Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah yang dimaksud dengan Fardhu Kifâyah

 Ngaji Soal Jawab Bab Jenazah 04

4. Soal:

Apakah yang dimaksud dengan “Fardhu Kifâyah” ?

Jawab:

“Fardhu Kifâyah” adalah perkara wâjib yang diembankan (dalam hukum syara') atas sebagian kaum muslimîn tanpa ditentukan individu pelaksananya secara Kifâyah; yakni kewâjiban yang apabila telah ditunaikan oleh sebagian mereka, maka itu cukup dan dianggap telah gugurlah kewâjiban itu dari mereka.

*Faidah:*

Perkara fardhu kifayah, pada dasarnya tidak hanya diembankan pada perkara pengurusan jenazah saja. Karena ada banyak perkara lain yang pelaksanaannya itu fardhu kifayah. Secara umum makna fardhu kifayah adalah yang telah disebutkan. 

Artinya di setiap daerah tertentu, maka secara kifayah wajib minimal ada sebagian kaum muslimin yang melakukan perkara fardhu kifayah tersebut sehingga perkara fardhu kifayah ini telah tertunaikan dan sebagian kaum muslimin yang lain dianggap sudah gugur fardhu kifayah tersebut di daerah itu. Namun apabila tidak ada satupun dari kaum muslimin di daerah itu yang melakukan perkara fardhu kifayah ini tanpa darurat syara' maka semuanya berdosa besar.

Dari sini dapat dipahami bahwa perkara fardhu kifayah ini meskipun sifatnya sama dari segi makna namun kriterianya tidak mutlak sama.

Diantara perkara fardhu kifayah adalah pengurusan jenazah. Maka ini berkaitan dengan pelaksanaannya di tempat kematian seorang muslim. Maka wajib secara fardhu kifayah sebagian dari penduduk yang muslim yang mengetahuinya di daerah tempat kematian seorang muslim tersebut melaksanakan pengurusan jenazahnya.

Apabila 10 orang yang mengetahui kematian si muslim ini maka sebagian dari mereka wajib melaksanakan pengurusan jenazahnya. Meskipun 2 atau 3 orang itu sudah cukup. Namun apabila tidak ada yang melaksanakan pengurusan jenazah dari 10 orang yang mengetahuinya tanpa ada udzur syara' maka seluruhnya 10 orang di tempat kematian si muslim ini semuanya berdosa besar.

Kemudian ada perkara fardhu kifayah yang lain, yaitu *pelaksanaan sholat berjamaah* di sholat-sholat fardhu 5 waktu di setiap daerah. Yang dimaksud setiap daerah itu adalah tempat yang dijadikan pemukiman oleh penduduk. Baik daerah itu jumlah penduduknya sedikit ataupun banyak. Baik wilayah daerah itu luasnya besar maupun kecil. 

Misalnya ada kampung yang penduduknya hanya 50 orang lalu ada kampung lagi 20 orang kemudian berbatasan dengan hutan baru terdapat kampung lagi, maka di setiap kampung (daerah) itu punya fardhu kifayahnya masing-masing. 

Maka wajib (fardhu kifayah) bagi sebagian kaum muslimin penduduk di daerah masing-masing tersebut melaksanakannya sholat berjamaah di sholat-sholat fardhu 5 waktu atas laki-laki yang memenuhi syarat wajib untuk melaksanakannya. Dan *pelaksanaannya harus di tempat yang tampak syiar islam (ajaran islam ditegakkan disitu) di daerah tersebut.* meskipun yang melaksanakannya hanya 2 orang atau beberapa orang maka yang lain gugur kewajiban sholat berjamaah. 

Namun apabila tidak ada yang melakukan sholat berjamaah tanpa ada udzur maka seluruh penduduk di daerah tersebut berdosa besar. Dan tidak terlepas dari kewajiban fardhu kifayah ini meskipun di kampung sebelah telah melaksanakannya di masjid besar misalnya. Maka tetap berdosa besar jika tidak ditunaikan di kampungnya sendiri.

Di zaman kita ini, ada banyak perkara fardhu kifayah ini tidak tertunaikan di daerah kita masing-masing. Apalagi yang fardhu 'ain, yaitu fardhu atas individu banyak yang tidak tertunaikan. Fardhu kifayah ini tidak hanya pengurusan jenazah saja. Masih banyak fardhu kifayah lainnya. Maka marilah mengaji ilmu agama ini, agar kita bisa menunaikan perkara-perkara yang wajib (fardhu 'ain dan kifayah). Apabila kita tinggalkan maka berat sekali pertanggungjawaban kita kelak di akhirat.

Para ulama, diantaranya Al Imam Al Ghozali, menyebutkan bahwa fardhu kifayah di setiap daerah sejarak dengan _masafah qasar_ (jarak diperbolehkannya sholat jamak dan qasar) harus terdapat mufti yang sekelas mujtahid muthlaq yang menjadi rujukan kaum muslimin didalam fatwa hukum suatu masalah.

Zaman dahulu, yang dijadikan mufti adalah sekaliber mujtahid muthlaq. Kemudian dibawahnya lagi mujathid fil madzhab kemudian dibawahnya lagi Ulama Ashabul Wujuh, misal Al Imam Al Bulqini dan al Imam Al Baihaqi. Kemudian dibawahnya lagi Ulama Ahlut Tarjih, misal al imam an Nawawi, Imam Ar rafi'i. Baru kemudian Ulama Ahlu Naql, misal Syaikh Ibnu Hajar Al Haitami.

Di zaman sekarang ini, jangankan sejarak masafah Qasar, seluas negara kita Indonesia tercinta ini, apakah ada mufti yang sekelas para ulama yang telah disebutkan?

Hanya pangkat doktor, profesor, tidak otomatis menjadi mufti. Tidaklah demikian. Maka di Zaman ini sangatlah jarang sekali ditemukan ulama sekaliber Syaikh Ibnu Hajar Al Haitami. 

Dan sungguh sangat heran sekali jika ada orang yang mengatakan *"Saya lebih suka ulama nusantara daripada ulama lainnya"*

Perkataan seperti ini adalah kesombongan. Karena kita tidak boleh berkata demikian, perkataan itu sama saja merendahkan ulama negara lain. Bahkan ulama sekaliber para mufti.

Intaha

Allah Ada Tanpa Tempat

Posting Komentar untuk "Apakah yang dimaksud dengan Fardhu Kifâyah"