Kajian Kritis Kisah Tongkat dan Tasbih Pada Detik Pendirian NU
Kajian Kritis Kisah Tongkat dan Tasbih Pada Detik Pendirian NU
Ditulis Oleh : Kholili Kholil
Selain kisah tongkat dan tasbih, salah satu kisah masyhur tentang detik-detik menjelang berdirinya NU adalah kisah kegelisahan 60-an ulama dari seluruh Nusantara. Satu-satunya informan tentang seluruh kisah ini adalah Kiai As’ad. Dalam sebuah rekaman yang hingga hari ini masih bisa didengarkan [1], Kiai As’ad menyebutkan 60-an ulama (termasuk Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan lain-lain) datang ke Bangkalan untuk acabis (bahasa Madura untuk kata ‘sowan’) ke Kiai Khalil. Karena segan untuk langsung menghadap ke Demangan, para kiai tersebut pergi menuju menantu beliau, Kiai Muh. Taha Jàngkèbuàn — akrab disebut Ndoro Muntaha (kata ‘ndoro’ atau dhàràh dalam dialek Madura adalah ‘gus’ di Madura pada masa itu — belum ada istilah ‘lora’ sependek pengetahuan saya).
Syahdan-lau kemudian, di langgar Jàngkèbuàn, tiba-tiba kabhulà’àn (santri dekat) Kiai Khalil datang. Kiai As’ad bahkan menyebut nama kabhulà’àn tersebut, yakni Nasib. Dhàràh Nasib membawa pesan dari Kiai Khalil: Surat Al-Ṣaff ayat 8 (bisa juga Surat Al-Taubah ayat 32). Tak lama pasca kejadian tersebut, Kiai As’ad diutus membawa pesan berupa tongkat dan surat Ṭāhā ayat 17 – 21. Puncaknya, pada tahun 1924 M akhir, Kiai As’ad diutus lagi oleh Kiai Khalil untuk pergi ke Tebuireng menyampaikan tasbih dan “Yā Jabbār, yā Qahhār … “
Ada kajian kritis mengenai kisah ini, setidaknya ada tiga argumen atau pendapat akan kisah tersebut.
Argumen pertama:
Keluarga di Jàngkèbuàn adalah keluarga yang dikenal rapi dalam mencatat sesuatu. Ketika saya melihat perpustakaan Kiai Taha, yang kini diampu oleh cicitnya, Kiai Syamsuddin, saya terkejut melihat semua kejadian dan momen dicatat sedemikian rapi. “Tanggal sekian, bulan sekian, datang Kiai Fulan dari Kabupaten Fulani berkunjung,” demikian Kiai Taha mencatat. Bahkan ayam dijual saja dicatat oleh beliau. Lebih dari itu, jam dinding yang baru didapat pun oleh beliau diberi goresan tinta.
Termasuk pertemuan Kiai Hasyim, Kiai Wahab Hasbullah, dan lainnya, ternyata pernah dicatat oleh Kiai Taha. Catatan itu berbunyi:
وقعت الجمعية الانتظامية في لنغر جعكيبون بحضور رئيس جمعية نهضة العلماء الشيخ هاشم أشعري وعبد الوهاب وحضر من أهل [الـ]بلاد القاضي محمد صداقة والسيد أحمد الجفري وغيرهم من الأعيان وذلك ليلة الأربعاء رابعةَ ذي الحجة المباركة سنة ١٣٤٩
“Terjadi rapat konsolidasi di Langgar Jàngkèbuàn dihadiri Rais Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Syaikh Hasyim Asy’ari dan Abdul Wahhab. Hadir pula para pembesar dari berbagai daerah, di antaranya Al-Qāḍī Muhammad Ṣadāqah, Sayyid Ahmad Aljufri, dan lain-lain. Hal itu terjadi pada malam Rabu, tanggal 4 Dzulhijah, tahun 1349 H.”[2]
Catatan Kiai Taha, salah satu mustasyar pertama Nahdlatul Ulama [3] ini bertarikh 1349 H alias 1931. Itu artinya perkumpulan yang dimaksud Kiai As’ad sudah lewat 6 tahun pasca Kiai Khalil wafat. Bisa saja pertemuan ulama itu terjadi dua kali, namun sejauh informasi yang saya dapat, belum ada catatan yang mendukung hal ini.
