Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menafkahi Orang Tua, Anak dan Istri

Di dalam keluarga ada banyak tuntutan satu sama lain, yang selalu meminta hak daripada melakukan kewajibannya. Dan kebanyakan yang meminta ini adalah anak dan istri. Lalu apa sebenarnya kewajiban kita sebenarnya??

Ada hal yang perlu diperhatikan di dalam menafkahi keluarga. Ada kewajiban yang perlu dirinci dalam menafkahi keluarga. Kewajiban Laki-laki ketika sudah berkeluarga maka ada kewajiban menafkahi yang diperinci berdasarkan menafkahi Orang Tua, Anak dan Istri. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menafkahi ada yang selalu wajib dan ada yang wajib kondisional:

Laki-laki atau disebut suami yang selalu wajib dinafkahi adalah diri sendiri dan istri. Meski-pun istri kaya-raya tetap suaminya wajib memberinya nafkah. Soal kemudian si istri bilang tidak perlu dikasih, itu soal lain. 
Sedangkan, Orang tua dan anak hanya wajib dinafkahi ketika mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Apabila orang tua atau anak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, maka tidak lagi wajib dinafkahi. Ini yang dimaksud dengan wajib kondisional itu tadi. 
yang dimaksdu dengan orang tua di sini mencakup orang tua kandung, kakek-nenek, buyut dan ke atasnya. Kakek-nenek mencakup dari arah ayah atau ibu. Dan yang dimaksud anak di sini mencakup anak kandung, cucu, cicit dan terus ke bawah. Anak di sini juga mencakup semua anak, bukan hanya wajib atas anak pertama, anak terakhir atau anak paling kaya. 

Jadi, apabila misalnya ada anak yatim piatu, maka yang berkewajiban menafkahinya adalah kakek-neneknya. Demikian pula bila ada kakek-nenek yang anak-anaknya mati semua tapi mempunyai cucu, maka yang wajib menafkahi adalah cucunya. Apabila anak atau cucunya banyak, bisa iuran sesuai kemampuan masing-masing.
 
Dan apabila orang tua dan anak statusnya tidak wajib dinafkahi sebab sudah berkecukupan, maka pemberian untuk mereka masuk pada sedekah sunnah. 

Adapun anak yang sudah baligh, sehat dan juga mampu bekerja tetapi tidak bekerja maka nafkahnya bukan tanggungan orang tuanya lagi sebab dia terkena kewajiban menghidupi dirinya sendiri. Namun apabila diberi oleh orang tuanya, maka itu dihitung sebagai sedekah. Pengecualian dalam hal ini adalah anak yang tidak bekerja sebab sibuk menuntut ilmu agama yang fardhu 'ain, maka orang tuanya tetap berkewajiban menafkahinya. Bila ilmu yang dicari bersifat pendalaman, maka orang tuanya boleh memilih antara tetap menafkahi atau melepas anaknya yang telah dewasa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Apabila anak yang telah dewasa dan sehat dapat dilepaskan dan dipaksa untuk bekerja sendiri tanpa dinafkahi orang tuanya, maka kebalikannya tidak berlaku. Orang tua yang sudah berusia lanjut tidak dapat dipaksa oleh anaknya untuk terus bekerja sendiri mencukupi kebutuhan pokoknya sendiri meskipun masih sehat. Sehingga Apabila sudah tua renta dan sudah tidak bekerja lagi, maka kewajiban anak-anaknya-lah untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka.
 
Apabila orang tua dan anak statusnya wajib dinafkahi sebab kondisinya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hariannya sendiri, maka nafkah atas mereka wajib diberikan tanpa perlu izin siapa pun. Suami memberikan nafkah wajib untuk orang tuanya tidak perlu izin istri. Istri memberi nafkah wajib untuk orang tuanya juga tidak perlu izin suami. Dengan catatan:
  • Yang dipakai adalah uang pribadi si suami atau si istri
  • Pemberi nafkah dalam kondisi punya kelebihan dari kebutuhan pokoknya dalam sehari semalam.
Kewajiban nafkah tersebut tidak dapat gugur dengan alasan takut istri/suami marah. 

Apabila semua pihak sama-sama susah tidak mampu memberi nafkah orang lain sebab kebutuhan pokok dirinya sendiri (plus istri dan anaknya) dalam sehari semalam tidak ada, maka tidak ada yang berkewajiban memberi nafkah. Masing-masing harus bersabar dan berjuang untuk dirinya sendiri.

2. Kisah Nafkahi Keluarga

Ada sebuah kisah nyata dari Negeri Lebanon. Kisah ini datang dari salah satu murid Syeikh Abdullah Al Harari, beliau adalah Syeikh Ali, ketika pembangunan kampus Global University telah rampung, beliau berkeinginan untuk menetap di asrama agar lebih fokus dalam belajar ilmu agama, akan tetapi ketika itu beliau sudah menikah, tentu hal ini menjadikan pertimbangan besar, belum lagi ada yang mengatakan kepada beliau "kalau kamu belajar disana, darimana kamu akan memberi makan istrimu"..  tentu hal ini membuatnya semakin dilema. 

Pada akhirnya beliau pergi ke rumah Syeikh Abdullah untuk meminta solusi, ketika itu Syeikh sedang mengajar, duduklah beliau mendengarkan ceramah Syeikh. Namun tiba-tiba di tengah-tengah ceramah Syeikh Abdullah mengatakan :
من عمل لآخرته كفاه الله أمر دنياه 
" Barangsiapa yang beramal untuk akhirat-nya, maka Allah cukupkan perkara dunia bagi-nya ."

Seketika itu, Syeikh Ali kaget mendengar kata-kata Syeikh Abdullah, bagaikan gayung bersambut, seolah-olah Syeikh Abdullah tahu apa yang sedang beliau alami bahkan sebelum dia mengadukanya kepada Syeikh. Semakin mantablah keinginannya untuk belajar dan tinggal di kampus, benar saja ketika beliau dirumah, ibu mertua-nya mengatakan kepada beliau "Kamu belajar-lah disana, biar saya yang menanggung nafkah istri kamu sampai kamu lulus."

Ini adalah sepenggal kisah dimana hanya ilmu agamalah yang bisa menyelamatkan kita dalam permasalahan apapun di dunia ini. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Menafkahi Orang Tua, Anak dan Istri"