Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah Tashawwuf Yang Sesungguhnya

Salah seorang kenamaan dari madzhab maaliki, Al Imam Al Faqih Ibnu Jamaah Al Harowi Al Maaliky Mālikiy (Tunisia, w. 742 H), beliau diminta salah seorang muridnya untuk mengarang kitab tashawwuf


Lantas apa yang beliau lakukan? 

Beliau justru mengarang buku tentang hukum-hukum jual beli (Al Buyū^). Lalu, Ada yang menganggap nya aneh dan bertanya; 

"Kenapa Panjenengan tidak mau memenuhi permintaan kami, yaitu mengarang kitab tashawwuf? Dan Justru menulis tentang jual beli." 

Beliau menjawab:

هذا هو التصوف لأن مدار التصوف على أكل الحلال ومن لم يعرف أحكام المعاملات لا يسلم من أكل الحرام بالربا والبيوع الفاسدة 

"Ini justru kitab tashawwuf yang sesungguhnya! Karena inti dari tashawwuf adalah mengonsumsi perkara yang halal (yakni melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan syariat). Karena siapapun yang tidak mengetahui hukum-hukum mu^āmalah -- yang sesuai dengan tuntutan para ulama terpercaya-- ia tidak akan selamat dari memakan yang haram dan transaksi-transaksi yang rusak (melakukan sesuatu yang tidak bersesuaian syariat)."

Senada dengan ungkapan ^Umar bin Al Khoththōb --rodliyallāhu ^anhu-- : 

لا يقعُد في سوقنا هذا الا من تفقه في الدين -- عمر بن الخطاب --

"Tidak boleh; tidak-lah patut duduk [bertransaksi] di pasar kami ini, kecuali orang yang sudah mengetahui (ilmu) hukum-hukum agama --tentang jual beli bagi para pedagang--" 

Sebagaimana dawuh Sayyidunā °Umar, sebelum melakukan sesuatu, umat Islam diwajibkan mengetahui -- dengan cara mengaji -- tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan-nya. Semisal bertani, berdagang, beternak, sewa-menyewa, gadai dan lain sebagainya. Dengan mempraktekkan ilmu, siapapun ia, maka ia adalah shufiy. Apapun profesi nya. 

Sebagaimana pengendika Al Junayd Ibnu Muhammad Al Baghdadiy, Sayyid Ath Thō-ifah Ash Shufiyyah; pemimpin kaum shufiy --di jaman-nya--, tashawwuf bukan-lah sekedar 'Qīla wa Qōla' 

التصوف ليس عبارة عن القيل والقال 

"Tashawwuf sejati bukan hanya sebatas pengetahuan --maqom tashawwuf ini-- maksudnya begini dan tokoh Fulan mengatakan bahwa maqom tashawwuf ini maksudnya begini." Sama sekali bukan! 

Dalam ajaran Islam yang agung itu, menurut nya -- rodliyallāhu 'anhu-- tashawwuf dapat ditemukan dengan menyedikitkan tidur, yakni mempraktekkan ilmu yang telah didapatnya misalnya dengan cara menghidupkan malam dengan kegiatan yang bermanfaat (sahr al layāliy). Dan menahan lapar; memperbanyak lapar. 

Bagi mereka kaum sufi hakiki, perkara yang wajib telah tuntas dilaksanakan, mereka telah lunas meninggalkan perkara yang dilarang, istiqomah dalam menjalankan ibadah yang sunnah. Bahkan perkara yang mubah pun ditinggalkan demi terhindar dari perkara yang syubhat; samar halal atau haram nya. 


Tashawwuf bukan-lah ajaran yang sama sekali terpisah dari fiqh. Justru fiqh adalah landasan bertashawwuf bagi siapapun. Bukan hanya ulama, kyai atau santri.

Tashawwuf adalah shofā- Al mu^āmalah (mu^āmalah yang jernih). Berkata, bertindak, berkeyakinan yang jernih, terbebas dari segala hal yang mengotori, yang sesuai dengan tuntunan para ulama-kyai yang kompeten. Bukan yang keruh; yang tak bersesuaian dengan ajaran Nabi dan para penerus-nya hingga sekarang. Tashawwuf dapat dipraktekkan oleh siapapun, kapan pun, dimana pun dalam keadaan apapun. Tentu hanya dapat dilaku-lampah kan oleh mereka yang telah berilmu secara memadai!! 