Mari kita beralih ke argumen kedua:
Ada beberapa catatan-catatan primer menyangkut hal ini. Catatan primer tentang kronologi berdirinya NU yang terawal adalah Oetoesan Nahdlatul Oelama edisi pertama. Majalah ini sama sekali tidak menyebutkan kisah tongkat dan tasbih. [4] Sama dengan Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Berita Nahdlatoel Oelama dalam edisinya yang keempat tahun kedelapan memuat sebuah artikel berjudul “Riwajat dan Djasa N.O.” tidak menyebut kisah tongkat dan tasbih. [5] Dalam buku “Kiai Hasjim Asjari Bapak Umat Islam Indonesia”, Akarhanaf (Abdul Karim Hasyim) juga tidak menyebutkan kisah ini. [6]
Kisah ini juga tidak saya jumpai dalam catatan Kiai Abdul Chalim Leuwimunding tentang sejarah NU. [7] Mas Ayung Notonegoro memberi saya informasi bahwa dalam buku khusus tentang sejarah NU terawal karya Sofyan Cholil, kisah ini juga tidak ditemukan. Kisah ini baru muncul di buku Choirul Anam, “Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama”. [8] Dalam catatan kakinya, Cak Anam menyebutkan bahwa kisah tersebut dituturkan secara lisan oleh Kiai As’ad kepadanya pada tahun 1982. Cak Anam menduga, kisah tersebut muncul untuk meredam kubu Kiai Idham Chalid dan Kiai Ali Ma’sum.
Argumen ketiga adalah
Tentang sikap-sikap santri dekat Kiai Khalil terhadap NU. Memang mayoritas santri Kiai Khalil adalah pengurus NU generasi awal. Namun ada di antara santri dekatnya yang menolak untuk bergabung ke NU. Di antara santrinya itu adalah Kiai Mas Mansur, ketua umum Muhammadiyah keempat (1937-1942 M). Kiai Mas Mansur adalah termasuk santri dekat dan bahkan hafal Alfiyah di bawah bimbingan Kiai Khalil. Lebih dari itu, ayah beliau, Kiai Ahmad Marzuki Sawahan, adalah santri yang mondok di Kiai Khalil lama sekali. [9]
Santri Kiai Khalil selanjutnya yang menolak bergabung ke NU adalah Kiai Ahmad Qusyairi. Dalam tulisan sebelumnya di laman Facebook saya, sudah saya sebutkan bahwa Kiai Ahmad Qusyairi, ayahnya, dan putranya adalah santri Kiai Khalil. Namun demikian, ketika diajak bergabung ke NU, Kiai Ahmad menggubah syair tiga bait yang diawali:
إني اعتذرت لمن قيل هم العلما * لدى محافل تدعى نهضة العلما
“Saya mohon maaf kepada orang-orang yang katanya ulama — di perkumpulan-perkumpulan mereka menamakan diri Nahdlatul Ulama.” [10]
Santri beliau selanjutnya yang menolak NU adalah dua bersaudara Kiai Abdullah dan Kiai Muhammad Pasuruan. Nama-nama terakhir ini, juga ayahnya, juga saudara-saudaranya adalah santri Kiai Khalil [11]. Namun demikian, keduanya bersepakat menolak NU dan bahkan membuat kitab khusus tentang ini. [12]
Yang hendak saya katakan dari argumen ketiga ini adalah bahwa andaikan kisah tongkat dan tasbih itu faktual, maka tentu kisah tongkat dan tasbih ini akan muncul lebih awal dari tahun ‘80-an. Sekian.
Ref:
[1] Mengenai kisah ini, lihat rekaman asli Kiai As’ad berikut: https://youtu.be/kBzl3wmJEy4?si=d1yxQkaUT7TKjghB diakses pada 27 Juli 2025 pkl. 18.33.
[2] MS, Jàngkèbuàn. Lihat foto pertama.
[3] Al-Qanūn Al-Asāsī li Jam’iyyat Nahḍat al-‘Ulamā’ hlm. 15-16
[4] Oetoesan Nahdlatoel Oelama vol. i, no. i, hlm. 12
[5] BNO, no. iv, thn. viii, hlm. 59
[6] Kiai Hasjim Asjari Bapak Umat Islam Indonesia, Akarhanaf, Djombang, 1949.
