereka tidak memiliki fiqh, artinya kemampuan untuk menggali hukum dari hadits Nabi ﷺ. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan dari Nabi apa yang mereka dengar, sekalipun mereka memahami betul-betul bahasa Arab yang fusha (Bahasa Arab yang Baku/standar). Lalu bagaimanakah sikap orang-orang yang tidak berilmu dan banyak omong tersebut berani mengatakan: "Mereka para mujtahid adalah manusia dan kita juga manusia...". Mereka ini yang dimaksud adalah para ulama mujtahid, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Untuk kembali memahami Maksud dari Ijtihad dan Taqlid. Bisa dibaca selengkapnya di link tersebut.