Pendeknya, tashawwuf adalah bagian integral fiqh. Tanpa ilmu agama yang dloruri, ^ilmu al hāl, ilmu paling minim yang wajib ^ayn dipahami oleh setiap mukallaf, bagaimana mungkin ia dapat meraih derajat shufiy?!! Mustahil! 

Bagaikan orang orang yang gembar-gembor 'hijrah' namun tidak tau arti hijrah sebenarnya dan bingung memulai nya dari mana? 

(Disarikan dari Syarh Masā-il Ibn Jamā^ah Al Tūnisiy Fī Al Buyū^ dan berbagai sumber lain.)

---------

Diantara kesesatan baru yang dimunculkan oleh kelompok Wahhabiyyah adalah penghinaan mereka terhadap tasawwuf dan para sufi secara keseluruhan. Dalam hal ini mereka telah menyalahi apa yang dikemukakan oleh panutan mereka sendiri yaitu Ibnu Taimiyyah, sebagaimana terdapat dalam kitab Syarh Hadits Nuzul bahwasanya Ibnu Taimiyyah memuji al-Junaid dan mengatakan bahwa beliau adalah Imam Huda (imam pembawa petunjuk).

Mereka juga menyalahi pendapat Imam Ahmad, karena Imam Ahmad diceritakan pernah bertanya kepada Abu Hamzah dengan perkataan beliau: “Apa yang kamu katakan wahai sufi?”. Pengingkaran mereka secara muthlaq ini menunjukkan akan kebodohan dan kesembronoan mereka. Sufi adalah orang yang selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah, menjalankan kewajiban, meninggalkan hal-hal yang diharamkan serta menjauhi kemewahan baik dalam pangan, sandang atau kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.

Sikap Tashawwuf

Sifat semacam inilah yang dimiliki oleh al-khulafa ar-Rasyidin, oleh karena itu Abu Nu’aim menyusun kitabnya yang berjudul hilyatul auliya dan memulainya dengan menyebutkan al-khulafa ar-Rasyidin, dengan tujuan untuk menujukkan siapa saja yang benar-benar sufi dari beberapa orang yang hanya mengaku-ngaku sufi, karena pada saat itu tersebar kesesatan dari beberapa orang dalam bertasawwuf, dan banyak sekali orang-orang yang mengaku sufi, padahal mereka sama sekali bukanlah ahli tasawwuf.

Orang-orang Wahhabi hendaklah mengetahui bahwasanya mereka sembrono dalam menghukumi tasawwuf, apa salahnya jika harus ada gelar “sufi”, sementara para ulama seperti Ibnu Hibban banyak sekali menyebutkan para perawi yang terkenal dengan kesufiannya, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya: “Menceritakan kepada kami Musa ibn Khalaf dan beliau termsuk wali abdal”.

Begitu juga al-Baihaqy yang banyak meriwayatkan hadits dari ar-Raudzabary salah seorang sufi terkenal yang juga murid dari Imam al-Junaid ibn Muhammad radliyallahu ‘anhuma. Kalau pengingkaran mereka itu hanya bertolak dari adanya gelar “sufi” maka seharusnya mereka juga mengingkari adanya sebutan “Syeikh …..”, karena pada masa-masa awal kebangkitan Islam sama sekali tidak dikenal adanya gelar “syeikh” untuk para ulama, begitu juga gelar “Syaikhul Islam” bagi beberapa ulama yang hidup setelah abad ketiga Hijriyyah, lalu apa bedanya antara “sufi” dengan “syeikh”, dan larangan seperti apakah yang mencegah adanya penggunaan istilah baru selama istilah tersebut tidak bertentangan dengan syara’, sementara para ahli nahwu sendiri telah membuat istilah-istilah baru dalam hal i’rab, seperti:

لا يجوز كذا، يجب كذا

Adapun jika mereka menyalahkan gaya hidup para sufi yang selalu meninggalkan tana’um, maka berarti mereka juga menyalahkan para nabi, karena gaya hidup yang seperti itu juga diterapkan oleh para nabi dalam kehidupan mereka. Seperti Nabi Isa ‘alaihissalam yang diceritakan bahwasanya beliau hanya makan daun-daunan mentah dan hanya memakai pakaian dari bulu.