[7] K.H. Abdul Chalim, Sejarah Perjuangan Kiyāhī Ḥāj ʿAbd al-Wahhāb, Bandung, Percetakan Baru, tt. mulai hlm. 13
[8] Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, Surabaya, Duta Aksara Mulia, hlm. 72-73. Lihat juga catatan kaki nomor 81
[9] Sālim b. Jindān, Al-Sāmī fī Muʿjam al-Asāmī, MS. Al-Fachriyyah, vol. i, hlm. 15
[10] MS. KH. Aḥmad Qusyairī, di kediaman Kiai Hamid Ahmad, tt. Lihat foto kedua.
[11] AA. Alboneh, Al-Qalam, vol. x, no. ii, 1998, hlm. 28-31. Mengenai Kiai Yasin b. Rais, ayah Kiai Abdullah dan Kiai Muhammad, sebagai santri Kiai Khalil, lihat: Yāsin b. Īsā Al-Fādānī, MS. Lajnah Turāth, hlm. 6
[12] Di antaranya adalah: Al-Fatḥ Al-Raḥmānī, MS. Wizārat al-Ḥajj, Makkah, di rak Fiqh Mālikī, nomor panggil 126. Al-Ijādah fī al-Radd ʿAlā al-Ziyādah, Pasuruan: Al-Sunniyyah, 1934 M. Al-Ḥujaj Al-Bālighah, Pasuruan: Al-Sunniyyah, 1931 M. Al-Qaul Al-Ajma’, MS. Jàngkèbuàn. Semuanya karya Kiai Abdullah b. Yasin. Serta bantahan Kiai Muhammad b. Yasin terhadap NU, Al-Bayyināt, Pasuruan: Al-Sunniyyah, 1931 M. Untuk syair Kiai Abdullah mengkritik NU, lihat foto ketiga.
Lalu Bagaimana Kisah Tongkat dan Tasbih tersebut beredar? berikut adalah kajian kritis yang dsitulis oleh Ayung Notonegoro, berikut kisahnya:
Dalam tradisi Nahdlatul Ulama – dan sebagian besar umat Islam – mengenal istilah istikharah, meminta petunjuk Allah Ta'ala atas setiap keputusan yang akan diambil. Istikharah ini biasanya akan memberikan isyarah (petunjuk).
Ada banyak metode yang biasa dilakukan untuk mendapatkan isyarah tersebut. Mulai dari salat istikharah, membaca Al-Quran atau wirid-wirid tertentu, bahkan melakukan tirakat khusus, se dari puasa hingga ziarah. Hal tersebut dapat dilakukan sendiri atau oleh pihak lain yang dianggap memiliki laku spiritual yang baik.
Apakah NU didirikan juga berdasarkan isyarah?
Dalam sejumlah tulisan awal tentang berdirinya NU, tidak ditemukan keterangan yang spesifik tentang hal tersebut. Seperti dalam catatan KH. Abdul Wahab Chasbullah di Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) No. 2 Tahun I, Shafar 1346 H.
Kiai Wahab tidak menyinggung sama sekali tentang isyarah. Ia menjelaskan jika proses berdirinya NU di antaranya berkat “nem-neman ahli Surabaya” yang merintis “sekawan perkempalan maksud setunggal – empat organisasi yang memiliki satu tujuan”. Yakni, Nahdlatul Wathon, Tasywirul Afkar, Takmiroel Massajid dan Nahlatul Ulama sendiri.
Begitu pula dalam sejumlah tulisan Kiai Wahab yang lain. Seperti di majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama (ONO) besutan Kiai Wahab edisi 1 Tahun I (1 Rajab 1347 H). Di halaman 11-15 lebih banyak mengulas tentang tujuan NU dan kronologi Komite Hidjaz.
Dalam Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) – majalah resmi terbitan PBNU – KH. Abdulhalim Shiddiq juga menulis artikel sejarah dengan judul “Riwajat dan Djasa NO” guna memperingati harlah ke-13 NU. Tulisan yang terbit pada edisi 4 Tahun VIII (15 Desember 1938) dan edisi 5 Tahun VIII (1 Januari 1939) itu, juga tidak menyinggung proses spiritualitas. Adik dari KH. Machfudz Shiddiq (Ketua Umum PBNU 1936-1943) itu, hanya menyebut tiga edaran (fase) NU.
