Siapakah yang Paling berhak Menjadi Imam Shalat
Siapakah Orang yang Paling Berhak Menjadi Imam dalam Shalat?
Urutan Imam Shalat Berjama’ah Menurut Empat Mazhab Beserta Dalil-Dalilnya
Daftar Isi:
- - Pendahuluan
- - Asal Dalil Masalah Urutan Imam
- - Hukum menurut Madzhab Syafi'i
- - Hukum menurut Madzhab Maliki
- - Hukum menurut Madzhab Hanbali
- - Hukum menurut Madzhab Hanafi
- - Penjelasan Tambahan mengenai Prioritas Imam Menurut Madzhab Syaf’i
- - Penutup (Kesimpulan)
- - Referensi
بِسمِ اللهِ الرَّحمَنِ الرَّحِيمِ
الحَمدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللهِ، أَمَّا بَعدُ:
Pendahuluan
Syariat Islam menaruh perhatian yang sangat besar pada masalah imam dalam shalat. Hal ini wajar, mengingat makmum mengikuti imam, dan banyak hukum fikih yang berkaitan dengannya. Seorang imam adalah pihak yang diamanahkan atas sahnya shalat para makmum. Bahkan, terkadang shalat makmum dapat batal hanya karena kesalahan yang dilakukan oleh imam. Selain itu, pada masa lalu, imam di beberapa situasi dianggap mewakili khalifah.
Oleh karena itu, Syariat telah menetapkan berbagai syarat bagi imam shalat untuk menunjukkan kedudukannya dan menambah keutamaannya. Syarat-syarat ini mencakup keunggulan dalam ilmu dan kebaikan perilaku, kesempurnaan dalam bersuci, kebersihan pakaian, serta berbagai syarat penting lainnya.
Mengingat betapa jelas dan besarnya perhatian Syariat terhadap imam shalat berjamaah, para ahli fikih kemudian membahas secara mendalam rincian hukum terkait imam. Salah satu pembahasan utamanya adalah: Siapakah yang paling berhak memimpin shalat?
Melalui tulisan ini, kami akan menguraikan secara terperinci pandangan mengenai masalah ini dalam Empat Mazhab. Perlu diperhatikan bahwa masalah ini memuat beragam pendapat di antara mereka. Setiap pendapat memiliki dalil dan penafsirannya sendiri terhadap hadits yang menjadi rujukan, dan masing-masing membawa pemahaman hadits tersebut pada konteks dan batasan tertentu, sebagaimana yang akan kami jelaskan kemudian.
Asal Dalil Masalah Urutan Imam
Para ulama mengambil sebagian besar rincian syarat-syarat imam dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَؤُمُّ القَومَ أَقرَؤُهُم لِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، فَإِن كَانُوا فِي القِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعلَمُهُم بِالسُّنَّةِ، فَإِن كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقدَمُهُم هِجرَةً، فَإِن كَانُوا فِي الهِجرَةِ سَوَاءً فَأَقدَمُهُم سِنًّا، وَفِي رِوَايَةٍ: سِلمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلطَانِهِ، وَفِي رِوَايَةٍ: فِي بَيتِهِ وَلَا سُلطَانِهِ وَلَا يَقعُد فِي بَيتِهِ عَلَى تَكرِمَتِهِ إلَّا بِإِذنِهِ. رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Maknanya:
"Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika kemampuan membaca mereka setara, maka yang paling mengetahui tentang Sunnah. Jika pengetahuan Sunnah mereka setara, maka yang paling dahulu hijrah. Jika mereka setara dalam hijrah, maka yang paling tua umurnya." Dalam riwayat lain: "(yang paling dahulu) memeluk Islam, dan janganlah seseorang menjadi imam bagi orang lain di wilayah kekuasaannya." Dalam riwayat lain lagi: "Di rumahnya atau di wilayah kekuasaannya, dan janganlah duduk di tempat kehormatannya (tuan rumah) kecuali dengan seizinnya." (Hadits Riwayat Muslim)
Penjelasan: Hadits ini, dengan beragam riwayatnya, merupakan dasar utama bagi penetapan hukum-hukum terkait imam. Dari sinilah para ulama merumuskan ketentuan tersebut. Perbedaan pendapat di antara para imam mazhab muncul disebabkan oleh adanya perbedaan dalam menafsirkan setiap kosakata dan memahami makna ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalamnya. Selanjutnya, kami akan menguraikan pandangan setiap mazhab dari Empat Mazhab, beserta dalil mereka dan bagaimana mereka menafsirkan hadits ini.