Begitu juga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki kebiasaan selama satu atau dua bulan tidak pernah makan makanan yang dimasak dan hanya makan kurma dan minum air. Sepantasnya bagi orang-orang Wahhabi untuk dikatakan kepada mereka sebuah bait sya’ir yang berbunyi:

وإذا لم تر الهلال فسلم # لأناس رأوه بالأبصار

Maknanya: “Jika kamu tidak bisa melihat bulan sabit, maka percayalah pada orang-orang yang telah melihatnya dengan mata kepala mereka”.

Kalau seandainya mereka berkata bahwa hal itu bertentangan dengan firman Allah ta’ala:

قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق

Maknanya: “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”.

Maka kita katakan kepada mereka: bedakan antara apa yang kalian pahami dengan pengertian tasawwuf yang sebenarnya, sesungguhnya para sufi sama sekali tidak mengharamkan tana’um pada perkara-perkara yang dihalalkan, tapi mereka hanya meninggalkan tana’um, karena mereka ingin mencontoh para nabi, dan karena memang ada hikmah-hikmah tertentu yang bisa mereka petik dari hal itu, diantaranya: meninggalkan tana’um bisa membantu seseorang menghilangkan sifat egois, juga bisa menumbuhkan sifat sabar dalam menghadapi kebangkrutan misalnya, menumbuhkan sifat ridlo dalam menjalani segala ketentuan (qadla) Allah dan menjauhkan diri dari sifat marah dalam menjalani segala ketentuan Allah.

Bantahan Terhadap Kelompok Anti Tasawuf

Kaum sufi adalah salah satu kelompok dalam Islam yang sangat banyak mendapatkan tantangan. Secara garis besar, tasawuf setidaknya menghadapi dua tantangan besar. Pertama; serangan dari dalam. Kedua; serangan dari luar, yaitu dari kelompok-kelompok anti tasawuf itu sendiri.

Kelompok pertama; Serangan berasal dari arah dalam layaknya musuh-musuh di dalam selimut. Mereka merusak sendi-sendi tasawuf dari dalam dengan manghancurkan ajaran-ajaran syari’ah dan akidah. Walaupun dalam bentuk pengrusakan yang sangat halus, bahkan mungkin dianggap tidak merugikan, namun kelompok pertama ini lebih berbahaya dari pada kelompok kedua.

Jika kelompok kedua; mereka yang menentang tasawuf dapat dilihat secara fisik dan dengan kasat mata, maka kelompok pertama ini mungkin oleh sebagian orang Islam tidak dirasakan, terutama oleh kaum awam.

Karena itu, kelompok pertama ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam tercemarnya tasawuf, terutama dalam pengaruh perkembangannya pada masyarakat awam. Masuk dalam daftar kelompok pertama ini adalah faham-faham yang sengaja dimasukkan oleh kaum filsafat ke dalam tasawuf.

Diantara implikasi yang ditimbulkannya adalah munculnya penamaan tasawuf filosofis yang dilemparkan para kritikus tasawuf. Menurut mereka bahwa tasawwuf filosofis adalah hasil dari persentuhan tasawuf dengan unsur-unsur filsafat Yunani yang dibawa oleh kaum sufi sendiri.

Bantahah Kepada Yang Anti Tasawuf

Masih menurut sebagian kritikus, tasawuf dalam tataran filosofis ini membawa faham yang sedikit banyak bersebrangan dengan ajaran-ajaran syari’at, dan itu, -menurut mereka-, secara yuridis adalah sesuatu yang legal dan dapat dibenarkan. Klaim ini jelas tidak menguntungkan bagi tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengajarkan untuk selalu berpegang teguh dengan syari’at Islam.

Masih dalam daftar kelompok pertama, kerugian yang dialami tasawuf dari dalam adalah masuknya faham-faham yang diusung oleh para sufi gadungan. Sebagaimana halnya setiap komunitas disiplin ilmu, ada yang sejati yang benar-benar kompeten dalam bidangnya, namun dan ada pula yang palsu.

Demikian pula dalam komunitas tasawuf, ada komunitas sufi sejati (ash-Shûfiyyah al-Muhaqqiqûn), dan ada pula komunitas sufi gadungan (al-Mutashawwifah al-Dajjâlûn). Di antara faham-faham yang diusung oleh kaum sufi gadungan ini adalah keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd. Kenyataan ini jelas tidak hanya mencederai tasawuf tapi juga merusak ajaran Islam secara keseluruhan.