Memasuki masa kemerdekaan, terbit sejumlah buku yang mengulas tentang sejarah NU. Di antaranya Aboebakar Atjeh dengan judul. “Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957)”. Dalam buku tebal ini juga tidak menyinggung tentang isyarat (hal. 469-473). Lebih menekankan tentang pergolakan pemuda Aswaja di Surabaya dan sejumlah kota menghadapi kelompok anti-madzhab.
Ada pula terbit buku berjudul “Nahdlatul Ulama di Tengah-Tengah Rakjat dan Bangsa Indonesia”. Ditulis oleh Masbuchin dan Muhammad Sufjan Cholil. Diberi pengantar oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Idham Chalid. Diterbitkan oleh Daya Bhakti CV pada 1967 dan terbit ulang pada 1968. Lagi-lagi tak menyinggung perihal isyarah apapun.
Lalu, sejak kapan kisah-kisah tentang isyarah itu muncul dalam “historiografi” NU?
Sejauh penelusuran penulis, kisah-kisah spiritual ini muncul dalam kesejarahan NU pada masa awal dekade 70-an. Menjelang Pemilu 1971. Di antaranya dimuat dalam majalah Mimbar No. 7 Tahun I, 26 Juli 1971. Majalah besutan Nurcholis Madjid tersebut menurunkan artikel kecil dari laporan utamanya tentang Muktamar NU pada tahun 1971. Artikel tersebut berjudul “Mimpi di Makam Sunan Ampel”.
Saat hendak mendirikan NU, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Ridwan Abdullah berziarah ke makam salah satu Walisongo itu. Setelah membaca serangkaian doa dan tawassul, mereka kerawuhan Sunan Ampel, Layaknya sebuah mimpi. Sang Sunan membawa sapu lidi dan mengenakan blangkon. Lantas, Sunan Ampel menghampiri ketiganya. Sapu di tangan Sunan Ampel diserahkan kepada mereka. Begitu pula dengan blangkon yang dikenakannya. Dilepas dan diserahkan pula.
Peristiwa ini, oleh ketiganya ditafsiri, bahwa upaya untuk mendirikan NU telah mendapat restu dari Walisongo, dalam hal ini diwakilkan oleh Sunan Ampel. Sapu dimaknai sebagai lambang persatuan. Sedangkan blangkon tak lain adalah simbol estafet perjuangan Walisongo.
Sayangnya, fragmen di atas tidak disinggung oleh penulis berikutnya. Seperti KH. Saifudin Zuhri yang menulis biografi Kiai Wahab yang berjudul “Almagfurlah KH. Abdulwahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama (Yamunu, Jakarta, 1972). Ataupun KH. Abdulhalim Luewimunding yang mengarang syair historis guna mengenang perjalanan Kiai Wahab.
Seiring waktu, trend tentang kisah-kisah spiritualitas itu bermunculan. Seperti halnya pengakuan KHR. As’ad Syamsul Arifin kepada Choirul Anam cs pada Juli 1982 tentang tongkat dan tasbih Syaikhona Kholil yang kemudian dimuat di buku “Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Jatayu Press, Solo, 1984)” yang legendaris itu. Dalam catatan kakinya, Cak Anam dengan jelas menulis jika kisah itu dituturkan diobrolkan dalam konteks dinamika kubu Cipete dan kubu Asembagus.
Adapula kisah-kisah lokal yang mengkonfirmasi jika Kiai Hasyim ataupun Kiai Wahab berkunjung ke sejumlah kiai sepuh di berbagai daerah untuk meminta “restu” berdirinya NU. Seperti kepada KH. Zainuddin Mojosari, Nganjuk (Burhan A. Latief, 2024: 240-1), Kiai Cholil, Cangaan, Genteng, Banyuwangi (Tim Penulis PCNU Banyuwangi, 2016: 28).
Dari sederet kisah-kisah spiritual yang dikemukakan di atas, sulit rasanya untuk memverifikasi secara faktual. Hal tersebut berada di wilayah esoterik yang membutuhkan piranti yang lebih rumit dari sekadar bukti-bukti material dalam kacamata historiografis.
Akan tetapi, terlepas dari benar-salah sebuah peristiwa, ruang tafsirlah yang membuatnya jadi menarik. Bisa jadi dari sekian kisah itu, benar adanya. Namun, tafsir dan konteks penuturannya telah disesuaikan dengan “semangat zaman”. Wallahua’lam bish showab!