Hukum Menurut Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa yang paling didahulukan untuk menjadi imam adalah yang paling ahli fikih (Afqah) dalam bab shalat. Alasannya, kebutuhan shalat terhadap fikih tidak terbatas, berbeda dengan kebutuhan terhadap Al-Qur'an. Seseorang, jika ia telah hafal Surah Al-Fatihah dan beberapa surah pendek lainnya, sudah dapat menunaikan shalat yang sah.
Setelah itu, yang didahulukan adalah yang paling pandai membaca (Aqra’), yaitu yang paling banyak hafalan Al-Qur'annya, sebab shalat lebih membutuhkan Al-Qur'an dibandingkan aspek lainnya.
Urutan berikutnya adalah:
1. Yang paling wara' (Al-Awra'): Yaitu yang paling berhati-hati dalam menjaga diri dari perbuatan haram, yang merupakan sifat melebihi standar keadilan, dicirikan oleh keteguhan dalam menjaga diri dari hal-hal haram ('iffah) dan perilaku yang baik (husn as-sirah).
2. Yang paling dahulu hijrah (Al-Aqdam Hijratan): Yaitu yang paling awal berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau ke Darul Islam (Negeri Islam).
3. Yang paling tua keislamannya (Al-Asannu fil Islam), bukan yang paling tua umurnya, yaitu orang yang lebih dahulu masuk Islam.
4. Yang paling mulia nasabnya (Al-Ansab): Yaitu orang yang berasal dari Quraisy, atau dari keluarga yang pernah berhijrah, atau dari orang yang lebih dahulu berhijrah, atau kelompok lain yang dianggap memiliki kelayakan (Kafa'ah) seperti ulama dan orang-orang saleh.
Penjelasan dan Dalil Jawaban Syafi'i atas Hadits
Adapun hadits yang disebutkan sebelumnya, "Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang paling pandai membaca Kitabullah..." Secara lahiriah, hadits ini menunjukkan didahulukannya yang paling pandai membaca (Aqra’) daripada yang paling ahli fikih (Afqah).
Imam Syafi'i menjawab hal ini dengan menjelaskan bahwa pada generasi awal (Para Sahabat), mereka senantiasa mendalami fikih bersamaan dengan membaca Al-Qur'an. Oleh karena itu, tidak ada seorang Qari’ (penghafal/pembaca Qur'an) melainkan ia juga seorang Faqih (ahli fikih).
Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا إِذَا تَعَلَّمَ عَشرَ آيَاتٍ لَم يُجَاوِزْهُنَّ حَتَّى يَعرِفَ مَعَانِيَهُنَّ وَالعَمَلَ بِهِنَّ. (رَوَاهُ الحَاكِمُ)
Maknanya:
"Dahulu, jika seseorang di antara kami telah mempelajari sepuluh ayat, ia tidak akan melanjutkannya hingga ia memahami maknanya dan mengamalkannya." (HR. Al-Hakim)
Juga dari Abu Abdurrahman As-Sulami, ia berkata:
حَدَّثَنَا مَن كَانَ يُقرِئُنَا مِن أَصحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُم كَانُوا يَقتَرِئُونَ مِن رَسُولِ اللهِ ﷺ عَشرَ آيَاتٍ فَلَا يَأخُذُونَ مِنَ العَشرِ الأُخرَى حَتَّى يَعلَمُوا مَا فِي هَذِهِ مِنَ العِلمِ وَالعَمَلِ، قَالُوا: فَأَخَذنَا العِلمَ وَالعَمَلَ (رَوَاهُ أَحمَدُ)
Maknanya:
"Telah bercerita kepada kami orang-orang yang mengajarkan kami bacaan (Al-Qur'an) dari kalangan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa mereka mengambil bacaan sepuluh ayat dari Rasulullah dan tidak mengambil sepuluh ayat berikutnya hingga mereka mengetahui ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Maka kami mengambil ilmu dan amal'." (HR. Ahmad)
Dalil Tambahan dari Kepemimpinan Abu Bakar
Selain itu, Nabi ﷺ bersabda:
مَن أَحَبَّ أَن يَقرَأَ القُرآنَ غَضًّا طَرِيًّا كَمَا أُنزِلَ فَليَقرَأهُ عَلَى ابنِ أُمِّ عَبدٍ (أَي عَلَى عَبدِ اللهِ بنِ مَسعُودٍ)، وَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: أَقرَؤُهُم لِكِتَابِ اللهِ أٌبَيٌّ (رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ)
Maknanya:
"Siapa yang suka membaca Al-Qur'an dengan segar dan baru sebagaimana ia diturunkan, hendaklah ia membacanya kepada Ibnu Ummi 'Abd." (yaitu kepada Abdullah bin Mas'ud). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: "Yang paling pandai membaca Kitabullah adalah Ubay (bin Ka’b)." (HR. Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
استَقرِؤُوا القُرآنَ مِن أَربَعَةٍ: مِنِ ابنِ مَسعُودٍ وَسَالِمٍ مَولَى أَبِي حُذَيفَةَ وَأُبَيِّ بنِ كَعبٍ وَمُعَاذِ بنِ جَبَلٍ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسلِمٌ)
Maknanya:
"Pelajarilah Al-Qur'an dari empat orang: dari Ibnu Mas'ud, Salim Maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’b, dan Mu’adz bin Jabal." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jelaslah bahwa Aqra’ (yang paling pandai membaca) di kalangan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menurut nash (teks) Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah Ubay bin Ka'b. Namun, mengapa Rasulullah tidak memerintahkan Ubay bin Ka'b untuk menjadi imam shalat, melainkan justru memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam?