Belum lagi termasuk penampilan fisik dan pakaian para sufi gadungan tersebut yang sulit dibedakan dari kaum sufi sejati, hal ini ikut memberikan pengaruh dan citra buruk yang cukup besar terhadap tasawuf, terutama implikasinya terhadap kalangan awam.

Adapun kerugian yang dialami tasawuf dari luar adalah dalam bentuk serangan-serangan dari kaum anti tasawuf itu sendiri. Kebencian kelompok kedua ini terhadap tasawuf sangat membabi buta, hingga tidak jarang mereka melemparkan klaim kafir terhadap para pengikut tarekat atau para pengikut tasawuf. Walau tasawuf itu sendiri tidak terpengaruh oleh gugatan-gugatan mereka, namun pengaruhnya pada orang-orang awam cukup berarti.

Termasuk kelompok kedua yang merupakan tantangan bagi tasawuf dari luar adalah faham-faham yang disebarkan oleh sebagian golongan bahwa para ulama sufi tidak sejalan dengan ulama syari’ah. Pemerian dikotomi antara ilmu tasawuf dan ilmu syari’at semacam ini jelas tidak memiliki dasar sama sekali. Biasanya serangan semacam ini dilemparkan oleh orang-orang yang tidak paham benar hakekat tasawuf.

Tudingan ini biasa dilemparkan oleh orang-orang yang secara gelap mata membenci tasawuf dan para ulamanya. Yang ada pada hati para pembenci tasawuf ini tidak lain hanya keinginan untuk memberangus tasawuf. Kebencian mereka sangat jelas dalam ungkapan-ungkapan mulut dan tulisan-tulisan mereka [1].

Kita katakan kepada mereka, para ulama sufi tidak lain adalah para ulama syari’ah, dan sebaliknya para ulama syari’ah tidak lain adalah para ulama sufi sendiri. Hampir semua kitab yang ditulis tentang biografi kaum sufi nama-nama yang dikutip di dalamnya tidak lain adalah para ulama syari’ah. Misalkan seperti Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i; perintis madzhab Syafi’i, Abu Hanifah al-Nu’man Ibn Tsabit; perintis madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas; perintis madzhab Maliki dan Ahmad Ibn Hanbal; perintis madzhab Hanbali dan para ulama syari’ah lainnya, tidak lain mereka adalah juga para ulama sufi [2].

Kita katakan pula kepada para pembenci tasawuf tersebut, pemimpin tertinggi kalian yang kalian anggap sebagai Imam; Ahmad Ibn Taimiyah al-Harrani sangat menghormati al-Junaid al-Baghdadi. Ia menyebut al-Junaid sebagai “Imâm al-Hudâ”. Lalu siapakah al-Junaid?! Semua orang terpelajar sudah pasti tahu bahwa beliau adalah seorang sufi besar, bahkan pemuka kaum sufi.

Kemudian Imam Ahmad Ibn Hanbal, yang kalian anggap dengan kedustaan kalian sebagai Imam madzhab bagi kalian, sama sekali tidak membeci para ulama sufi, bahkan menghormati mereka. Bila Imam Ahmad menghadapi suatu masalah maka ia akan meminta komentar dari Abu Hamzah dengan berkata: “Bagaimana pendapatmu wahai sufi?” [3].

Dari sini kita katakan kepada para pembenci tasawuf, siapakah yang kalian ikuti?! Apakah kalian bersama Ibn Taimiyah atau bersama Imam Ahmad Ibn Hanbal?! Atau memang kalian membawa ajaran dan keyakinan sendiri?! Bahaya apakah bagi syari’at Islam dari penamaan tasawuf, atau menamakan seorang yang saleh dengan sufi?! Ibn Hibban dalam kitab Shâhîh-nya (al-Ihsân Bi Tartîb Shâhîh Ibn Hibban) banyak mengambil periwayatan haditsnya dari orang-orang yang dikenal sebagai kaum sufi.

Demikian pula Imam Ahmad dalam Musnad-nya, beberapa periwayatan haditsnya mengambil dari kaum sufi. Lalu Imam al-Baihaqi, beliau banyak sekali mengambil periwayatan haditsnya dari Abu ‘Ali ar-Raudzabari yang notabene seorang sufi terkemuka. Bahkan orang disebut terakhir ini adalah salah seorang pemuka dan pemimpin kaum sufi, beliau adalah murid dari al-Junaid al-Baghdadi.