Foto: KH Abdul Wahab Chasbullah (duduk kopiah putih) dan KH. Ridwan Abdullah (duduk bersurban putih) dalam sebuah acara (Dok. Komunitas Pegon)
Dengan Adanya 3 Argumen yang dilontarkan oleh Gus Kholili Kholil, Argumen tersebut dikritisi oleh Izzul Madid Sukorejo. Berikut bantahannya:
Izzul Madid ini bukan hanya karena saya merupakan santri Ponpes yang sempat dipimpin oleh alm. KHR. As’ad, tetapi karena melihat beberapa alumni dan teman seangkatan yang bereaksi terlalu emosional tentang diskusi ini. Padahal, status yang ditulis oleh Gus Kholili Kholil tidak bisa dibantah dengan sikap emosional, tetapi harus dibantah menggunakan argumentasi ilmiah khas pesantren. Emosi dan caci maki tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan bisa memperuwetnya.
Gus Kholili Kholil, secara tegas memberikan tiga argumen yang menguatkannya meragukan kisah Tasbih dan Tongkat yang diceritakan oleh KHR. As’ad. Maka selayaknya, untuk menggugurkan keraguannya, tiga argumen itu perlu dibantah atau dikritisi, atau minimal ditakwil.
Bantahan Argumen Pertama,
Kiai Thaha tidak mencatatkan kisah 66 ulama yang berkumpul di kediamannya untuk sowan ke Syaichona Cholil Bangkalan untuk meminta restu pendirian NU. Padahal, Kiai Taha termasuk orang yang rajin mencatat segala peristiwa di sekitarnya. Yang tercatat, justeru pertemuan para ulama di kediamannya pada tahun 1931 (setelah Organisasi NU bediri). Gus Kholili kemudian mengisyaratkan bahwa KHR. As’ad mungkin memaksudkan pertemuan tahun 1931 ini. Atau bisa saja pertemuan serupa pernah terjadi sebelumnya, tetapi tidak ditemukan catatan.
Argumen pertama ini sekilas sangat kuat, tetapi justeru kalimat terakhir menjadi senjata makan tuan. Fakta sejarah tidak melulu harus didukung oleh catatan. Atau, kalaupun Kiai Taha adalah orang yang rajin mencatat, bisa saja catatan tentang pertemuan para ulama yang terjadi sebelum lahirnya NU, keselip atau hilang. Tidak diketahuinya suatu kejadian bukan berarti kejadian tersebut tidak pernah terjadi. عدم العلم بشيء ليس دليلا على عدمه.
Bantahan Argumen Kedua,
Gus Kholili berargumen bahwa catatan primer tentang sejarah berdirinya NU di tahun-tahun awal tidak pernah menyebut kisah tasbih dan tongkat sebagaimana yang dikisahkan oleh KHR. As’ad. Kisah tasbih dan tongkat baru muncul pada sejarah berdirinya NU yang ditulis oleh Chairul Anam setelah mendapatkan kisah tersebut pada tahun 1982. Karena baru diketahui pada tahun 1982, maka cak Anam menduga bahwa kisah itu dituturkan untuk meredam perseteruan kubu Idham Chalid dan Kiai Ali Ma’sum.
Sepintas, argumen kedua ini cukup kuat. Sebenarnya, saya juga penasaran, mengapa kisah tasbih dan tongkat ini baru tersebar tahun 1980-an. Apakah pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah ada penuturan kisah tasbih dan tongkat ini? Kalau memang tidak pernah, maka kisah yang dituturkan pada tahun 1982 menjelang Munas (1983) dan Muktamar (1984) Situbondo, patut dicurigai. Namun, kalau pada tahun-tahun sebelumnya kisah ini sudah pernah dituturkan, maka dugaan cak Anam terbantahkan dan argumen kedua Gus Kholili juga terbantahkan.
Setelah menelusuri ‘Beranda FB’, saya menemukan komentar yang menyatakan bahwa kisah tasbih dan tongkat pernah dituturkan oleh KHR. As’ad pada tahun 1960 s.d 1970-an kepada para santri. Komentator ini bukan sembarang orang, melainkan penulis buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat yang terbit perdana pada tahun 2003, Syamsul A Hasan. Penulis buku tersebut mengaku telah melakukan riset jauh hari sebelum 2003 dengan bertanya kepada santri-santri senior KHR. As’ad yang pernah mondok tahun 1960 dan 1970-an. Kalau melihat timeline penerbitan buku (2003), maka penelitiannya pasti dilakukan paling tidak pada tahun 2000 s.d 2002 akhir. Tahun-tahun ini, masih sangat mungkin (bahkan banyak) bisa ditemui santri-santri senior yang masih hidup. Profil penulis juga merupakan seorang peneliti serius dan telah melakukan banyak penelitian hingga saat ini.