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa maksud dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam "yang paling pandai membaca Kitabullah" adalah yang paling mengerti (berilmu) tentang Kitabullah di samping memiliki kondisi keimanan yang baik. Dalilnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam, padahal ada Sahabat lain yang lebih Aqra’ (pandai membaca) darinya berdasarkan nash hadits. Peristiwa ini adalah hal terakhir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum wafatnya.
Penjelasan ini telah disebutkan oleh Syekh Zakariyya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab, juga Asna Al-Mathalib, dan disebutkan oleh ulama Syafi'iyyah lainnya.
Hukum Menurut Mazhab Maliki
Sahnun dalam kitab Al-Mudawwanah menukil dari Imam Malik bahwa beliau berkata: "Yang didahulukan (untuk mengimami) suatu kaum adalah yang paling berilmu (A'lam) jika ia memiliki kondisi yang baik (halun hasanah), dan orang yang lebih tua juga memiliki hak."
Mengenai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits sebelumnya:
يَؤُمُّ القَومَ أَقرَؤُهُم لِكِتَابِ اللهِ
Maknanya: "Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang paling pandai membaca Kitabullah..."
Imam Malik menta’wil hadits tersebut bahwa yang dimaksud dengan 'yang paling pandai membaca' (Al-Aqra') adalah 'yang paling berilmu (Al-A'lam)' jika ia memiliki kondisi yang baik (halun hasanah). Dengan demikian, titik sentral bagi ulama Malikiyah adalah kondisi yang baik (kesalehan), meskipun ia memiliki ilmu yang lebih sedikit dari orang lain.
Imam Malik pernah ditanya dalam Al-Utbiyyah mengenai sekelompok orang yang sedang dalam perjalanan: "Menurut pendapat Anda, siapa yang seharusnya menjadi imam di antara mereka, padahal di antara mereka terdapat ahli fikih (faqih), orang yang lebih tua (dzus sinn), dan ahli bacaan (qari')?"
Imam Malik menjawab: "Menurut pendapatku, ahli fikih yang paling berhak, dan orang yang lebih tua memiliki hak." Beliau tidak menyebutkan ahli bacaan (qari').
Oleh karena itu, jika ada dua orang, salah satunya lebih berilmu daripada yang lain, tetapi orang kedua hafal Al-Qur'an lebih banyak daripada orang pertama, dan keduanya sama-sama memiliki kondisi yang baik—siapa yang menjadi imam? Jawabannya adalah yang paling berilmu (Al-A'lam), sebagaimana pendapat Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah (seperti yang akan dijelaskan nanti).
Mengapa mereka menetapkan: "Ahli fikih (Al-Afqah) yang disertai kondisi yang baik (husn al-hal) didahulukan"?
Sebab Abu Bakar bukanlah Sahabat yang paling berilmu berdasarkan nash (pernyataan) Rasulullah ﷺ; yang paling berilmu adalah Ali bin Abi Thalib. Lantas, mengapa Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan Ali untuk mengimami, melainkan memerintahkan Abu Bakar?
Kami menjawab bahwa yang dimaksud adalah yang paling berilmu tentang Kitabullah, disertai kondisi yang baik, yakni yang paling utama keadaannya (Al-Afdhalu halan). Telah diriwayatkan bahwa Abu Bakar radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling utama di antara umat ini setelah Nabi ﷺ.
Ini tidak berarti bahwa Sayyidina Ali tidak memiliki kondisi yang baik. Namun, maksudnya adalah Abu Bakar adalah yang paling utama di antara umat ini setelah Nabi ﷺ, bahkan berdasarkan kesaksian Ali sendiri.