Kemudian jika para pembenci tasawuf tersebut mengingkari istilah “sufi” atau “tasawuf” dari segi panamaan belaka karena dianggap tidak pernah ada sebelumnya (bid’ah), maka kita katakan kepada mereka: “Di dalam Islam banyak sekali nama-nama atau istilah-istilah yang dahulu tidak pernah ada, seperti istilah “Syaikh” bagi seorang yang alim, atau “Syaikh al-Islâm” atau apapun namanya yang bahkan kalian sendiri mempergunakannya.

Demikian pula penamaan disiplin-disiplin ilmu, seperti Ilmu Sharaf, Ilmu Nahwu, Ilmu Balghah, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan lainnya, nama-nama tersebut adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya”.

Kemudian jika para pembenci tasawuf tersebut mengingkari tasawuf dan orang-orang sufi hanya karena bahwa mereka meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi, maka berarti mereka telah mengingkari keteladanan-keteladanan yang dicontohkan oleh para Rasul bagi umatnya.

Bukankah Rasulullah mencontohkan hidup zuhud?! Bukankah hal itu juga diajarkan oleh seluruh para nabi Allah?! Lihat misalkan perjalanan hidup nabi Isa yang dipenuhi dengan perjuangan dalam menegakan tauhid dan menjauhi kesenangan-kesenangan duniawi. Diriwayatkan bahwa nabi Isa tidak memiliki harta benda, rumah, keluarga, bahkan makanan yang beliau makan hanya berasal dari daun-daunan, dan pakaian yang beliau pakai hanya berasal dari bulu binatang yang kasar.

Lihat pula keteladanan yang dicontohkan nabi kita; nabi Muhammad, rumah beliau hanya terbuat dari kayu atau batang kurma yang sangat sederhana, beliau tidur dengan hanya dengan beralaskan pelepah-pelepah kurma kering, dapur beliau terkadang satu bulan hingga dua bulan tidak pernah tersentuh api karena tidak ada bahan yang hendak dimasaknya, makanan yang seringkali beliau makan hanyalah air putih dan kurma saja.

Demikian pula dengan seluruh para Nabi Allah tidak ada seorangpun dari mereka yang mementingkan kesenangan duniawi.

Firman Allah yang sering disalah artikan oleh para penyerang tasawuf:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ (الأعراف: 32)

“Katakanlah wahai Muhammad: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan bagi para hamba-Nya dan siapakah yang megharamkan kebikan-kebaikan dari rizki-Nya?!”. (QS. al-A’raf: 32)

Ayat ini seringkali dijadikan dalil oleh mereka untuk menyerang kaum sufi yang meninggalkan kesenangan dunia tersebut. Pemahaman mereka terhadap ayat ini jelas salah kaprah dan sangat keliru. Kita harus membedakan antara pemahaman “mengharamkan sesuatu yang halal” dan “meninggalkan sesuatu yang halal”. Para ulama sufi sejati tidak seorangpun dari mereka yang mengharamkan sesuatu yang nyata halal di dalam syari’at.

Namun mereka hanya meninggalkan kebanyakan perkara-perkara halal, untuk tujuan meneladani apa yang telah dicontohkan para nabi, karena meninggalkan kesenangan dunia akan sangat membantu dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah, melatih kesabaran, mendidik sikap ridla dengan segala ketentuan Allah, serta banyak faedah-faedah lainnya. Lebih dari cukup bagi kita sebagai bukti bahwa meninggalkan kesenangan duniawi adalah keteladanan yang telah contohkan oleh Rasulullah.

Imam Abu Nashr as-Sarraj dalam al-Luma’ membuat sebuah sub judul bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf tidak memiliki landasan al-Qur’an dan Sunnah. Beliau menyebutkan bahwa dalam al-Qur’an dan Hadits banyak ditemukan teks-teks yang dapat dijadikan dalil bahwa tasawuf memiliki landasan yang sangat kuat.

Dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata seperti ash-Shadiqîn, al-Qânitîn, al-Khâsyi’în, al-Muqinîn, al-Mukhlishîn, al-Khâ’ifîn, al-Muhsinîn, al-‘Abidin, al-Sâ’ihîn, al-Shâbirîn, al-Mutawakkilîn, al-Mukhbitîn, al-Muqarrabîn, al-Abrâr, al-Auliyâ’ dan lainnya. Kemudian dalam banyak hadits juga disebutkan beberapa sifat dari kalangan sahabat dan dari kalangan tabi’in.