Pertanyaan berikutnya, kalau memang sudah pernah dituturkan pada 1960-an dan 1970-an, mengapa baru booming pada 1980-an? Kemungkinan jawabannya ada dua. Pertama, para santri pada 1960-an atau 1970-an tidak punya motif yang mendorong mereka untuk memasyhurkan kisah ini. Kisah ini dituturkan murni semata-mata untuk memupuk semangat juang santri dalam memakmurkan NU, berkhidmah untuk NU, dan loyal kepada NU, dan terutama khidmah kepada guru. Kedua, sebelum tahun 1980-an, kisah ini hanya dituturkan secara lisan. Tapi pasca 1980-an, kisah ini mulai direkam. Terlebih, pada tahun 1980-an lah Ponpes yang diasuh oleh KHR. As’ad juga mulai dikenal masyarakat luas, hingga luar Jawa. Sehingga, apapun yang terjadi atau kisah yang disampaikan oleh pengasuh, mulai menyebar ke berbagai daerah.
Lalu, kalau memang kisah itu sudah sering diceritakan kepada para santri, kenapa tidak dimuat oleh sumber-sumber primer sejarah NU pada tahun-tahun awal berdirinya? Sebagaimana jama’ diketahui, bahwa KHR. As’ad juga merupakan salah satu mursyid thariqah. Kisah tasbih dan tongkat, lebih menitikberatkan kepada nilai khidmah seorang murid terhadap mursyidnya. Perintah Syaichona Cholil dan KH. Hasyim Asy’ari kepada KHR. As’ad untuk ‘wara-wiri’ Bangkalan – Tebuireng diposisikan sebagai permintaan seorang mursyid kepada muridnya, penuh nuansa spritual. Tentu saja, hal semacam ini bukanlah sesuatu yang pantas dibicarakan kepada sembarang orang yang tidak memiliki ikatan mursyid-murid atau Kiai-Santri. Bahkan, rekaman yang memperlihatkan KHR. As’ad menceritakan kisah ini pada tahun 1980-an, merupakan wejangan guru kepada para santrinya. Perhatikan saja bahasa yang digunakan, bahasa Madura. Jadi, sejatinya memang bukan untuk khalayak umum. Begitu pula pada tahun-tahun awal berdirinya NU, KHR. As’ad tidak punya kepentingan untuk menceritakan kisah spritualnya kepada orang asing. Terlebih, siapa sesosok As’ad yang masih berusia 26-27 tahun di hadapan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahhab, dan lainnya sehingga layak dijadikan narasumber penting dalam sejarah berdirinya NU pada tahun-tahun awal?
Dalam Ghayatul Wushul disebutkan bahwa salah satu tanda kabar palsu adalah ما نقل آحادا فيما تتوفر الدواعى على نقله تواترا (kisah yang diriwatkan secara Ahad padahal ia memiliki motif/alasan untuk diriwayatkan secara mutawatir). Dalam kisah Tasbih dan Tongkat, walaupun riwayat Ahad, tetapi motif untuk menyebarluaskannya menjadi mutawatir tidak terpenuhi.
Bantahan Argumen ketiga:
Gus Kholili justeru absurd. Apa hubungannya kebenaran kisah tasbih dan tongkat dengan penolakan sebagian santri senior Syaichona Cholil untuk terlibat dalam NU? Penolakan ini juga tidak menafikan bahwa Syaichona sangat merestui berdirinya NU.
Simpulan akhirnya, argumen-argumen yang disampaikan oleh Gus Kholili sesuai dengan apa yang disampaikan oleh KH. Afifuddin Muhajir, tidak bertolak belakang dengan kisah Tasbih dan Tongkat. Argumen-argumen di atas tidak saling menafikan terhadap kisah tasbih dan tongkat. KH. Afif menambahkan, bahwa bila ada dua kisah saling menafikan (bertolak belakang), maka yang bisa dijadikan pegangan adalah kisah yang disampaikan oleh pelaku utama. Terlebih, bila tidak saling menafikan. [Izzul Madid (Sukorejo, 30-07-2025)]