Telah diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Muhammad Ibnu Al-Hanafiyah, ia berkata:
قُلتُ لِأَبِي (أَي لِعَلِيِّ بنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ): أَيُّ النَّاسِ خَيرٌ بَعدَ رَسُولِ اللهِ ﷺ؟ قَالَ: أَبُو بَكرٍ، قُلتُ: ثُمَّ مَن؟ قَالَ: ثُمَّ عُمَرُ، وَخَشِيتُ أَن يَقُولَ: عُثمَانُ، قُلتُ: ثُمَّ أَنتَ؟ قَالَ: مَا أَنَا إِلَّا رَجُلٌ مِنَ المُسلِمِينَ.
Maknanya:
Aku bertanya kepada ayahku (yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu): "Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah ﷺ?" Beliau menjawab: "Abu Bakar." Aku bertanya lagi: "Lalu siapa?" Beliau menjawab: "Lalu Umar." Aku khawatir beliau akan menyebut Utsman, maka aku bertanya: "Lalu Anda?" Beliau menjawab: "Aku hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin." (HR. Bukhari)
Hukum Menurut Mazhab Hanbali
Imam Ahmad berpendapat bahwa yang paling didahulukan untuk menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan Al-Qur'annya (Al-Aktsaru hifzhan lil-Qur'an).
Pandangan ulama Hanbali ini didasarkan pada makna lahiriah (zhahir) dari sabda Rasulullah ﷺ yang telah disebutkan:
يَؤُمُّ القَومَ أَقرَؤُهُم لِكِتَابِ اللهِ
Maknanya:
"Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang paling pandai membaca Kitabullah (Al-Qur'an)."
Mereka memahami hadits ini secara tekstual dan tidak melakukan takwil terhadapnya.
Hukum Menurut Mazhab Hanafi
Mayoritas ulama Hanafiyyah sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i, yaitu mendahulukan yang paling ahli fikih (Al-Afqah).
Akan tetapi, Abu Yusuf Al-Qadhi (salah satu murid utama Imam Abu Hanifah) menyelisihinya dan berpendapat sama dengan pandangan ulama madzhab Hanbali, yaitu mendahulukan yang paling banyak menghafal Al-Qur'an (Al-Aqra').
Penjelasan Tambahan Mengenai Prioritas Imam menurut Para Ulama Madzhab Syafi’i
Syekh Zakariyya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab menyebutkan prioritas tambahan dalam keimaman, jika dua calon imam memiliki kesetaraan dalam sifat-sifat yang telah disebutkan sebelumnya (seperti fikih, bacaan, hijrah, dll.):
1. Didahulukan yang paling bersih pakaiannya, badannya, dan pekerjaannya daripada yang paling kotor. Hal ini bukan karena yang kotor dianggap buruk agamanya, tetapi karena kebersihan dapat menarik hati orang banyak dan menambah jumlah jamaah.
2. Didahulukan yang paling bagus suaranya, karena hati orang cenderung tertarik untuk mengikutinya dan mendengarkan bacaannya.
3. Kemudian didahulukan yang paling bagus parasnya/penampilannya, karena hati orang cenderung tertarik untuk mengikutinya.
Penutup (Kesimpulan)
Secara umum, pembahasan para imam mazhab—beserta rincian yang mereka jelaskan—menunjukkan bahwa seorang imam haruslah individu yang utama (fadhil) dan memiliki sifat-sifat yang baik.
Perbedaan pendapat mengenai apakah yang didahulukan itu yang paling pandai membaca (Al-Aqra') atau yang paling ahli fikih (Al-Afqah), tidak menghilangkan fakta bahwa seorang imam harus diutamakan di antara yang lain dalam salah satu sifat tersebut.
Seorang imam harus dipilih dengan cermat, dan tidak sembarangan orang boleh mengajukan diri untuk posisi ini. Sebaliknya, seseorang harus menyadari bahwa ini adalah sebuah tanggung jawab besar. Jika seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak layak, ia tidak boleh maju dan menempatkan dirinya sebagai imam shalat.
Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui batas kemampuannya dan berhenti pada batas itu.
Referensi
- - Al-Qur'an Al-Karim
- - Shahih Al-Bukhari
- - Shahih Muslim
- - Musnad Ahmad
- - Sunan At-Tirmidzi
- - Mustadrak Al-Hakim
- - Fathul Wahhab bi Syarh Manhaj At-Thullab, karya Syekh Zakariyya Al-Anshari Asy-Syafi'i.
- - Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh At-Thalib, karya Syekh Zakariyya Al-Anshari Asy-Syafi'i.
- - Al-Mudawwanah, karya Sahnun Al-Maliki.
- - Al-'Utbiyyah, karya Al-'Utbi Al-Maliki.
- - Al-Majmu' bi Syarh Al-Muhadzdzab, karya Al-Hafizh An-Nawawi.