Seperti sahabat ‘Umar Ibn al-Khaththab yang oleh Rasulullah disabdakan:

إنّ مِنْ أُمّتِي مُكَلَّمِيْنَ وَمُحَدَّثِيْنَ، وَإنّ عُمَرَ مِنْهُمْ

“Sesungguhnya dari umatku terdapat Mukallamin dan Muhaddatsin [diberi karunia oleh Allah untuk mengetahui beberapa rahasiah], dan sesungguhnya Umar adalah termasuk dari mereka”.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:

رُبَّ أشْعَثَ أغْبَرَ مَدْفُوْعٌ إلَى الأبْوَابِ لَوْ أقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصّحِيْح)

“Berapa banyak orang yang berpenampilan lusuh, compang-camping dan berdebu, terusir dari pintu-pintu, padahal bila mereka bersumpah kepada Allah maka Allah akan mengabulkannya”. (HR. Muslim dalam kitab Shâhîh-nya)

Tentang seorang manusia terbaik dikalangan tabi’in bernama Uwais al-Qarani, Rasulullah menggambarkannya dalam sebuah hadits:

يَدْخُلُ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أمّتِي الْجَنَّةَ مِثْلُ رَبِيْعَةَ وَمُضَرٍ، وَيُقَالُ لَهُ أوَيْسٌ القَرَنِيّ

“Akan masuk surga segolongan manusia sejumlah orang-orang dari kabilah Rabi’ah dan kabilah Mudlar dengan hanya syafa’at satu orang dari umatku, orang itu adalah Uwais al-Qarani”.

Teks-teks al-Qur’an dan hadits nabi dalam menyebutkan sifat-sifat di atas, dan beberapa teks lainnya yang cukup banyak jumlahnya, semuanya membicarakan tentang satu golongan dari umat Muhammad ini yang tidak lain mereka adalah kaum sufi. Sudah barang tentu orang-orang yang digambarkan dalam teks-teks hadits tersebut bukan isapan jempol belaka, dan orang-orang yang disinggung di dalamnya bukan sosok-sosok fiktif.

Namun itu semua adalah gambaran nyata tentang sifat-sifat kaum sufi. Dan oleh karena sifat-sifat semacam itu merupakan teladan yang diajarkan oleh Rasulullah maka usaha-usaha untuk meraihnya akan terus ada dalam setiap zamannya, sesuai dengan keberlangsungan berlakunya ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah sepanjang masa. Penyebutan sifat mereka dalam al-Qur’an dan hadits inilah yang menjadikan mereka memiliki keistimewaan atas orang-orang mukmin lainnya. Itulah yang dimaksud dengan orang-orang sufi [4].

_________

[1] Termasuk dalam daftar pembenci tasawuf adalah kelompok Wahhabiyyah. Secara membabi buta dan dengan emosi serta tanpa alasan yang jelas mereka menyerang tasawuf dari berbagai segi. Ungkapan-ungkapan mereka tidak hanya menyulut permusuhan, tapi juga sangat provokatif, buruk dan norak. Sebagian mereka berkata: “Tidaklah seseorang masuk dalam tasawuf di pagi hari kecuali di sore harinya akan menjadi gila”. Sebagian orang dari kelompok Wahhabiyyah ini menamakan dirinya dengan kelompok Salafi, karena -menurut mereka- membawa misi untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran ulama Salaf. Sebenarnya nama yang pantas untuk mereka adalah kelompok Talafi; kelompok perusak akidah dan syari’ah.

[2] Lihat misalkan dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ karya asy-Sya’rani, Hilyah al-Auliyâ’ karya Abu Nu’aim dan lainnya; para ulama syari’at tidak lain adalah para ulama sufi sendiri. Karena itu dalam kebanyakan definisi seorang sufi adalah seorang yang mengetahui ajaran-ajaran syari’at dan konsisten mengamalkannya.

[3] Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 395

[4] Penjelasan lebih luas pendapat as-Sarraj lihat al-Luma’…, h. 390-408

Posting Komentar untuk "Inilah Tashawwuf Yang Sesungguhnya"